The Professor
Rangga Wirianto Putra
Pagi
itu hariku dibuka dengan kicauan burung gereja yang entah bagaimana bisa masuk
ke kamar mandiku. Sambil membersihkan bekas cukuran di rahangku, aku melihat burung
tersebut dari sebuah kaca di hadapanku. Aku tersenyum, senyumku yang pertama
pada pagi hari itu.
Setelah
selesai, aku menghampiri burung malang yang dari matanya dapat kulihat rasa
takutnya padaku. Sambil bergerak perlahan, aku merengkuh burung itu kedalam
tanganku lalu kulepaskan ia kembali dari jendela yang tirainya kusibak setengah.
Aku melihat burung tersebut terbang menjauh, semakin jauh lalu menghilang
dibalik pepohonan di ujung sana.
Pagi ini tidak terlalu panas, pun tidak
terlalu redup. Cahaya matahari hanya bergayut dibalik awan tipis yang
menjadikannya jatuh seperti sebuah tirai yang dipancarkan ke bumi. Sungguh
indah sekali.
Lalu
aku berjalan ke sebuah meja berwarna putih, mengambil sebuah buku yang pada
malam sebelumnya telah selesai kubaca. Kembali aku tersenyum. Bukan, bukan
karena aku puas terhadap apa yang ada dihadapanku saat itu, tetapi justeru
ketika aku melihat bayanganku pada sebuah cermin yang menampilkan silhouette tubuhku saat tertimpa cahaya
matahari pagi yang bersinar malu. Pagiku telah diawali oleh dua senyuman.
“Lohengrin,
sebuah Overture oleh Richard Wagner”
suara seseorang menyentak perhatiaku. “Sebuah musik pembuka yang sangat indah.”
“Selamat
pagi, Prof,” ujarku ketika kusadar bahwa sang Profesor telah berada
di sisi ranjangku.
“Selamat
pagi, Arnold.”
“Ini
hari yang cerah, bukan?”
“Sungguh,
aku tidak melihat keadaan seperti ini selain pada hari ini.” Sang Profesor
tersenyum. “Dan anda, lihatlah! Anda terlihat begitu siap untuk melakukan tugas anda hari
ini, meskipun bukan yang terakhir,”
“Oh,
tentu Prof. Melihat anda disini, pada pagi yang cerah ini, seperti sebuah obat
yang...”
“Kaulah
obatnya, Nak. Kekuatanmu ada pada dirimu; kamulah obat bagi dirimu sendiri.”
“...karena
kita adalah apa yang kita pikirkan, dan kita adalah kekuatan itu sendiri,” ujar
kami secara bersamaan, bahkan nyaris tanpa komando.
Lalu
sang Profesor membelai rambutku yang tidak begitu tebal memang, tetapi jika kau
sedang menjalani seperti apa yang sedang kujalani, semua keadaan yang kualami
saat ini tidak terlalu berat. “You are a
good boy,” ujarnya yang ditelingaku lebih seperti sebuah bisikan. “Kita
telah sejauh ini, semuanya baik-baik saja, kan?” sang Profsor tersenyum diujung
tanda tanyanya.
“Semuanya
baik, Prof. Aku akan melakukan tugasku yang terakhir sebelum aku berlalu dari
keadaan ini.”
“Dan
jadikan ini yang terbaik dari yang terbaik yang pernah kau lakukan, Nak.”
“Terimakasih,
Profesor.”
“Apa
yang hendak kau sampaikan hari ini?”
“Sebuah
tema yang sangat menarik, tentang Seorang Kesatria Angsa, seorang pahlawan dan
sebuah cinta untuk sebuah Negeri yang sangat indah; Brabant.”
“Aku
sungguh tak sabar,” ujar sang Profesor yang dari pinggir bibirnya kulihat
sejumput lelukan indah, sebuah senyuman.
***
Aku
memasuki aula. Begitu banyak jenis manusia yang ada dan yang pernah ada di
ruangan ini. Ada seorang pengusaha, penguasa, bahkan mereka yang bukan
siapa-siapa. Mereka datang dan pergi silih berganti. Ada yang mengenalnya,
saling mengenal bahkan tak jarang mereka tidak saling mengenal. Ada yang
kemudian pulang ke rumah mereka dan ada pula yang pulang ke haribaan sang
pencipta. Semuanya sama, sama-sama berharap untuk kesempatan hidup yang kedua.
Ada yang berharap dengan tawa, ada pula yang berharap dengan air mata.
Seperti
biasa, aku selalu meminta sebuah kursi disebelahku untuk dikosongkan. Kursi
tersebut bukan untuk siapa-siapa, karena tidak ada alasan dan penjelasan lain
bahwa kursi tersebut adalah kursi Sang Profesor, seseorang yang kepadanya
kulihat diriku sendiri: dimana ada tawa darinya maka tawa itupun ada padaku.
Dimana ada air di mataku, maka air yang sama pula ada di matanya. Dia adalah
tempatku bertanya, bercerita, meski lebih sering berbagi duka. “Tapi tidaklah mengapa,” ujarnya suatu
hari. “Setiap orang memiliki cerita
tentang kebenarannya sendiri.”
Seorang
pria paruh baya menaiki sebuah panggung tempat semua orang diruangan ini dapat
bercerita tentang apapun, tentang siapapun tetapi ada satu peraturan yang harus
dipatuhi oleh semua orang, tidak boleh ada yang saling menjatuhkan nilai
apalagi menyalahkan, hanya boleh bertanya. Forum yang diadakan satu kali dalam
seminggu ini dinamakan forum saling berbagi cerita. Dan hari ini aku mendapat
giliran ketiga untuk menaiki panggung tersebut untuk bercerita tentang apa
saja.
Orang
pertama yang menaiki panggung tersebut memulai ceritanya dengan sebuah
pengakuan dosa. Meskipun ia bukanlah satu-satunya orang yang pernah
melakukannya tetapi sebagai sebuah pembuka ia berhasil membuat hampir semua
orang diruangan ini mengeluarkan bulir air dari sudut matanya. Ia telah
membuang keluarganya karena ia merasa menjadi seorang kepala keluarga yang
gagal. Kira-kira begitu isi dari pengakuan dosanya dan kiranya Tuhan yang maha
pengampun dapat mengampuni kekeliruannya, begitu kataku dalam hati. Sebelum ia
mengakhiri ceritanya, ia mengatakan bahwa kemoterapi yang dijalaninya hanya
tersisa satu kali lagi sebelum ia dapat memasuki tahap pengobatan selanjutnya
hingga tahap recovery dan dinyatakan
sembuh. Semua yang ada diruangan memberikan tepukan tangan kepada sang lelaki.
Orang
kedua yang menaiki panggung adalah seorang wanita yang paut usianya hanya
beberapa bulan denganku. Aku sering melihatnya di taman belakang sambil membaca
sebuah buku di tangannya. Apakah itu buku motivasi atau buku cerita, yang
kutahu hanya buku saja. Jika matahari bersinar terang, dapat kulihat warna
cokelat keemasan dirambutnya yang perlahan menipis dari hari ke hari. Tetapi
jika cahaya matahari tertutup oleh awan, kulit putihnya bagaikan sebuah
penerang dan rambutnya yang tertiup angin seperti sekelebatan damai yang dibawa
jatuh dari Syurga ke Dunia.
Beberapa
hari berikutnya aku kembali bertemu dengannya disebuah lorong, aku tersenyum
dan senyumku berbalas. Jika ada yang mengatakan bahwa sesuatu yang besar
dimulai dari hal-hal kecil, mungkin itulah yang sedang kualami saat itu.
Bukankah hanya diperlukan sepercik api untuk membakar berhektar-hektar
belantara hutan? Begitu seorang bijak pernah berkata.
Namanya
adalah Barbara, ibu dari seorang anak yang tak pernah lahir ke dunia. Ia
mentasbihkan bahwa dirinya adalah wanita yang paling tak berbahagia di dunia,
sang suami mencampakkannya karena tak kunjung memiliki keturunan. Pernah ia berkata
bahwa hidupnya telah berakhir pada saat keluar dari ruang pengadilan. Tetapi
pada saat ini, dari atas panggung ini, ia berkata bahwa ia adalah wanita paling
berbahagia di dunia, karena telah diberikan kesempatan hidup untuk yang kedua.
Beberapa
kali kudapati ia menatap ke arahku, meskipun ia tersenyum tidak hanya untukku
tetapi kutahu bahwa pada hari ini ia sedang berbahagia dan bahagianya diliputi
oleh cinta. Kuberitahu padamu bahwa ada sebuah legenda turun temurun yang
mengatakan bahwa 13 hari setelah seorang wanita menyelesaikan menstruasinya,
maka ia akan tampak bagaikan seorang bidadari yang dari matanya hanya
memancarkan dua hal, cinta dan keinginannya untuk bercinta. Kepada Barbara,
hari ini aku melihat cinta dibalik matanya yang bulat dan berwarna kecokelatan
itu.
Aku
melihat ke arah Sang Profesor, ia mengangguk satu kali. Aku tersenyum.
Barbara
bercerita tentang masa lalunya yang tak bahagia, tentang Ayahnya yang
meninggalkannya dengan Ibu dan kedua orang adik laki-lakinya. “Ketika anda ditinggalkan,
hal itu tentu tidaklah mudah. Anda harus sekuat tenaga untuk bertahan sekaligus
meyakinkan diri anda bahwa dunia anda tidak perlu berakhir. Meninggalkan dan
ditinggalkan itu hanyalah sebuah siklus; sebuah lingkaran setan yang jika hari
ini tidak anda putuskan maka ia akan membuat sejarah kelam hidup anda kembali
berulang. Ibu Saya pun pernah ditinggal oleh orang tuanya, ia mengatakan bahwa
hidup ini tidak pernah adil baginya. Lihatlah diri kita sekarang, apa yang
sedang kau pikirkan? Apakah kita sedang memikirkan hal yang sama? Satu kali
dalam seminggu kita bertemu di ruangan ini, hampir semuanya aku mendengarkan
kisah yang serupa diantara kita, sesuatu yang berakhir dengan ketidakbahagiaan.
Tempat ini adalah cara kita untuk menerima ketidakbahagiaan menuju sebuah
kebahagiaan. Menerima diri kita sendiri berikut dengan apa yang telah kita
alami.” Maka demikianlah Barbara menutup ceritanya dengan sebuah larik dari
drama Shakespeare yang paling terkenal dengan diiringi tepukan tangan dari
seisi ruangan.
Kini
giliranku untuk menaiki panggung. “Hari ini aku telah berhasil menamatkan sebuah
buku, buku yang kubaca sejak beberapa hari yang lalu,” sebuah pembukaan yang
cukup baik, pikirku. “The Knight of the
Swan, kisah tentang Lohengrin, sang kesatria angsa, sang penyelamat untuk
negeri yang sangat indah, Brabant. Tahukah anda bahwa kita semua, termasuk yang
berada di tempat ini memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga semua dari kita
masih dapat hadir didalam forum yang teramat bahagia ini?”
Tidak
ada yang menjawab. Aku menerka mereka belum mengerti.
“Begini
aku memulai ceritaku. Di sebuah negeri yang jauh, seorang Kesatria mendatangi
sebuah negeri dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh seekor angsa yang
sangat cantik untuk menyelamatkan negeri tersebut dari keruntuhan dan
kehancuran. Tetapi Sang Kesatria mengajukan sebuah sarat yang mutlak harus
dipatuhi oleh penduduk negeri tersebut: jangan pernah bertanya tentang jati
diri Sang Kesatria. Semua orang menyetujui persaratan tersebut. Dengan kekuatan
dan kebijaksanaannya, ia berhasil membawa negeri tersebut keluar dari
malapetaka dan kehancuran sehingga Elsa, Putri Raja tertarik padanya dan
akhirnya mereka pun menikah dan hidup bahagia. Tetapi pada suatu hari, sang
Putri bertanya tentang pertanyaan terlarang kepada Sang Kesatria tentang jati
dirinya. Sang Kesatria menjelaskan siapa dirinya dan darimana ia berasal. Kesatria
tersebut bernama Lohengrin dan ia adalah Putra dari Perceval. Tetapi kemudian
Sang Kesatria kembali ke singgasananya diatas sebuah perahu yang ditarik oleh
angsa yang sangat cantik, pergi dan tak pernah kembali.”
Aku
menarik jeda dengan melihat sekeliling. Aku melihat ke arah Sang Profesor,
dengan tangan bersedekap di dada, ia seakan ingin menelanjangiku di akhir
ceritaku seperti yang selama ini ia lakukan. Aku mengalihkan tatapanku pada
Barbara, tatapannya mengisyaratkan padaku agar aku melanjutkan ceritaku.
“Tragedi,
ketidakbahagiaan, ketidakberdayaan dan beban hidup yang begitu besar kadang
membuat kita mempertanyakan kekuatan di dalam diri kita sendiri, ‘apakah benar aku sekuat itu?’ Manusia
dianugerahi kekuatan sekaligus kelemahan, itu benar. Manusia dianugerahi rasa yakin
dan rasa ragu, itu juga benar. Jangan pernah bertanya tentang apa dan darimana
kekuatanmu itu, hanya hadapilah saja, bertarunglah saja untuk menerima diri
anda sendiri berikut keadaan yang menyertainya. Karena mungkin saja, semua yang
kita derita disini adalah manifestasi metafisis dari beban yang tak
terselesaikan, yang bersemayam di dalam pikiran kita. Sedangkan kita lupa bahwa
hidup itu selalu menuju titik keseimbangan; ada saatnya menerima dan ada pula
saatnya untuk melepaskan. Hidup tidak akan pernah adil bagi mereka yang selalu
mengeluh. Tetapi hidup akan selalu memiliki kesempatan kedua jika anda telah
menerima siapa diri anda berikut dengan masa lalu anda.”
“Dengan
apakah anda menamakan kekuatan itu?” seorang pria bertanya kepadaku.
“Aku
menamakannya dengan sebuah kata yang sangat indah, yaitu cinta.”
“Jika
begitu, mengapa sangat terlarang bagi anda untuk menerjemahkan cinta?”
“Ketika
anda menerjemahkan cinta sebagai sebuah kekuatan maka cinta itulah yang pada
akhirnya akan melemahkan anda. Jika anda menerjemahkan cinta sebagai sebuah
kelemahan, maka cinta akan berubah menjadi kekuatan yang – bahkan – dapat
menghancurkan apapun termasuk diri anda sendiri. Jika anda mendustakan cinta
dengan mengatakan bahwa cinta itu tidak ada, semakin anda diperbudak oleh nafsu
anda untuk mencintai. Tetapi sebaliknya, semakin anda memuja cinta, cinta akan
menyerang anda dengan jumlah berlimpah-limpah dalam bentuk cinta-cinta yang
lain, yang membuat anda bingung karena anda merasa bertanggung jawab untuk
mencintai semuanya.
Semakin
anda menggenggam cinta, semakin anda membutukan lebih banyak cinta dan
menjadikan anda seperti seseorang yang sedang dahaga, yang jika kepada anda
diberi tujuh samudera pun tidak akan menghilangkan dahaga itu. Biarkanlah saja ia menjadi tataran diluar batas
kemampuan manusia untuk menerjemahkannya. Cinta, laiknya hakikat alam semesta
itu sendiri yang menyisakan ruang yang kita sebut sebagai ruang misteri, sebuah
dimensi yang padanya tidak berlalu satuan ukuran apapun. Semakin anda
menakarnya untuk kemudian menerjemahkannya, semakin anda terjebak didalam
takaran itu, karena ia menerangi
sekaligus membingungkan. Yang terjadi kemudian, seperti Sang Kesatria angsa
yang berlalu dengan kereta angsanya, pergi menjauh dan tak pernah kembali.”
Satu
tepukan tangan diiukuti oleh hampir seluruh isi ruangan ini, tak terkecuali
oleh Sang Profesor dan tentu saja, si wanita cantik berambut kecokelatan yang
ketika itu aku melihat tatapan penuh cinta dari matanya. Aku mengakhiri sesi
pada hari itu dengan penutupan yang paling meriah.
Setelah
sesi berakhir, beberapa orang menghampiriku termasuk Barbara. Ia memelukku dan
mengatakan bahwa penampilanku luar biasa. Maafkan aku jika aku harus mengatakan
bahwa hanya satu sosok yang selalu kutunggu arahan darinya, sosok yang selalu membelai
rambutku, menatap dalam ke mataku dan tersenyum sambil mengatakan bahwa aku
telah memberi penampilan yang luar biasa. Tentu saja sosok tersebut adalah Sang
Profesor, sesosok yang pada kerutan di wajahnya aku dapat mempelajari banyak
hal. Sosok yang pada rambut putihnya aku belajar tentang sebuah kekuatan dan
kebijaksaan dalam hidup lalu membaginya kepada mereka yang bersedia
mendengarnya.
Sang
Profesor telah mengajarkan banyak hal padaku, ya hanya kepadaku seorang.
Tetapi,
aku tak melihat Sang Profesor. Aku menduga ia telah menungguku di kamar rawatku
yang beberapa jam lagi – dengan sedih – akan kutinggalkan. Tetapi hingga saat
aku mengemasi barangku dan mengurus kepulanganku, aku tak kunjung melihat Sang
Profesor, dimanapun.
Sang
profesor telah pergi.
Tetapi
aku masih berharap jika suatu saat ia akan kembali mengunjungiku dan kembali
mengajariku banyak hal, karena hanya aku yang dapat melihat sang professor,
bukan mereka dan bukan siapa-siapa. Hanya aku, dariku, dan hanya kepadaku.
Meski bukan untuk yang terakhir kalinya, aku
memeluk erat tubuh Barbara dan berjani akan sering mengunjunginya setiap akhir
pekan. Lalu, sebelum aku benar-benar melangkahkan kakiku berjalan keluar Rumah
Sakit Kanker ini, kulihat jam dipergelangan tanganku. Hari ini adalah hari
Sabtu, 1 April 2017.
Jakarta, 1 April 2017.
Untuk para pejuang kanker.
How to make money with a slot machine: A guide on how to make money
ReplyDeleteSlot machine gambling is becoming more and more popular among หารายได้เสริม gamblers, Here are some tips on how to make money 1xbet korean in slot 바카라 사이트 machines.