Friday, 30 March 2018



ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL “THE SWEET SINS”  KARYA RANGGA WIRIANTO PUTRA

Amalia Meldani
Mahasiswa Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya

Abstrak

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya fenomena kebahasaan alih kode dan campur kode yang terdapat dalam sebuah karya sastra, juga karena jarangnya penelitian bahasa yang menggunakan objek karya sastra dengan menggunakan sosiolinguistik sebagai kajian teorinya. Tuturan tokoh yang terdapat dalam novel menggunakan beberapa bahasa yang menunjukan adanya fenomena bahasa campur kode dan alih kode. Hal tersebut terdapat dalam novel The Sweet Sins karya Rangga Wirianto Putra, ini disebabkan oleh adanya perbedaan latar budaya yang dimiliki oleh masing-masing tokoh sehingga memunculkan sebuah peristiwa kebahasaan alih kode dan campur kode.
           Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) Bagaimana jenis alih kode dan campur kode dalam novel The Sweet Sins karya Rangga Wirianto Putra? (2) Bagaimana fungsi alih kode dan campur kode dalam novel The Sweet Sins karya Rangga Wirianto Putra? Dan (3) Apa saja faktor penyebab terjadinya jenis alih kode dan campur kode dalam novel The Sweet Sins karya Rangga Wirianto Putra?
Pada penelitian ini digunakan teori sosiolinguistik dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah novel The Sweet Sins karya Rangga Wirianto Putra. Data penelitian berupa dialog/tuturan tokoh dalam novel yang mengandung alih kode dan campur kode. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik baca, identifikasi dan teknik catat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa jenis alih kode yang terdapat dalam novel The Sweet Sins karya Rangga Wirianto Putra adalah jenis alih kode ke dalam dan jenis alih kode keluar, dengan fungsi alih kode, yaitu (1) Menunjukan keterpelajaran, (2) Memperluas ucapan, (3) Mengakrabkan diri dengan lawan tutur, (4) Mempermudah menyampaikan maksut, (5) Penyanggupan, (6) Mempermudah pembicaraan, dan (7) Memperjelas identitas. Adapun faktor penyebab terjadinya alih kode yang terdapat pada novel The Sweet Sins, yaitu (1) Membangkitkan rasa humor, (2) Sekedar bergengsi, (3) Pribadi penutur, dan (4) Ragam dan tingkat tutur. Sedangkan jenis campur kode yang terdapat dalam novel The Sweet Sins karya Rangga Wirianto Putra adalah jenis campur kode ke luar, ke dalam dan campuran. Adapun fungsi campur kode yang mendukung data analisis yaitu (1) Menghormati lawan tutur, (2) Keterpelajaran penutur dalam menguasai bahasa daerah atau asing, (3) Kebutuhan kosakata, (4) Mengetahui keingitahuan, (5) Memperhalus ucapan, (6) Mempertegas sesuatu, (7) Pelengkap kalimat, (8) Menunjukan identitas penutur, (9) Mempermudah menyampaikan maksut, (10) Mengakrabkan diri dengan mitra tutur, dan (11) Memperjelas kalimat atau singkatan.  Dan penyebab terjadinya campur  kode yang terdapat pada novel, yaitu (1) Membangkitkan rasa humor, (2) Sekedar bergengsi, (3) Pribadi penutur, (4) Ragam dan tingkat tutur, (5) Penggunaan istilah kata yang lebih popular, (6) Fungsi dan tujuan penutur, (7) Topik pembicaraan, dan (8) Mitra tutur.
Kata Kunci: Campur kode, Alih kode, Sosiolinguistik.

JURNAL " PENYIMPANGAN PERILAKU TOKOH UTAMA DALAM NOVEL THE SWEET SINS KARYA RANGGAWIRIANTO PUTRA"

PENYIMPANGAN PERILAKU TOKOH UTAMA DALAM NOVEL THE SWEET SINS KARYA RANGGAWIRIANTO PUTRA
KAJIAN PSIKOLOGI SASTRA
Virgilius .P. Ngalong
email: virgiliuspasifikusngalong@yahoo.co.id
Indonesian Literacy, Faculty of Letters and Culture, Udayana University
ISSN: 2302-920X
E-Jurnal Humanis, Fakultas Sastra dan Budaya Unud
Vol 14.2 Pebruari 2016: 87-92

Abstract
The research was about the analysis of The Sweet Sins (TTS) written by Rangga Wirianto Putra. Psycologcal approach which was focus on psycosexual was applied to analyze the novel. There were three problems analyzed: (1) novel structure, specifically the intrinsic elements and the relation between the elements in a unity of the sotry. (2) intertextual relation between TTS and the lyric of Dosa Termanis by Tere. (3) Personality psychology aspect, specifically psychosexual of the two main characters of TTS.
Theories applied in the research were theory of structure, intertextual theory, and psychological theory. The theory of structure was used to analyze the intrinsic elements and the relation between the elements. Intertextual theory was used to find the relation between the two literary texts. The psychological theory was applied to find the personality aspect and the psychosexual of the main character. Sigmun Freud’s psychological theory which categorized the human personality into three mental aspects: id, ego, and superego, the psychosexual theory of Elizabeth Hurlock and A. Supraktiknya, and some other theories were use to analyze the psychological aspects.
The result of the researh showed that the intrinsic elemets of the novel had the homosexual theme. The theme was explained by the author in a solid naration in the strong relationship between the personality background of the characters. Psycoligical analysis showed that the novel was succesfully told the mental complexity of the main characters who were seriously involved in homosexual relationship. At the end of the story, there wer two messages implied: (1) homosexual could be in everyone and had to be avoided because it against the law and the social norms, specifically in Indonesia; (2) to teach the readers to read people from many different points of view.
Keywords: Personality psychology, psychosexual, TSS

Jurnal "EGO SINTONIK TOKOH-TOKOH HOMOSEKSUAL DALAM NOVEL INDONESIA MODERN"

EGO SINTONIK TOKOH-TOKOH HOMOSEKSUAL DALAM NOVEL INDONESIA MODERN
Jurnal Dialektika Vol. V No. 1 Juni 2014

Iswadi Bahardur
STKIP PGRI Sumbar
Email: likuarungi@yahoo.com

Abstract
Various human behavior in life is the result of conflict and reconciliation of aspects of personality called the id, ego, and superego. Unbalance function of these aspects will result in the emergence of deviant behavior. The uncontrolled aspect of ego causes people do not able to consider the feasibility of actions in terms of moral values, tends behalf of self pleasure without measure the value of good and bad. Homosexual behavior is one of the examples of deviant behavior in human is caused by uncontrolled ego aspect by another aspect of personalities.
One of the phenomenon in modern Indonesian novels is rampant homosexual themes which also being warmly discussed in various countries in the world now. In reality, few countries in the world even has legalized homosexual marriage. The emergence of homosexual themes in reality imaginative novels of modern Indonesian literature indicates that it reflects the problems that raged in the community in which the work was created.
This study aimed to describe the human syntonic ego problem with homosexual behavior, especially the characters contained in the novels of modern Indonesia. The results showed that homosexual characters, gay (homosexual designation for men) and lesbian (homosexual designation for women) in the novels that became the source of the data has syntonic ego. The sexual orientation of these characters are deviate, like the same sex. The characters are comfortable with their sexual orientation, not in conflict with himself, and not trying to change their sexual orientation to be normal.
Keywords: syntonic ego, homosexual, novel, character.

Abstrak
Berbagai tingkah laku manusia dalam menjalani kehidupan adalah hasil konflik dan rekonsiliasi dari aspek kepribadian yang disebut id, ego, dan superego. Tidak seimbangnya fungsi aspek-aspek itu akan berakibat munculnya perilaku menyimpang. Aspek ego yang tidak terkendali menyebabkan manusia tidak mampu mempertimbangkan kelayakan tindakannya dari segi nilai moral, cenderung mengatasnamakan kesenangan  diri tanpa ukuran nilai baik dan buruk. Perilaku homoseksual adalah salah satu contoh perilaku menyimpang pada manusia yang terjadi akibat aspek ego yang tidak terkendalikan oleh aspek kepribadian lain.
Salah satu fenomena dalam novel-novel Indonesia modern adalah maraknya tema homoseksual yang sekarang juga sedang hangat diperbincangkan di berbagai negara di dunia. Realitanya, beberapa negara di dunia bahkan telah melegalkan pernikahan homoseksual. Munculnya tema homoseksual dalam realitas imajinatif novel-novel Indonesia modern menunjukkan bahwa karya sastra memang merefleksikan persoalanpersoalan yang berkecamuk dalam masyarakat dimana karya tersebut diciptakan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan permasalahan ego sintonik manusia dengan perilaku homoseksual, khususnya tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel-novel Indonesia modern. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tokoh homoseksual, gay (sebutan homoseksual untuk laki-laki) dan lesbian (sebutan homoseksual untuk perempuan) dalam novel-novel yang menjadi sumber data memiliki ego sintonik. Orientasi seksual tokoh-tokoh tersebut menyimpang, yakni menyukai sesama jenis. Tokoh tersebut merasa nyaman dengan orientasi seksualnya, tidak berkonflik dengan dirinya, dan tidak berusaha mengubah orientasi seksualnya menjadi normal.
Kata kunci: ego sintonik, homoseksual, novel, tokoh

Secarik Cerita dan Serintik Hujan

Andante Maestoso. ♪= 80

Saya ingin berbagi cerita tentang beberapa hari lalu, ketika saya menggunakan taksi online dari Depok ke Jakarta yang kebetulan malam itu sedang hujan. Seperti biasa, hujan membuat lalu lintas padat sehingga saya berkesempatan untuk mengobrol, bertukar pandangan dengan sang pengemudi. Salah satu kebiasaan saya adalah berbagi cerita serta bertukar pikiran serta pandangan dengan siapa saja yang bersedia berbicara dengan saya. Ketika itu, mobil yang saya tumpangi, keluar dari Margocity dan melewati jembatan yang dibawahnya terdapat proyek jalan toll yang belum selesai pembangunannya. Saya hanya menjeplak saja tanpa keinginan untuk membuat sesuatu menjadi lebih serius

Saya bertanya, "ini jalan toll kapan selesainya, ya? Kalau udah selesai bisa lebih cepat nyampe Selatan (wilayah Jakarta Selatan)"

Sopir menjawab sambil sedikit tertawa, "ya, gimana mau selesai, mas. Banyak pekerjaan yang tidak sesuai prosedur. Ada juga biaya yang disunat-sunat, jadinya ya lama."

"Oh, gitu. Bukankah kabarnya, ini proyeknya BUMN, ya?"

"Iya, swasta ama BUMN barengan, gitu."

"Padahal, kan tinggal nyambungin sedikit aja. Soalnya yang saya lihat yang di Cilandak itu progressnya udah lumayan sepertinya tinggal dikit lagi."

"Iya, Mas. Harusnya ini sudah tersambung karena kurang biaya juga sepertinya. Lagian, sebenarnya negara kita belum siap untuk membangun seperti ini, tetapi ya gimana? Presidennya yang keburu nafsu. Yang bisa, dipaksain agar bisa."

"Negara kita sudah ketinggalan, Mas dari negara tetangga..." saya belum selesai melanjutkan, sudah keburu disela.

"Memang kita sudah ketinggalan. Ya, kita Indonesia, sudah seperti Indonesia saja. Nggak perlu ngikutin orang luar jika kita belum mampu. Kita Indonesia, bukan Singapore atau China (Tiongkok). Kita belum mampu menyaingi mereka. Karena nafsu dan iri itu tadi, Mas. Ibaratnya ni, ya kita punya tetangga punya rumah tiga lantai. Tetapi, kita keburu nafsu dan iri sehingga ingin juga ngebangun rumah tiga lantai padahal duit nggak ada. Lantas, nghutang. Ya, puyeng kita mas."

Saya dalam hati, 'apa mungkin saya sedang berbicara dengan kaum bumi datar yang sesungguhnya? But, its ok. Sebagai seorang yang berpikiran terbuka, saya harus mampu menempatkan diri dalam berbagai situasi. Karena, saya bukanlah orang yang paling benar. Maka, mencari kebenaran-kebenaran yang majemuk itu adalah diperlukan.'

"Sekarang, kita negara yang banyak hutang. Subsidi dicabut, pajak naik dan segala macam. Sekarang ni, ya Mas udah sulit nyari BBM Premium. Kalaupun subsidi dicabut, okelah tetapi tolonglah barangnya juga dijual bebas. Kan, tidak semuanya orang gunain pertalite dan pertamax."

"Ohya? BBM Premium sudah jarang di pom bensin, Mas?"

"Iya, puyeng kita juga."

Sambil melihat rintik hujan dibalik kaca, saya mengamati mobil Jaguar disamping. Saat itu, kendaraan padat di depan Universitas Pancasila yang mengarah ke LA. Dalam hati saya berujar, ‘betapa pun kendaraan yang kita gunakan, kita tetap melewati jalan yang sama.’

"Hmmm... ohya, Masnya fulltime di Taksi Online atau hanya sebagai kerjaan sampingan?" tanya saya sebagai strategi counter cognitive.

"Saya bisa dibilang fulltime. Tapi jam narik nggak tentu, ya bisa lah mas nemenin anak ngerjain PR. Alhamdulillah."

"Alhamdulillah. Tapi mobil ini kredit atau sudah milik pribadi?"

"Awalnya kredit, Mas. Tapi sekarang alhamdulillah sudah lunas"

"Emang, Mas ngambil cicilan berapa tahun?"

"Dua tahun doang, Mas. Saya mah takut ngutang kelamaan, Mas. Takut mati duluan dan hutang nggak kebayar."

"Iya, alhamdulillah sudah lunas, ya Mas."

Setelah melewati macet LA, mobil melaju terus menembus rintik hujan ke arah Kebagusan. Suasana hening kemudian, cukup lama. Sebelum masuk ke TB. Simatupang, sang sopir kembali berkata,

"Tapi, saya apresiasi sih usaha Presiden Jokowi yang bisa membangun infrastruktur secepat ini. Asal jangan kita saja, rakyat nih, yang disuruh bayar hutang."

Saya hanya tertawa kecil. Sambil turun dari mobil saya kembali berujar dalam hati, ‘tidak ada perang yang benar-benar nyata; perang yang sejati hanya ada didalam pikiran kita.’

Banyak orang yang sepertinya tidak setuju, mendebat kita, menghujat bahkan kadang membenci. Tetapi percayalah, kebanyakan dari mereka hanya perlu didengarkan. Dengan tidak menjatuhkan penilaian yang terlalu cepat, karena bukan tugas atau kewenangan kita untuk mendebat pikiran orang lain. Saya bisa saja meng-counter apa yang dikatakan oleh Sopir Taksi Online tersebut, tetapi buat apa? Ia tak memerlukannya. Dan  bagi saya, berdemokrasi adalah termasuk demokrasi dalam berpikir dan menyampaikan pendapat.

Sekarang saya beritahu kepada para pembaca bahwa, kita tidak dapat mengatur kita akan bertemu dengan seseorang seperti apa di dalam hidup kita. Dan ketika kita bertemu dengan seseorang, kita pun tidak dapat mengubah pikiran orang seperti yang kita inginkan. Hanya saja, sajikanlah fakta dan kebenaran kepada mereka, maka pikiran akan memperbaharui dirinya sendiri. Karena, pikiran adalah sebuah gerak liar yang – bahkan – kita pun tak memiliki kuasa untuk mengendalikannya. Pikiran itu seperti sebuah jalan yang terbentang luas, nyaris tanpa batas. Fakta dan kebenaran-lah yang kemudian membatasinya.

Dengan hanya mengatakan bahwa, kuasa kita hanya pada pengendalian diri kita sendiri. Maka dengan demikian, kita akan melihat dunia yang lebih terang, lebih berwarna dan lebih indah; seperti rintik air di kaca yang terkena sinar lampu berwarna-warni. Kau bisa saja menghapusnya atau membiarkannya saja. Tetap seperti itu.

Rangga Wirianto Putra

30 Maret 2018



Friday, 27 October 2017

Mendalami Arti Sumpah Pemuda pada Era Modern


Oleh: Rangga Wirianto Putra


Andante Maestoso[1]. = 80
Setiap tanggal 28 Oktober kita, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda. Dimana, pada hari itu kita kembali memproklamirkan bahwa pemuda adalah bagian penting dari sejarah bangsa ini. Tetapi, hanya akan menjadi sebuah ritual tahunan jika kita mengucapkan Selamat Hari Sumpah Pemuda lalu tidak memahami apa itu Sumpah Pemuda dan apa makna dibalik Lahirnya Sumpah Pemuda; ia akan menjadi sebuah seremonial kosong dan hampa karena pemuda yang merupakan pengguncang dunia dan agen perubahan itu seakan kehilangan jati dirinya.
Pada hari yang sakral ini, ada baiknya kita kembali mendalami apa makna yang terkandung di dalam bait-bait Sumpah Pemuda tersebut, yang bagi saya cukup romantik dalam hubungan kita, generasi millennials – sebagai pengguncang dunia dan sebagai agen perubahan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Bait pertama ini mempertegas bahwa Indonesia telah ada dalam cita-cita luhur para pemuda sejak 28 Oktober 1928. Meskipun – katakanlah Negara Indonesia saat itu belum merdeka – tetapi ‘jiwa’ sebagai ‘Bangsa Indonesia’ itu telah ada/essence. Dimana, jika para pemuda pada masa itu tidak memprolkamirkan ‘Sang Jiwa’, maka mustahil kemerdekaan akan dapat diperjuangkan. Karena, tanpa esensi ‘Jiwa Bangsa Indonesia,’ maka kemerdekaan hanya akan menjadi sesuatu yang hampa; ia telah kehilangan substansi dan identitas sebelum direbut dan diperjuangkan.
Bait ini kembali mengingatkan kepada kita bahwa Kemerdekaan itu diperebutkan, bukan diberikan begitu saja. Maka, sepatutunya kita berbangga kepada leluhur kita, kepada para pahlawan dan kepada pendiri Negara Indonesia bahwa, sejatinya kita semua adalah lahir dari rahim para petarung. Jangan anda khianati jiwa sang petuarung itu dengan melacurkan diri anda, berikut pikiran-pikiran sempit anda pada apa yang tidak pernah diajarkan oleh para pendahulu kita. Karena, sang pejuang sejati tahu benar tidak hanya bagaimana cara merebut tetapi juga mempertahankan. Kita, para pemuda yang hidup di era modern yang belum selesai ini (postmodern adalah era modern yang belum selesai[2]) memiliki tugas yang tak mudah: mewarisi perjuangannya.

Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Untuk bait kedua ini, izinkan saya bertanya: ‘apakah pada saat itu pemuda membatasi dirinya dalam sekat-sekat perbedaan?’ Dengan mengatakan bahwa Berbangsa yang Satu, maka demikian kita telah lama menendang jauh-jauh sekat-sekat perbedaan itu sendiri. Dengan diperkokohnya ikatan bangsa Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika, ia menjadi seperti satu buket bunga warna-warni yang kelak akan kau persembahkan kepada sang kekasih tercinta; romantisme Bangsa Indonesia justru karena didalamnya terdapat kesatuan dari aneka rupa keindahan (maafkan saya, jika pada saat ini yang terlintas di dalam pikiran saya adalah saat Mario Cavaradossi membuka arianya, recondita armonia di bellezze diverse[3] dalam Opera Tosca[4])
Maka, tidak berlebihan jika hari ini, di zaman modern ini - dimana sekat-sekat pembatas antara manusia satu dengan yang lainnya telah semakin hilang - kita mempertanyakan lagi, apakah akan kita bangun kembali sekat-sekat pembatas yang telah kita buang jauh-jauh puluhan tahun lalu itu?

Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Tidak ada Negara di belahan dunia ini yang paling beragam sekaligus paling banyak jumlah bahasanya – mekipun anda menggabungkan seluruh bahasa yang ada di Benua Eropa – kecuali Indonesia. Katakanlah, itu adalah kekayaan bangsa Indonesia, maka entitas itu layak kita pertahankan dan tunjukkan kepada dunia bahwa kita para pemuda yang hidup di hari ini meskipun berasal dari berbagai daerah, hidup di zaman modern, berbagai tingkat pendidikan, berbagai agama dan keyakinan, tetapi kebanggaan / pride kita terhadap Bahasa Persatuan tetap sama, Bahasa Indonesia.
Maka, Bahasa Indonesia kemudian dipahami sebagai roh dari jati diri orang Indonesia. Dimanapun ia berada, apapun jabatan dan posisinya, apakah di dalam Negeri atau di luar Negeri. Jika anda tidak memiliki kebanggaan akan jati diri anda, tidak mungkin anda akan menjadi seseorang yang patut dibanggakan oleh dunia. Ya, tahun 1928 para pemuda pendahulu kita telah berbicara tentang ini.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan tidak merasa sebagai pribadi yang serba benar. Marilah kita menjadi pemuda pengguncang dunia dan agen perubahan dengan tetap mempertahankan jati diri kita sebagai bangsa yang majemuk nan kaya dengan mewarisi nilai-nilai luhur para pejuang dengan mengutamakan kebijaksanaan diri daripada egosentrisme; memperbaiki diri daripada menunjuk hidung orang lain apalagi menyalahkan keadaan. Karena kita, para generasi millennials adalah generasi yang telah ditempa dari sebuah proses psikologis yang panjang, yaitu sebuah pelajaran yang mahal untuk menuju sebuah bangsa yang bijaksana dengan berkeadilan di Negeri yang kita namakan Nusantara ini.
Sekian.
Rangga Wirianto Putra
28 Oktober 2017



[1] Italia: Perlahan dengan penuh keagungan
[2] Oleh: Jürgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman.
[3] Italia: Harmoni dari aneka rupa keindahan.
[4] Opera Tosca merupakan Giacomo Puccini.

Saturday, 23 September 2017



40 Tahun sejak kepergian Maria Callas, dunia tak ikut mati.

Matahari tetap bersinar pada pagi hari dan burung-burung tak menghentikan nyanyiannya. Tetapi sejak kematiannya, ia tak pernah tergantikan. Sang Diva, Queen of the operaLa DivinaPrimadonna Assoluta atau apapun orang memanggilnya, ia tetaplah Maria Callas, yang hingga hari ini, ia masih menjadi defenisi dari kata 'Diva'.



Mendengarkan suaranya seperti membawamu pada ujung dunia, dimana yang ada hanya dirimu dan angin yang berhenti berhembus. Ia tak menjadikan dedaunan jatuh, hanya menggantung saja. Kepedihan, kepahitan bahkan air mata hanya bergantung di sudut matamu. Ketika pekikan suara yang Diva seakan membawa jiwamu pada sebuah padang nan gersang. Dunia seperti tersedot masuk pada pusaran singularitas ruang dan waktu. Hampa, hanya hampa.



Dengan demikian, tepukan di La Scalla tak pernah terlalu meriah sejak Sang Diva meninggalkan panggungnya. Karena Madam Callas, seorang penyanyi, interpreter, artis, atau apapun kau menyebutnya tak meninggalkan banyak, tetapi ia mewarisi apa yang tak banyak penyanyi miliki, ketika ia bernyanyi menggunakan hati. Hanya dengan hati. Itu saja.

(Rangga Wirianto Putra untuk 40 tahun Kepergian Maria Callas)







Saturday, 6 May 2017

Kei, dia berbicara Cinta



Jika cinta adalah sehelai kertas
maka kau adalah larik puisi yang tertuang diatasnya.

Jika cinta adalah sebuah rasa
maka kau adalah alasan bahagia sekaligus derita.

Jika cinta adalah nyawa
maka kau adalah rasa Si Ada dan Tiada.

Jika cinta adalah Symphony
maka kau adalah tingkat kesembilan, yang menghidupkan lalu mematikan.

Jika cinta adalah pelukan
maka kau adalah derai tawa apalagi air mata dalam hangatnya.

Tetapi...

Cinta,
tak terdefenisi oleh apapun.

Cinta,
tak sekedar kata yang tertulis diatas kertas.

Cinta,
tak terungkap dalam satuan rasa.

Cinta,
tak hanya mewujud dalam setiap nyawa.

Cinta,
tak terjelaskan oleh melodi dan harmoni.

Cinta,
tak hanya derai dibalik segala yang tercerai.

Cinta,
itu kamu, Kei.


Jakarta, 1 Desember 2013

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL “ THE SWEET SINS”   KARYA RANGGA WIRIANTO PUTRA Amalia Meldani Mahasiswa Prodi Sastra Ind...