Saturday 8 April 2017

Madame Lucia (cerpen)

Madame Lucia
Rangga Wirianto Putra



“Ceritakan kepada saya sebuah kisah paling menyayat hati dari apa yang pernah kau ketahui,” pintanya kepadaku.
“...” aku tidak bergeming.
“Berikanlah saja. Setelahnya aku akan bercerita tentang alasan terbesar aku mengunjungimu pada hari ini.”
“Saya tidak memiliki kisah apapun yang dapat saya ceritakan kepada anda, tetapi saya melihat anda tampak bahagia pada hari ini, bukan begitu?”
“Apakah kau melihatnya seperti itu?” ia kemudian tersenyum simpul.
“Tentu, Nyonya. Lalu mengapa anda ingin mendengar cerita yang paling menyayat hati dari saya?” Wanita tersebut tidak langsung menjawab pertanyaanku, ia hanya melemparkan tubuhnya kebelakang, bersandar dan matanya mulai mengawang ke langit-langit.
“Bagaimana jika wanita yang katamu tampak sedang bahagia ini tidak mampu membayar tarifmu di akhir sesi konsultasi ini?”
“Nyonya, adalah kewajiban saya untuk membantu anda, tentunya sesuai dengan kemampuan saya. Jangan pernah menghiraukan tentang bayaran yang harus anda keluarkan, Nyonya.”
Madame Lucia. Panggillah saja dengan nama itu.”
Madame Lucia, sungguh sebuah nama yang sangat indah.”
“Terimakasih, anak muda. Tetapi, biarkan aku bertanya, apakah kau telah memiliki keluarga?”
“Sudah, Madame Lucia.”
“Apakah kau telah menikah?”
“Tentu, Madame. Jika saya sudah memiliki keluarga berarti saya sudah menikah.”
“Tidak selalu, anak muda. Sebuah keluarga dibangun berdasarkan cinta, dan menikah dibangun berdasarkan aturan legalitas. Cinta tidak selalu berhubungan dengan legalitas, bukan?” Madame Lucia menekankan kata ‘bukan’ sambil menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.
Oh Tuhan, ampuni aku. Tetapi aku menyukai kalimat terakhir yang diucapkan oleh Madame Lucia. Tetapi sepersekian detik berikutnya aku kembali mengingat bahwa dia yang hadir di hadapanku hari ini tidaklah sama dengan dia yang kemarin, bahkan dia yang pada esok hari. Dia yang selalu berubah, selalu berganti dan selalu baru setiap hari. Setiap kata yang kau dengar pada hari ini, tidak akan mungkin bisa kau konfirmasi pada keesokan harinya, kecuali jika ia mengulang perannya yang sama. Baginya, satu hari lewat maka satu hari kemudian berlalu.
“Bisakah anda menceritakan tentang diri Anda, Madame Lucia?”
“Oh tentu, dear. Katakan padaku, apakah kau ingin mendengar cerita bahagia atau sebuah kisah yang berakhir pilu dariku, anak muda?”
“Apapun, Madame. Sungguh aku tak sabar.” Madame mengalihkan pandangannya dariku, sebelum kemudian ia berbalik, mulai berdiri dan berdiri mematung di pinggir jendela sambil melihat ke kejauhan sana, seolah-olah ia menceritakan sesuatu yang pada saat itu sedang ia saksikan.
“Waktu itu usiaku menginjak 5 tahun. Aku mendengar sesuatu yang dikatakan oleh beberapa orang tetangga yang sambil berbisik dengan sesama mereka mengatakan bahwa aku adalah seorang anak yang tak diharapkan oleh kedua orang tuaku. Tidak ada yang paling buruk yang dapat dirasakan oleh anak seusiaku kecuali mengetahui bahwa kehadiranmu tidak diharapkan dan keberadaanmu tidak diterima. Itulah satu-satunya alasan mengapa aku selalu menerima perlakuan kasar setiap kali aku melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai.” Lalu Madame mengalihkan pandangannya padaku, “Nak, tahukah kau apa yang paling buruk yang terjadi berikutnya?”
“Apakah sesuatu yang buruk?”
“Sangat buruk. Bahkan mungkin engkau tidak akan percaya hal seperti itu akan kualami. Aku mulai tidak percaya dengan cinta, aku menolak atau mungkin lebih tepatnya selalu berusaha untuk menghindar kepada apapun yang pada akhirnya akan membawaku pada perasaan untuk mencintai apalagi dicintai; cinta adalah hal terbodoh yang paling diagung-agungkan oleh manusia.”
“Apakah anda pernah jatuh cinta, Madame Lucia?”
“Nak, aku hanyalah seorang manusia biasa. Tentu aku pernah jatuh cinta. Tetapi cinta dengan jatuh cinta adalah perkara yang berbeda. Jatuh cinta hanyalah tentang pikiranmu, sedangkan cinta lebih rumit dari itu. Jatuh cinta ibarat sebuah pola yang akan terus berulang tergantung pola tertentu yang telah tertanam di dalam pikiranmu. Sedangkan cinta, kau tahu, melampaui segala yang ada bahkan yang pernah ada.
“Siapa laki-laki itu? Apakah ia tampan?”
“Seorang prajurit, anggota sebuah battalion. Aku mengunjunginya setiap selasa dan kamis, karena pada hari itu sang ketua battalion sedang tidak berada di tempat. Dan ketahuilah bahwa ia mencintaiku dan mengatakan rela mati untukku. Maka sangat mudah baginya untuk mencuri waktu, menemuiku untuk sekedar makan siang atau bermanja-manja di sebuah penginapan yang tidak terlalu besar, yang lokasinya cukup berdekatan dengan asrama tempat ia tinggal, yang spreinya sedikit berbau jika kau benar-benar menciumnya. Tetapi, jatuh cintaku lebih besar dari itu. Nak, kukatakan padamu bahwa mungkin saja pria memiiki pemikiran sepertimu, bahwa jika kalian menikah maka kalian dikatakan berkeluarga. Tetapi bagi wanita, tidak selalu seperti itu. Aku lahir dari sebuah keluarga, dari sesuatu yang dibangun berdasarkan cinta. Tetapi persetan dengan itu. Lihatlah diriku yang sekarang, mereka mencampakkanku dan sang prajurit pun meninggalkanku. Cintanya tak sebesar janjinya, terlebih setelah apa yang ia rampas dariku.”
“Aku mengerti dan izinkan aku untuk mengatakan bahwa anda adalah seorang wanita yang sangat tegar.”
Madame Lucia tersenyum.
Meskipun tugasku adalah untuk menjatuhkan judge terhadap klienku untuk kemudian melakukan intervensi, tetapi aku mengira bahwa kasus Madame Lucia tidak sesederhana itu, apa yang ia alami pastilah memiliki nilai klinis tersendiri. Tiga hari yang lalu, ia mengunjungiku sebagai Fahira, seorang perempuan yang kesulitan keuangan karena pekerjaannya yang hanya seorang penjual ikan dari daerah selatan. Minggu sebelumnya, ia mengunjungiku sebagai Rima, seorang gadis yang hampir bunuh diri karena ingin lompat dari lantai atas sebuah pusat perbelanjaan setelah diputus sang kekasih. Meskipun aku tahu tentang apa yang kau kira sedang aku ceritakan, jangan buru-buru untuk menjatuhkan judgement-mu pada kasusku yang satu ini. Aku telah menanganinya lebih dari 6 bulan dan hingga hari ini, judgement itu belum aku jatuhkan – meskipun – di dalam hatiku ingin rasanya judgement itu tidak harus segera kujatuhkan.
“Jadi menurut anda, Madame Lucia hadir dari sebuah penolakan dan ketidakbahagiaan?”
“Jika anda menambahkan kata kesengsaraan maka anda menjelaskannya dengan tepat, anak muda.”
 “Madame, bagian mana di dalam hidupmu yang hingga detik ini belum dapat kau terima?”
“Saat aku membunuh Bernie, seekor anjing malang yang sangat kusayangi. Anjing yang pada malam sebelumnya bersedih untukku ketika aku meneteskan airmataku di hadapannya. Lihatlah, bahkan aku membenci seekor anjing yang mengasihani dan bersedih untukku. Kuberitahu padamu anak muda, jika kau ingin memperoleh cinta yang murni dari seorang wanita, perlakukanlah mereka dari apa yang bahkan tidak pernah terpikir oleh mereka; hibur mereka sekaligus kasihani mereka. Maka kau tidak hanya akan mendapatkan cinta dari wanita itu, tetapi juga hidup mereka.”
“Apakah kau mengalami sebuah penyesalan?”
“Entahlah, aku tidak tahu menyebutnya dengan istilah seperti apa. Kata penyesalan pun sepertinya sudah tak lagi mewakili apa yang kurasa. Aku tidak tahu apa yang telah kulakukan sehingga mereka yang mengasihiku pun aku singkirkan.”
“Lalu, apa yang anda harapkan akan terjadi pada hidup anda jika anda tidak menerima bagian-bagian yang masih belum anda terima, Madame Lucia?”
“Sangat naïf jika aku mengatakan bahwa aku lebih suka untuk tidak lahir ke dunia, tetapi bukankah tidak tidak dapat mengubah waktu? Entahlah, Nak. Mungkin inilah alasan terbesarku mengunjungimu pada hari ini.”
Sambil memandang ke dalam matanya, aku pun berpikir bahwa begitu banyak pemain didalam diri kita, sebenarnya. Kehadiran mereka dapat kita sadari meski tak jarang tanpa kita sadari. Diantara mereka, ada yang dengan mudahnya dapat menyesuaikan dengan realita sedangkan yang lain memilih untuk bertahan tanpa kontak secara langsung terhadap realita dan yang lain harus terdistorsi oleh realita. Para pemain ini dapat lahir kapan saja dan darimana saja. Biasanya, mereka lahir dari situasi yang tidak menyenangkan dan cenderung tidak kita diterima. Seperti yang terjadi pada Madame Lucia; ia lahir dari sebuah penolakan, ketidakbahagiaan dan kesengsaraan.
Tetapi meskipun begitu banyak sang pemain di dalam diri kita, kita harus menemukan potensi yang mereka miliki. Pada Madame Lucia, aku melihat sebuah kebijaksanaan dan cinta di dalam dirinya. Tetapi, apalah artinya sebuah potensi tanpa adanya kontak dengan realita, bukan? Hidup mungkin saja tidak adil, tetapi bukankah hidup selalu menawarkan kesempatan kedua? Bagian itulah yang menjadi tugas terbesarku.
Kemudian aku meminta pada Madame Lucia untuk menghadap pada sebuah cermin sambil memejamkan kedua matanya. Perlahan aku membuka ikatan rambutnya sehingga menjadikan rambutnya yang sebatas punggung tergerai begitu saja. Kemudian aku mengambil makeup removal dan perlahan mengusapkan cairan tersebut di wajahnya hingga benar-benar bersih. Madame Lucia tetap berdiri mematung hingga dalam hitungan ketiga aku memintanya untuk membuka matanya.
“Apa yang anda lihat?”
“Tentu aku sedang melihat diriku.”
Aku menggeleng. “Bukan. Apa yang anda lihat?”
“Aku melihat diriku tanpa hiasan wajah.”
Aku kembali menggeleng. Aku bertanya untuk yang ketiga kalinya, “Apa yang anda lihat?”
“Aku melihat ketakutan,”
“Ketakutan apa?”
“Entahlah.”
“...tentu anda tahu.”
Madame Lucia menghela napas panjang, “ketakutan untuk tidak bahagia.”
...
Ketakutan untuk tidak bahagia.
Meski bukan untuk yang pertama kalinya, beberapa orang yang mengunjungiku pun mengatakan hal yang serupa: ketakutan mereka terhadap hari depan; ketakutan untuk tidak lagi dicintai; dan ketakutan untuk tidak bahagia. Lihatlah, betapa menyedihkannya jika diri kita dikendalikan oleh rasa takut, sedang kita tahu persis bahwa rasa takut hanya ada di dalam pikiran kita, ia tak benar-benar nyata. Ketika kita lahir ke dunia, kita tidak membawa rasa takut. Rasa takut adalah buah dari pengalaman; rasa takut adalah emosi yang dipelajari secara total.
Kemudian, aku meminta Madame Lucia untuk membuat daftar hal-hal yang paling ia cintai hingga hal-hal yang paling tidak ia cintai. Ternyata begitu banyak hal yang ia cintai, ia sukai dan hal-hal yang memiiki potensi untuk membawa energi dan emosi positif terhadap dirinya. Setelah itu, kita kembali berbicara tentang banyak hal.
Lihatlah... selama proses ini, aku melihat sesuatu dari matanya, sesuatu yang sebelumnya tidak aku temui bahkan pada sosok-sosok selain Madame Lucia, yaitu tatapan penuh cinta dan maaf. Aku mengira kata yang terakhir adalah sesuatu yang terbaik yang kutemukan hari ini.
Waktu konsultasi telah habis dan sesi pun harus berakhir. “Sebelum kita berpisah, meskipun pertemuan ini bukanlah yang terakhir, tetapi nilai apa yang ingin kau berikan padaku, Madame? Katakanlah, aku hanya seorang anak muda yang tak tahu apa-apa.”
Madame mendongakkan kepalanya, tersenyum sumir dan berkata, “...tidak pernah ada yang mudah di dalam hidup kita, anak muda. Kadang kehadiran kita tidak diharapkan dan keberadaan kita pun tak diterima. Tetapi bagaimanapun, sampaikanlah saja kepada keturunanmu kelak bahwa ia terlahir sempurna apa adanya, terima segala kondisinya dan sampaikan salam saya padanya, seseorang yang mungkin belum ia kenal. Tetapi akan selalu meletakkan nama kedua orang tuanya di dalam setiap doa-doanya.”
Lalu ia pun pergi. Madame Lucia telah pergi.
Meski esok akan kembali berganti, tetapi setiap kali selalu membawa ceritanya sendiri. Sang pemain akan terus datang dan pergi, silih berganti. Ia mungkin saja akan datang sebagai Rima, si gadis teraniaya. Sebagai Fahira, si penjual ikan yang sengsara. Dan sebagai Madame Lucia, si wanita tua nan bijaksana.
Jika cuaca sedang baik dan angin tidak bertiup terlalu kencang, ia bisa saja berubah menjadi Violeta, seorang seorang anak kecil yang rambutnya dipilin lalu diikat ke belakang. Atau ketika hujan, sang tokoh utama selalu hadir di hadapanku dengan membawa sejuta cerita penuh kesedihan dan beribu ratapan kekecewaan dibalik pakaian hitam di tubuhnya, yang lehernya yang selalu ia tutupi dengan syal warna abu-abu tua.
Meskipun kutahu perjalanan ini belum berakhir, dan entah sampai kapan akan berakhir. Sambil menutup pintu, aku mengambil telepon seluler dari sakuku kemudian menghubungi seseorang diluar sana, seseorang yang menjadi bagian dari hatiku; setengah dari hidupku. Aku memintanya untuk menjaga kesehatannya dengan meminum susu karena itu baik untuk kehamilannya lalu menutup telepon dengan sebuah kata penutup yang selalu kuulangi setiap aku menutup percakapan dengannya:
“...aku mencintaimu dan akan selalu begitu.”
Kemudian aku mengambil Buku Kasus untuk mencatat detil yang kuperoleh setiap harinya, sebuah buku yang memuat daftar berapa sosok yang telah kutemui dari seorang wanita cantik, yang umurnya baru menginjak usia 32 tahun, yang kulitnya berwarna cokelat terang dan matanya berwarna hitam legam serta rambutnya yang tergerai panjang sebatas punggung. Yang arti dari namanya adalah sekuntum bunga yang mekar di bulan Desember:
Cast no. 12. “Madame Lucia” – pertemuan pertama.


Jakarta, 7 April 2017
***

1 comment:

  1. Kakaaakkk aku suka cerpenmu...banyak kalimat yang menjawab keresahanku selama ini...
    Dan kalimat terkahir entah knapa adek membacanya berulang kali tapi tak menemukan apa yang adek mau...apa maksud yg tersirat dr paragraf terkahir?
    Ditunggu tulisan kakak berikutnya ya ������
    Kaangen cerita2 sama kakak lagi

    ReplyDelete

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL “ THE SWEET SINS”   KARYA RANGGA WIRIANTO PUTRA Amalia Meldani Mahasiswa Prodi Sastra Ind...