Saturday 12 January 2013

13 fakta dibalik “The Sweet Sins”


Beberapa hari yang lalu, saya kembali membaca The Sweet Sins dari awal hingga akhir, hal yang sangat jarang sekali saya lakukan untuk membuka karya-karya yang telah saya tulis sendiri, tetapi seorang teman berkata kepada saya bahwa, saya harus kembali membuka The Sweet Sins, karena di beberapa bagian saya sedikit terlupa tentang kronologisnya. Tetapi yang terjadi adalah saya justru mencatat fakta-fakta unik selama proses pengerjaan “The Sweet Sins” dari awal hingga buku tersebut sampai di tangan anda saat ini.
Bilang ini adalah sebuah kebetulan! Saya merangkum ternyata ada 13 fakta unik yang tersembunyi dibalik “The Sweet Sins” ini. Tentunya ini adalah diluar kesengajaan saya sebagai penulis dan ini diluar suatu kebetulan bahwa tahun ini adalah Tahun 2013. Berikut adalah fakta-fakta unik tersebut:

1. Awalnya The Sweet Sins sempat ditolak oleh 2 penerbit dan tidak mendapat respons dari dua penerbit yang lain. Tetapi saya mengubahnya pada versi yang kedua hingga buku tersebut dapat sampai di tangan anda saat ini. Dan, DivaPress mengabarkan penerbitan The Sweet Sins hanya satu minggu setelah pengiriman naskah.

2. Saya sudah mengatakan bahwa The Sweet Sins adalah cerita fiksi, tetapi kejadian dan nama tokohnya saya ambil dari beberapa kisah dan nama teman saya sendiri, misalnya tokoh ‘Nyta’. Tokoh ‘Nyta’ murni terinspirasi dari sahabat saya sendiri yang bernama asli Fevtika R. D Aprianita. Tetapi tokoh ‘Nyta’ di dalam The Sweet Sins adalah satu-satunya tokoh yang tidak mempunyai nama lengkap, tidak seperti Reino Regha Prawiro, Ardo Praditya, Dalwind Faraby atau Diajeng Kamaratih Mahamayang. Tokoh ‘Nyta’ di dalam Novel ini saya gambarkan akhirnya menikah dengan ‘Aby’. Dan lagi-lagi ini adalah sebuah kebetulan, sahabat saya yang menjadi inspirasi untuk tokoh ini benar-benar menikah di bulan yang sama ketika The Sweet Sins terbit, yaitu bulan Oktober tahun 2012. Tetapi saya ingin menegaskan bahwa kehidupan tokoh ‘Nyta’ di dalam The Sweet Sins adalah berbeda dengan sahabat saya itu, kehidupan tokoh ‘Nyta’ hanyalah fiksi dan murni hanya karangan saya semata, saya hanya meminjam nama ‘Nyta’ saja. Lalu, adegan di dalam Novel The Sweet Sins ketika tokoh ‘Nyta’ mengaku bahwa ia sedang hamil kepada Reino dan Maia, dialognya saya kutip dari kejadian nyata seorang teman wanita saya. Kejadian tersebut terjadi beberapa minggu terlebih dahulu, baru kemudian saya menuliskan adegan tersebut untuk Novel The Sweet Sins.

3. Beberapa lokasi yang menjadi setting di dalam Novel The Sweet Sins adalah nyata dan pernah ada.

4. Awalnya, Uncle Alvin Adam yang hendak memberikan endorsement di The Sweet Sins pada cetakan pertama, tetapi mengingat kesibukan beliau, sehingga tidak jadi memberikan endorsement. Akhirnya endorsement d

5. Cover The Sweet Sins adalah asli lukisan tangan yang mana lukisan tersebut terinspirasi dari sebuah potret model yang saya anggap mewakili sosok Reino yang seorang blasteran Belanda-Indonesia dengan tatapan sendu.

6. Novel The Sweet Sins pada awalnya dijadwalkan akan launching bersamaan dengan Novel cetak ulang ‘Garis Tepi Seorang Lesbian’ dengan judul ‘Asmora Paria’ oleh Mbak Herlinatiens tetapi dengan beberapa pertimbangan, The Sweet Sins dilaunching terlebih dahulu dari Novel Asmora Paria.

7. Percakapan antara Reino dan Ardo tentang “Bayi Duren” adalah kisah nyata seorang rekan yang ia ceritakan kepada saya.

8. Kalimat “Fotography is all about you can freeze the moment” merupakan kalimat dari seorang rekan sesama fotografer kepada saya.

9. Kisah tentang “Mamanya si Ari” adalah kisah nyata yang diceritakan seorang rekan kepada saya.



10. Deskripsi kalimat yang terdapat di dalam bingkai foto Bapak Soeharto di Astana Giribangun adalah nyata.





11. Pendeskripsian penampilan Maria Callas pada percakapan antara Reino dan Ardo adalah nyata, konser-konser tersebut nyata dan merupakan konser-konser terakhir Maria Callas.

12. Beberapa bagian di Novel The Sweet Sins mengalami penyuntingan oleh penerbit, terutama pada beberapa bagian percintaan antara Reino dan Ardo yang awalnya saya tulis cenderung sangat vulgar sehingga harus disunting. Lalu, judul Novel The Sweet Sins pada awalnya hanyalah “The Sweet Sins”, kata-kata “Di Balik Pelukan Terhangatnya” merupakan improvisasi dari pihak penerbit.

13. Yang terakhir, yaitu pada tanggal 5 September 2012, dimana kejadian yang saya tulis di dalam Novel The Sweet Sins yaitu ketika Reino dan Ardo berpisah di Pantai Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta. Pada hari itu, saya benar-benar pergi ke Pantai Parangkusumo itu seorang diri dan melihat hal yang sama yang saya deskripsikan di dalam Novel The Sweet Sins: angin yang cukup kencang, cenderung berawan dan ketika matahari terbenam, sinarnya dapat membentuk sillhouet, karena tidak setiap sinar matahari tenggelam dapat membentuk sillhouet di kamera. Lagi-lagi apakah ini sebuah kebetulan ataukah…? Entahlah…

Untuk teman-teman yang penasaran dibalik pembuatan Novel The Sweet Sins, semoga 13 fakta ini dapat sedikit menjadi bocoran dan selebihnya terpulang kembali kepada teman-teman pembaca semuanya.

Rangga, 12 Januari 2013

Saturday 5 January 2013

Cinta Manis Sepasang Lelaki (TRIBUNJOGJA)


Resensi dimuat di: TRIBUNJOGJA
Pekan Ketiga Oktober 2012. Resensi oleh Redaksi .

“…Kenapa aku bisa mencintai sesama lelaki? Apakah aku gila? Mungkin iya. Tetapi, aku merasa damai dan terlindungi di dekatnya. Salahkah aku?...” (Hlm. 132)

Mengalami sebuah metamorfosis kehidupan cinta bagi seorang gigolo seperti Rei tidak heran jika membuat kening kita berkerut. Bagaimana tidak, mahasiswa jurusan teknik dan blasteran Indonesia-Belanda ini bisa jatuh cinta begitu dalam kepada seorang pria bernama Ardo. Sebuah proses yang terbilang singkat, seakan membalikkan sosok pria penghamba uang ini menjadi seorang pria yang teramat setia kepada pasangannya. Kecemasan maupun kebingungan yang sempat menghampiri Rei, perlahan-lahan hilang seiring dengan rasa nyaman ketika berada di sisi Ardo, yang memiliki profesi sebagai seorang newscaster di sebuah stasiun televisi lokal.

Kasih sayang dan cinta yang dialami keduanya di masa-masa awal hubungan mereka diceritakan dengan begitu manis dan smooth oleh Rangga Wirianto Putra sehingga terus menghipnotis pembaca untuk terus mengikuti kelanjutan hubungan dua pria yang sama-sama terlihat gagah di mata lawan jenisnya ini. Tidak hanya itu, sejak membuka halaman awal, pembaca disuguhkan dengan tata letak yang spektakuler, yaitu penyajian naskah yang mengikuti bentuk sebuah naskah opera, tidak ketinggalan dengan ketukan-ketukan irama dalam not balok sebagai penguat suasana. Tentu bagi orang awam, hal ini menjadi tanda tanya tersendiri dan penulis memang dengan sengaja menghadirkan secara total seberapa jauh ia mempelajari seluk-beluk opera hingga menonjolkan kekagumannya akan sosok Maria Callas, tokoh besar yang menjadi parameter para biduanita saat tampil di atas panggung.

Selain mencintai seni, penguasaan Rangga dalam ilmu-ilmu eksakta pun tidak kalah apiknya. Terbukti ia tanpa terasa kaku bisa menjabarkan ilmu-ilmu fisika tanpa membuat pembaca ingin melewatinya begitu saja. Seperti dalam percakapan di antara Rei dan Ardo: 

“Ya, mungkin aja, sih. Tapi aku malah berpikir gini. Dalam dunia fisika, ada yang dinamakan hukum kekekalan energi. Bahwa konstanta energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain, tapi tidak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan.” (Hlm. 222)

Hubungan keduanya yang hanya diketahui oleh teman-teman dekat Rei itu, pada akhirnya dihinggapi konflik yang mau tidak mau memaksa mereka berpikir keras apakah akan dilanjutkan atau diakhiri. Namun bagaimanapun, penutup yang dipilih Rangga adalah sesuatu yang sangat luar biasa dan menjadi hal termanis dalam buku ini.

Judul: The Sweet Sins
Penulis: Rangga Wirianto Putra
Penerbit: DIVA Press
Tebal: 428 hlm
Terbit: Oktober 2012
Harga: 50.000

The Sweet Sins – Di Balik Pelukan Terhangatnya


Resensi dimuat di: http://bibliotecarizka.blogspot.com/
Diposkan oleh: Rizka Felyna Drogo - Sabtu, 29 Desember 2012

Judul buku: The Sweet Sins – Di Balik Pelukan Terhangatnya
Pengarang: Rangga Wirianto Putra
ISBN: 9786027723085
Pages: 428
Terbit: Oktober 2012
Penerbit: DIVA Press
Rate: 5 of 5 stars

Ketika sang surya pagi menembus sela-sela jendela, aku tersadar, ternyata aku tidur dalam dekapannya. Aku pun merapat sama eratnya. Di sini, di balik dadanya, aku dapat melihat sinar matahari pagi membelai wajahnya yang rupawan dan melukiskan segala keindahan di sana.
Di Balik Pelukan Terhangatnya….

“Jangan sentuh buku ini jika tidak mau tertampar-tampar oleh makna cinta!!!”
Helmy Feriansyah, artis.

Ya betul, jangan sentuh buku ini kalau tidak mau tertampar, tapi saya nekat baca, saya ingin tahu kuat atau tidak tamparan dibuku ini. Ternyata…..

Dreamcast : Nicholas Saputra (Rei)
Reino Regha Prawiro, biasa dikenal sebagai Rei, muka ganteng campuran Indonesia – Belanda (salahkan saya jika langsung bilang Nicholas Saputra mirip banget dengan gambaran seorang Rei) seorang gigolo dan seorang pencari kesenangan duniawi yang ditinggal oleh ayahnya demi perempuan lain, biasa di-booking tante – tante, sering hang-out bareng teman-teman yang tidak kalah rusak, suka dugem sambil mabok. Tapi biar suka dugem dan pergaulan agak bebas, Rei tergolong mahasiswa cerdas.

Dreamcast : Prabu Revolusi (Ardo Praditya)
Awalnya orientasi seksual Rei normal-normal saja sampai pada malam kecelakaan yang mempertemukan Rei dengan Ardo Praditya, sang newscaster ganteng (dan salahkan saya lagi jika Prabu Revolusi terasa pas dengan sosoknya Ardo). Semua berubah, dari awalnya penasaran, kepikiran Ardo terus, dan berakhir di Merapi View Resort.

05 September 2011 di Merapi View Resort, malam yang dihabiskan dengan ngobrol dan curhat, bagaimana dewasanya Ardo tergambar jelas, teori – teori dan nasihat Ardo sampai pernyataan cinta yang menurut saya sangat luar biasa dan bikin saya deg-degan membacanya.

“Rei, ini hatiku dan sekarang sepenuhnya milikmu. Terserah kamu apakan hatiku setelah ini. akan kamu sakiti atau bahkan kamu cabik –cabik sekalipun, aku terima. Karena hatiku cuma satu. Dan itu buat kamu….”

Oh … satu lagi, jangan lupa gombalan di novel ini mantap – mantap. Suka banget pas Ardo ngomong masalah cinta ” Love is all about YOU and ME, not about THEM.”  Egois banget kata – kata Ardo, tapi cinta itu memang egois dan kadang itu yang membuat cinta menjadi indah sekaligus perih.

Belum komplit rasanya kalau belum dibahas hal yang satu ini : sex scene. Menurut saya sex scene-nya lumayan gamblang untuk ukuran novel lokal. Dan yang jelas bisa bikin ngilu tulang belakang saya sebagai pembaca. Mulai dari cara bercinta halus, kasar sampai yang putus asa. Yup, pengarangnya jago bikin sex scene. I love this part , terasa jujur dan meledak.

Cinta Rei dan Ardo tidak selamanya mulus, sandungan – sandungan mulai bermunculan, dari sakitnya Ayah Ardo sampai ke perjodohan dengan Rezta hingga ketakutan Ardo dan Rei akan dipisahkan oleh kondisi yang memaksa. Walaupun tahu cinta yang mereka punya tidak akan bertahan selamanya secara fisik, tapi Rei dan Ardo tetap berusaha menikmati percintaan mereka.

Makin banyak halaman buku ini yang saya baca, makin terasa perihnya. Apalagi ketika buku sudah hampir mencapai halaman 300-an, rasanya berdarah hati saya. Dan entah kenapa ketika membaca buku ini jadi kangen sama suasana Yogyakarta.

“Tubuhmu adalah tubuhku. Aku milikmu. Kamu milikku. Tidak ada rahasia lagi. Tidak ada penghalang lagi. Sakitmu adalah sakitku. Tawamu, air matamu, marahmu, semuanya adalah tanggung jawabku”

Jangan kaget jika membaca The Sweet Sins banyak ditemukannya :
1. Bahasa bebas dan kasar.
2. Banyaknya partitur lagu.
3. Tiap bab ada hal – hal yang berbau opera.

One of the Brightest Stars – James Blunt juga mengiringi saya menyelesaikan buku ini. Terasa cocok sekali melodinya.

One day your story will be told,
One of the lucky ones, who´s made his name
Beneath the lights of your deserved fame.

Dari awal saya baca sinopsisnya saja, saya sudah tahu novel ini akan menjadi salah satu novel kesukaan saya, selain mengusung tema gay, jalan ceritanya dan jalinan kalimat yang disuguhkan oleh Rangga Wirianto bisa membuat perasaan saya tidak karuan selama berminggu – minggu. Hebat Rangga!

Happy Reading
Rizka Felyna Drogo

Opera Seorang Gay


Resensi dimuat di: http://radarseni.com/2012/11/17/opera-seorang-gay/
Published On Saturday, November 17, 2012 By admin. Under: Buku Baru.  

Judul: The Sweet Sins
Pengarang: Rangga Wirianto Putra
Penerbit: Diva Press, Yogyakarta
Cetakan: Oktober 2012
Tebal: 428 halaman
ISBN: 978-602-7723-08-5
Peresensi: Nuri Riyantini*

Cinta merupakan hal wajar yang dirasakan oleh setiap insan. Menjadi tidak wajar ketika seorang manusia tidak memiliki rasa cinta. Cinta ibarat nano-nano, banyak hal yang bisa dirasakan darinya seperti sedih, senang, susah, galau, gembira semua tumpah jadi satu. Cinta membuat segalanya menjadi mudah. Cinta yang selama ini kita tahu, hanyalah cinta antara seorang wanita dan pria. Tapi pernahkah kita membuka pikiran bahwa ada juga cinta antar pria sesama pria?

The Sweet Sins karya Rangga Wirianto Putra akan membuka cakrawala pengetahuan manusia. Novel ini bercerita tentang seorang mahasiswa yang bekerja sampingan menjadi gigolo, walaupun hal itu bukanlah keinginannya melainkan tuntutan kebutuhan finansial. Setiap harinya ia habiskan bersama sahabat-sahabatnya dari satu club ke club lain. Hingga akhirnya, ia bertemu pria bernama Ardo, seorang newscaster di salah satu stasiun televisi swasta di Yogyakarta. Perjumpannya dengan Ardo merubah kehidupannya. Berkat Ardo, Rei yang awalnya seorang partygoers menjadi jarang ke club. Sekalipun ke club ia tidak pernah mabuk.

Tidak hanya kehidupan malamnya, kehidupan cinta Rei pun ikut berubah. Ia menjadi seorang yang mencintai sesama jenis. Rei pun menjalin cinta hampir setahun dengan Ardo. Suatu tindakan yang keluar dari koridor kodratnya pasti akan banyak ditimpa cobaan. Sama halnya dengan kisah cinta dua pria dalam novel ini, banyak ujian yang harus mereka hadapi. Misal, kedua orang tua Ardo menginginkan Ardo menikah dengan wanita pilihan mereka.

Novel ini diakhiri dengan keputusan Rei yang rela melepaskan Ardo untuk hidup normal. Dan juga kehidupan Rei yang menjadi benar setelah ia bertemu dengan Ardo. Kuliah Rei menjadi tertata sampai ia lulus cumlaude dan akhirnya menerima beasiswa untuk belajar di Belanda. Tidak hanya kehidupan Rei saja yang disorot, namun kehidupan orang-orang disekitar Rei juga ikut terseret.

Novel ini secara detail mengeksplorasi dinamika kehidupan tokoh utama seorang Rei. Penulis menggunakan sudut pandang orang pertama. Akibatnya, pembaca menjadi bagian dalam kisah ini, menjadi Rei dan tidak menjadi diri seorang pembaca. Sebab, tidak jarang pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama mahatahu untuk menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan tokoh utama.

Kelebihan pengarang tidak hanya dari segi penggunaan sudut pandang. Penggunaan bahasa yang akrab dengan kehidupan sehari-hari muncul pada komunikasi antar dialog cerita, ada rasa yang kental, tidak bertele-tele, hingga selesai. Pembaca akan mendapat pengetahuan baru dari kehidupan cinta seorang gay. Tidak hanya kehidupan cinta, pembaca akan digiring untuk mengetahui lebih jauh tentang opera dan musik luar negeri yang terlibat dalam novel ini.

Tak ada gading yang tak retak, begitulah kata pepatah untuk menjustifikasi novel ini. Selain kelebihannya yang memukau, novel ini juga memiliki beberapa kekurangan, di antaranya banyak sekali pokok bahasan narasi yang berhubungan dengan musik-musik luar negeri yang membingungkan pembaca, artinya tanpa ada keterangan lebih lanjut seperti footnote. Selamat membaca!

*Wartawan Jurnal Kreativa

Friday 4 January 2013

The Sweet Sins dan teman-teman pembacanya


Dear friend,
Belum terlambat rasanya saya mengucapkan Selamat Tahun Baru 2013 kepada teman” semua. Prosit Neujahrs fur alle meine Freunde J
Pertama dan utama sekali saya ingin mengucapkan terimakasih berkat bantuan tak terduga dari seseorang, Blog ini dapat kembali aktif, setelah sebelumnya ‘mogok’ tidak bisa dibuka. Hari ini, 04 Januari 2013. Lagi, setiap bangun tidur, selalu ada messages di email, facebook atau di BBM yang berkomentar tentang “The Sweet Sins” dari pembaca. Saya sangat menghargai apa pun yang pembaca tulis tentang The Sweet Sins. Ada yang menuliskan tentang manfaat dari buku ini, atau ada juga yang menuliskan tentang terimakasihnya kepada saya karena telah menuliskan The Sweet Sins. Dengan ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada teman-teman pembaca The Sweet Sins.
Tetapi, ada satu bagian yang cukup menarik perhatian saya, ada beberapa dari pembaca mengatakan bahwa tidak jarang mereka menangis ketika atau setelah membaca The Sweet Sins, itu terlihat dari kata-kata seperti, ‘sudah membuat air mata saya tumpah saat bagian klimaksnya’, ‘air mata gue langsung netes ketika Ardo menerima perjodohan itu padahal Reino sudah berjuang untuknya’, ‘di halaman 200-an aku nangis, aku ampe bisa ngerasain perihnya Reino… be strong!’. Itulah sebagian komentar yang diberikan oleh teman-teman pembaca kepada saya.
Sebagai seorang penulis, saya merasa mempunyai beban moral tersendiri untuk mempertanggungjawabkan sebuah karya atau hasil tulisan saya kepada teman-teman pembaca. Dengan ini, saya ingin meminta maaf jika The Sweet Sins telah membuat teman-teman pembaca ikut merasakan apa yang saya tuliskan. Besar harapan saya, teman-teman pembaca dapat memetik pelajaran atau manfaat dari buku ini, sekecil apapun manfaatnya. Karena cuma dengan begitulah nama seorang penulis bisa ditorehkan dalam hati setiap pembaca.
Tanggal 9 November, dua yang lalu, The Sweet Sins dibedah di pameran buku yang diselenggarakan oleh IKAPI, Ikatan Penerbit Indonesia. Sebagai pembedan, Mbak Herlinatiens mengatakan bahwa setiap buku, atau setiap karya sastra itu mempunyai dunianya sendiri. Agaknya ini lah yang dirasakan oleh teman-teman pembaca The Sweet Sins, pembaca memasuki dunia Reino dan Ardo sehingga teman-teman pembaca ikut merasakan konflik apa yang saya tuliskan di buku ini. Di dalam benak pembaca, tampaknya itu mewujud nyata, disamping gaya bahasa yang saya gunakan adalah gaya bahasa bertutur dan point of view atau sudut pandang yang saya gunakan adalah sudut pandang orang pertama. Artinya, pembaca sengaja saya libatkan untuk menempatkan diri mereka sendiri sebagai tokoh utama, sebagai Reino. Dan, tugas penulis adalah membuat setiap scene atau adegan itu se-real mungkin, di-setting senyata mungkin sehingga membawa pembaca benar-benar memasuki dunia yang kita sajikan buat mereka. Saya sangat setuju dengan pendapat seorang penulis ternama, Andrei Aksana, dalam sebuah bukunya, beliau mengatakan bahwa penulis itu adalah tuhan dengan ‘t’ kecil. Yang artinya, penulis memang mempunyai hak prerogatif untuk mengatur semua yang ada di dalam naskahnya. Masalahnya apakah naskah itu benar-benar hidup ataukah hanya naskah yang numpang singgah lalu pergi dari benak pembaca? Itu semua ada di tangan teman-teman pembaca.
Pada hari yang sama, ketika The Sweet Sins dibedah, salah seorang pengunjung bertanya kepada saya, ‘dalam hubungan homoseksual, apakah cinta itu fitrah baginya?’. Lalu, saya menjawab, cinta dan fitrah saya rasa itu adalah dua hal yang berbeda. Saya lebih cenderung menerima pernyataan bahwa fitrah manusia adalah mencintai itu benar. Tetapi, bagaimana cinta itu, kepada siapa cinta itu kita berikan dan bagaimana bentuk dari rasa cinta, itu yang harus ditinjau lagi. Jangan terburu-buru mengatakan bahwa cinta pada kaum homoseksual itu adalah salah atau benar. Karena salah atau benar saja masih tidak ada ukurannya. Jadi, saya lebih cenderung mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai cinta tetapi dengan cara mereka sendiri mewujudkan cintanya. Persoalan salah atau benar, heteroseksual atau homoseksual, itu tidak bisa dijadikan premis untuk mengambil sebuah kesimpulan.
Lalu pertanyaan selanjutnya yang bagi saya cukup sulit untuk menjawabnya adalah, ‘bagaimana kontribusi buku ini terhadap komunitas LGBT dan apakah karya sastra tentang LGBT ini salah satu upaya untuk legalisasi Undang-undang Pernikahan Sesama Jenis?’ Dengan berusaha menarik napas saya menjawab, tidak ada hubungannya sebuah karya sastra (termasuk karya sastra yang bercerita tentang LGBT) dengan legalisasi suatu undang-undang tertentu. Aneh rasanya ketika saya membayangkan bahwa saya menuliskan The Sweet Sins adalah bertujuan untuk legalisasi pernikahan sesama jenis. The sweet sins mempunyai dunianya sendiri, kisah cerita selama satu tahun antara Reino dan Ardo yang pada akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah, sama sekali tidak menyinggung apalagi mengajak orang untuk menjadi homoseksual bahkan melegalkan pernikahan sesama jenis. Tanpa menghilangkan rasa hormat saya kepada yang bertanya, saya kuat menduga bahwa yang bertanya belumlah membaca karya saya.
Terdapat perbedaan antara karya sastra murni dengan karya-karya yang cenderung provokatif, artinya karya tersebut sengaja dibuat untuk satu tujuan tertentu, biasanya memuat hal-hal yang cenderung dipaksakan, pencitraan dan biasanya ditunggangi oleh satu kepentingan tertentu. Saya rasa itu lah jawaban mengapa sedikit penulis yang akhirnya menjadi politikus. Karena, seorang penulis sejati, mempunyai idealisme sendiri, sedangkan politikus, adalah idealism banyak orang. Maka, bukan ranah seorang penulis – apalagi saya – untuk menjudge bahwa suatu karya adalah dengan tujuan legalisasi atau bukan.
Beberapa hari yang lalu, seorang pembaca bertanya kepada saya melalui e-mail, apakah ada kemungkinan The Sweet Sins akan diangkat ke layar lebar? Pertama saya mohon maaf kepada teman-teman pembaca bahwa jika The Sweet Sins diangkat ke layar lebar, maka akan menghabiskan dana yang cukup besar dan durasi yang tidak seperti film-film kebanyakan, dikarenakan setiap bagian dari film akan mengikuti struktur seperti di Novel aslinya. Apalagi, untuk musik, musik pengiring haruslah orkestrasi lengkap layaknya sebuah pertunjukan opera. Melihat keterbatasan tersebut, rasanya untuk saat ini, The Sweet Sins belum akan diangkat ke layar lebar, disamping segmen pembaca dan penonton film adalah dua orang yang berbeda. Saya tidak ingin membuat pembaca saya merasa kecewa, karena sudah beberapa orang yang berekspektasi besar terhadap beberapa tokoh yang layak untuk diajukan menjadi pemain di Film, diantaranya Nikolas Saputra, Prabu Revolusi bahkan Deni Sumargo mereka anggap cocok untuk mewakili tokoh-tokoh tersebut. Jujur, ketika saya menulis The Sweet Sins, saya tidak membayangi pemeran siapapun ketika saya menulis tentang Ardo, Reino dan pemeran yang lain.
Tetapi, bagaimanapun juga, saya menerima semua masukan dari teman-teman pembaca, tidak hanya untuk memacu semangat agar menghasilkan karya lebih baik, tetapi sebagai koreksi terhadap diri saya secara pribadi…

Salam. Rangga Wirianto.
04 Januari 2013


ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL “ THE SWEET SINS”   KARYA RANGGA WIRIANTO PUTRA Amalia Meldani Mahasiswa Prodi Sastra Ind...