Sebuah Analisa Rasa terhadap Proses
Kreatif Das Lied von der
Erde (Kidung
Bumi) oleh Gustav Mahler.
oleh: Rangga Wirianto Putra
Menyenangkan rasanya untuk menuliskan
draft tulisan ini karena saya bukan seorang musisi, bukan pula seorang kritikus
musik, saya berada diluar itu semua. Saya hanyalah seorang penikmat – sekaligus
pecinta- karya musik klasik yang memfokuskan perhatian saya pada era zaman
romantik – meski tidak selalu. Saya meletakkan perhatian saya yang lebih besar pada Mozart, Beethoven, Wagner, Verdi, Puccini dan Mahler. Mereka adalah komposer paling berpengaruh dalam perkembangan musik barat. Tetapi kali ini saya tertarik ingin membahas proses kreatif sebuah karya Gustav Mahler.
Gustav Mahler (7 Juli 1860 - 18 Mei 1911) |
Gustav Mahler adalah seorang composer dan conductor terkenal pada zaman romantik. Karya Gustav Mahler yang
paling terkenal adalah Symphony No. 5 dan No. 9 yang sekaligus menjadi symphony
terakhir yang ia selesaikan secara utuh. Selain Symphony, karya Mahler yang
terkenal adalah karyanya yang berbentuk Sinfonischer
Liederzyklus yang berjudul Das Lied
von der Erde. Karya ini memuat enam rangkaian lagu yang saling berhubungan.
Di dalam tulisan ini, saya ingin meraba-raba
proses kreatif seorang Gustav Mahler ketika menciptakan Das Lied von der Erde berdasarkan latar belakang bidang keilmuan
saya, yaitu Psikologi. Jika boleh, izinkan saya untuk menyodorkan sebuah analisa rasa sebagian bagian dari proses
berimajinasi menggunakan rasa secara total dari seorang penikmat seni terhadap
sebuah karya dengan pijakan latar belakang kehidupan sang kreator (dalam hal
ini adalah seorang komposer) ketika menciptakan sebuah karya. Saya
menitikberatkan independensi saya yang berada diluar bidang ilmu musik dan saya
pun dapat dikatakan terbebas dari belitan teori musik terutama teori musik
zaman romantik – yang kita semua tahu – tidak mudah. Percayalah, saya tidak
bercanda dalam hal ini, terutama jika kita berbicara tentang komposer nomer
wahid pada zaman itu, sebut saja Richard Wagner, Hector Berlioz, hingga Gustav
Mahler sendiri.
Das
Lied von der Erde merupakan Sinfonischer Liederzyklus (rangkaian
nyanyian) yang diciptakan oleh Gustav Mahler pada rentang tahun 1908 hingga
1909. Das Lied von der Erde sendiri
terdiri dari enam siklus lagu yang terdiri dari:
1.
"Das Trinklied vom Jammer der Erde"
(nyanyian bumi yang nestapa)
2.
"Der Einsame im Herbst"
(sang sepi di musim gugur)
3.
"Von der Jugend" (sang
pemuda)
4.
"Von der Schönheit" (si
cantik)
5.
"Der Trunkene im Frühling"
(si pemabuk di musim semi)
6.
"Der Abschied" (perpisahan)
Masa-masa penciptaan karya ini dapat
dikatakan adalah masa dimana seorang Gustav Mahler berada dalam titik paling
suram dalam hidupnya. Kesuraman pertama datang ketika Mahler sedang berada
dalam masa kejayaannya, dimana pada tahun 1907 ia terpaksa mengundurkan diri dari
jabatannya di Gedung Opera paling prestige
di Wina, Wiener Staatsoper karena
politik antisemit yang berkembang di daratan Eropa pada tahun itu. Tak lama
kemudian, pada 12 Juli 1907 Mahler kembali harus menelan kenyataan pahit bahwa
ia harus kehilanga seorang Puterinya karena penyakit demam dan difteri. Dan
pada akhir tahun 1907 Mahler didiagnosis menderita kelainan jantung yang
menyebabkan ia tidak lagi diizinkan untuk beraktivitas yang berlebihan.
Tiada yang lebih buruk daripada apa yang
menimpa Mahler sepanjang tahun itu, sebuah perpisahan, kehilangan dan krisis
kepercayaan diri di masa terakhir hidup Mahler sebagai seorang musisi kelas
wahid. Pada masa ini lah, Das Lied von
der Erde lahir sebagai katarsis – jika boleh dikatakan begitu – seorang
Gustav Mahler terhadap kesuraman-kesuraman yang ia alami. Maka tidak heran jika
karya Mahler yang satu ini bertemakan kehidupan, kesakitan, perpisahan, dan
kematian.
Layaknya karya-karya Mahler yang lain, Das Lied von der Erde sangat kaya akan
kompleksitas harmoni meskipun pada beberapa lagu berjalan dengan lebih lambat
(pada Der Abschied bahkan durasinya
mencapai 25 menit) sekaligus
menjadikannya lebih liris – seperti sebuah bisikan – tetapi tetap dengan
ciri khas seorang Gustav Mahler dengan nuansa romantik yang sangat kental.
Ya, tak mungkin Mahler mampu
beralih dari style itu.
Sebagai sebuah lagu pembuka, pembukaan Das Trinklied vom Jammer der Erde (nyanyian
bumi yang nestapa) seperti sebuah deklarasi tentang nestapa terdalam dengan
tempo allegro pesante yang biasanya
menggambarkan emosi kebahagiaan, tetapi Mahler seolah ‘membanting’ emosi dari
lagu tersebut dengan larik puisi:
Das
Lied vom Kummer soll auflachend in die Seele euch klingen.
Wenn
der Kummer naht, liegen wüst die Gärten der Seele,
Welkt
hin und stirbt die Freude, der Gesang.
Dunkel
ist das Leben, ist der Tod.
(Lagu tentang kenestapaan akan menderai
tawa dalam jiwamu.
Ketika kesedihan datang, mengecam dusta
di selubung jiwa,
layu kemudian binasa dalam
nyanyian.
Kegelapan adalah kehidupan, kegelapan
adalah kematian!)
Dari video Das Trinklied vom Jammer der Erde yang dibawakan oleh Jonas
Kaufmann, seorang Wagnerian Tenor maka kita dapat melihat bahwa karya Mahler
yang satu ini dibawakan dengan sangat cemerlang oleh seorang tenor dengan warna
suara gelap khas seorang Heldentenor. Ya, posisi mereka memang persis berada di
wilayah ini. Presisi.
Bagian tergelap dari lagu ini menjadi
lebih begitu terasa terutama pada bagian klimaks dengan sebuah teriakan lantang:
"Hört
ihr, wie sein Heulen
hinausgellt
in den süßen Duft des Lebens!"
(Dengarlah lolongannya seakan mengeluarkan
aroma manis kehidupan!)
Seakan tak cukup, Mahler menambah frasa
paling ‘membunuh’ pada bagian penutup
lagu ini dengan nada rendah dan lurus, seperti sebuah penekanan:
"Dunkel
ist das Leben, ist der Tod"
(Kegelapan adalah kehidupan, kegelapan
adalah kematian!)
Mungkin, style Mahler yang seperti inilah yang dikatakan seorang Kritikus
musik bahwa Karya Musik Mahler merupakan anteseden dari para pendahulunya,
seperti Beethoven dan Wagner. Mahler dikatakan memiliki kepribadian musiknya sendiri yang cenderung berkebalikan dengan dunia
emosi dan perasaan (world of feeling.)
Jika dahulu Johann Sebastian Bach menabrak aturan musik zaman Barok dengan style kontrapungnya sehingga menjadikan musik berkembang menuju
zaman klasik, seperti itu lah dinamika yang terjadi pada Gustav Mahler. Ia
adalah angsa hitam diantara dominasi linieritas musik pada saat itu sehingga
perkembangan emosi dari sebuah karya musik tidak lagi linier dengan tempo. Tetapi
emosi penciptaan terlihat dari keseluruhan nuansa yang terdiri dari tempo,
nuansa maupun lirik; sebuah kesatuan yang utuh dari sebuah karya.
Sebagai perbandingan, kita dapat melihat
bagaimana Wagner menggambarkan betapa agungnya seorang kesatria Parsifal (Perceival) lewat pembuka (overture) Parsifal; atau betapa
sentimennya seorang Senta di dalam Der Fliegende Holländer; dan betapa
cinta matinya Tannhäuser kepada Dewi Venus
di dalam Tannhäuser, yang mana musik berjalan linier dengan
emosi yang dibawanya.
Dengan demikian, mustahil rasanya jika
membahas keunikan karya Gustav Mahler
dengan melepaskan secara total pengaruh composer
zaman romantik pada saat itu, dimana kita tahu bahwa Wagner – yang seorang anti
semit – cukup berpengaruh di Eropa, khususnya Jerman dan Austria – bahkan
dikatakan Parsifal adalah karya yang sangat digemari oleh Hitler yang juga dijadikan inspirasi ketika memberangus
orang-orang Yahudi. Sedangkan Mahler adalah seorang Yahudi yang taat. Beban
besar terletak pada pundak Mahler, dan itu terlihat di hampir semua karya
Symphonynya. Mahler seakan ingin membolak-balikkan dunia perasaan itu dan
menjadikannya sama sekali terbebas dari realitas yang terkait dengan issue anti semit. Emosi ini dapat dirasa
begitu kuat pada karya symphony Mahler yang terakhir, Symphony yang ia ciptakan
secara utuh, yaitu Symphony No. 9.
Pengalaman menikmati lagu terakhir dari
rangkaian lagu simfoni (Sinfonischer
Liederzyklus) dari seorang komposer Gustav Mahler yang berdurasi sekitar 30
menit untuk satu lagu terakhir ini membuat saya sekali lagi menyelami karya
paripurna seorg Gustav Mahler. Meskipun dgn melodi yg mendayu serta
kompleksitas harmoni-nya yg menyatu membuat karya ini tidak bisa lepas dr
sebuah defenisi sbg sebuah karya tingkat tinggi pd periode akhir zaman
romantik.
Ya, karya2 Mahler berhak untuk
duduk disana.
Dalam Der Abschied (perpisahan) Mahler membuka karyanya dengan nuansa
yang sangat gelap ingin menyampaikan sebuah bisikan terdalam dr jiwanya. Dalam
nada yang begitu lirih, Mahler mengungkapkan:
“...Ich
wandle auf und nieder mit meiner Laute
auf
Wegen, die von weichem Grase schwellen.
O
Schönheit! O ewigen Liebens, Lebens trunkne Welt!”
(...betapapun sebuah keindahan.
Wahai cinta yang keabadiannya
paripurna, sungguh kehidupan yang memabukkan dunia... )
Sebuah ungkapan yang ketulusannya tiada
banding. Setulus ketika Alfredo Catalani di dalam La Wally mengungkapkan: Ebben!
Ne andrò lontana (aku akan pergi, sendiri, dan pergi jauh!) Atau, ketika
Wagner membunuh Isolde dalam opera Tristan
und Isolde pada larik terakhir Isolde
Liebestod: ertrinken, versinken, unbewußt,
höchste Lust (hilang, tenggelam dalam ketidaksadaran menuju kenikmatan abadi!) Dan
pada akhirnya, sang tokoh utama benar-benar pergi.
Der
Abschied adalah penutup
sebuah karya yang sangat sempurna. Sepertinya Mahler tahu benar akan siapa dirinya,
apa yang telah ia alami, bagaimana ia menjalaninya dan apa yang akan terjadi
kemudian. Lewat rangkaian lagu Das Lied
von der Erde, Mahler seakan ingin berteriak dalam keputusasaan dengan
sekeras-kerasnya tentang siapa yang telah mengenal dirinya maka ia akan mengerti
tentang kehidupan dan pada akhirnya akan berdamai dengan dirinya sendiri.
"Dunkel
ist das Leben, ist der Tod"
Tepat dua tahun setelah penciptaan, Das Lied von der Erde Mahler pun pergi
pada 18 Mei 1911 diusia 50 tahun.
***
Katarsis dalam sebuah
karya seni.
Pelepasan emosi melalui media karya seni
atau karya sastra bukanlah hal yang baru di dalam Ilmu Psikologi. Psikologi
menyebutnya dengan istilah katarsis. Awalnya katarsis adalah salah satu bagian
dari Bagan Teori Psikoanalisa Sigmund Freud. Freud mengembangkan katarsis sebagai
pengobatan untuk orang dengan gangguan histeria. Secara umum, katarsis adalah bentuk
pelepasan emosi negatif yang bersumber dari alam perasaan. Beberapa metode yang
lazim digunakan dalam katarsis diantaranya adalah pengungkapan perasaan melalui
tulisan, verbal, musik, gerakan maupun metode pemijatan titik akupuntur.
Psikologi menyederhanakan teknik katarsis yang menggunakan medium seni dengan
menyebutnya sebagai terapi seni (art teraphy).
Mungkin tanpa sadar kita telah melakukan
katarsis dalam kehidupan sehari-hari, seperti menulis buku diary, menciptakan lagu atau melukis. Tetapi yang membedakan art teraphy dengan proses kreatif biasa adalah
pada tujuannya. Art teraphy memiliki
tujuan sebagai pelepasan emosi, artinya karya yang kita ciptakan menggambarkan
apa yang kita alami dan kita rasakan kemudian perasaan itu kita kenali lalu
kita tuangkan dalam karya sebagai pelepasan emosi. Kemudian karya yang
dihasilkan dapat disimpan (save it)
ataukah dihancurkan (destroy it)
karena memuat emosi yang hendak kita lepaskan. Misalnya, kita sedang mengalami
patah hati lalu menggunakan media lukis dengan melukis gambar hati yang
tertusuk belati. Karya tersebut dapat kita hancurkan karena dengan penghancuran
adalah refleksi dari pelepasan emosi negatif tersebut.
Richard Strauss, seorang komposer berkebangsaan Jerman. |
Dalam pengamatan saya, tidak hanya Mahler yang melakukan proses pelepasan emosi negatif melalui karya seperti ini, Richard Strauss pun melakukan hal yang sama pada tahun 1948. Ia menciptakan empat nyanyian terakhir (German: Vier letzte Lieder) di akhir hayatnya. Karya ini baru dipublikasikan satu tahun setelah kematiannya pada tahun 1949. Di dalam Vier letzte Lieder Strauss seakan ingin berdamai dengan kematian. Ia menggaambarkan secara jelas di dalam "Frühling" dan "Beim Schlafengehen" bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan. Kematian adalah sebuah proses paripurna menuju totalitas dari kedamaian dan penerimaan manusia dalam hidupnya.
Sebuah maha karya yang sangat indah.
Baik Strauss maupun Mahler mengusik rasa apatis kita terhadap kehidupan.
Melalui kedua maha karya ini saya ingin bercerita kepada teman pembaca semua bahwa
kehidupan mungkin akan meninggalkan kita pada titik terdalam. Pada titik
tersebut kita tak lagi dapat melihat cahaya dan suara selain diri kita sendiri.
Kita mungkin akan melihat diri kita sebagai si buta, si bisu atau si tuli. Tetapi sejatinya kita
adalah cahaya dan suara itu sendiri. Percayalah, mereka telah berada di dalam
titik kehidupan terdalam seperti itu. Tetapi, bukankah setelah begitu lamanya
kita berada dalam titik terdalam, kita akan semakin kuat? Saatnya kita melihat
diri kita sebagai sang cahaya dan sang suara yang mana keduanya adalah bagian
esensi dari kehidupan. Kita adalah bagian dari rasa. Melalui rasa, kita mendengar. Melalui rasa, kita
berbicara, dan melalui rasa kita menerima bahwa kita adalah pemberian paling
berharga dalam hidup.