Saturday 1 April 2017

The Professor (Cerpen)

The Professor
Rangga Wirianto Putra

Pagi itu hariku dibuka dengan kicauan burung gereja yang entah bagaimana bisa masuk ke kamar mandiku. Sambil membersihkan bekas cukuran di rahangku, aku melihat burung tersebut dari sebuah kaca di hadapanku. Aku tersenyum, senyumku yang pertama pada pagi hari itu.
Setelah selesai, aku menghampiri burung malang yang dari matanya dapat kulihat rasa takutnya padaku. Sambil bergerak perlahan, aku merengkuh burung itu kedalam tanganku lalu kulepaskan ia kembali dari jendela yang tirainya kusibak setengah. Aku melihat burung tersebut terbang menjauh, semakin jauh lalu menghilang dibalik pepohonan di ujung sana.
Pagi ini tidak terlalu panas, pun tidak terlalu redup. Cahaya matahari hanya bergayut dibalik awan tipis yang menjadikannya jatuh seperti sebuah tirai yang dipancarkan ke bumi. Sungguh indah sekali.
Lalu aku berjalan ke sebuah meja berwarna putih, mengambil sebuah buku yang pada malam sebelumnya telah selesai kubaca. Kembali aku tersenyum. Bukan, bukan karena aku puas terhadap apa yang ada dihadapanku saat itu, tetapi justeru ketika aku melihat bayanganku pada sebuah cermin yang menampilkan silhouette tubuhku saat tertimpa cahaya matahari pagi yang bersinar malu. Pagiku telah diawali oleh dua senyuman.
“Lohengrin, sebuah Overture oleh Richard Wagner” suara seseorang menyentak perhatiaku. “Sebuah musik pembuka yang sangat indah.”
“Selamat pagi, Prof,” ujarku ketika kusadar bahwa sang Profesor telah berada di sisi ranjangku.
“Selamat pagi, Arnold.”
“Ini hari yang cerah, bukan?”
“Sungguh, aku tidak melihat keadaan seperti ini selain pada hari ini.” Sang Profesor tersenyum. “Dan anda, lihatlah! Anda terlihat begitu siap untuk melakukan tugas anda hari ini, meskipun bukan yang terakhir,”
“Oh, tentu Prof. Melihat anda disini, pada pagi yang cerah ini, seperti sebuah obat yang...”
“Kaulah obatnya, Nak. Kekuatanmu ada pada dirimu; kamulah obat bagi dirimu sendiri.”
“...karena kita adalah apa yang kita pikirkan, dan kita adalah kekuatan itu sendiri,” ujar kami secara bersamaan, bahkan nyaris tanpa komando.
Lalu sang Profesor membelai rambutku yang tidak begitu tebal memang, tetapi jika kau sedang menjalani seperti apa yang sedang kujalani, semua keadaan yang kualami saat ini tidak terlalu berat. “You are a good boy,” ujarnya yang ditelingaku lebih seperti sebuah bisikan. “Kita telah sejauh ini, semuanya baik-baik saja, kan?” sang Profsor tersenyum diujung tanda tanyanya.
“Semuanya baik, Prof. Aku akan melakukan tugasku yang terakhir sebelum aku berlalu dari keadaan ini.”
“Dan jadikan ini yang terbaik dari yang terbaik yang pernah kau lakukan, Nak.”
“Terimakasih, Profesor.”
“Apa yang hendak kau sampaikan hari ini?”
“Sebuah tema yang sangat menarik, tentang Seorang Kesatria Angsa, seorang pahlawan dan sebuah cinta untuk sebuah Negeri yang sangat indah; Brabant.”
“Aku sungguh tak sabar,” ujar sang Profesor yang dari pinggir bibirnya kulihat sejumput lelukan indah, sebuah senyuman.

***
Aku memasuki aula. Begitu banyak jenis manusia yang ada dan yang pernah ada di ruangan ini. Ada seorang pengusaha, penguasa, bahkan mereka yang bukan siapa-siapa. Mereka datang dan pergi silih berganti. Ada yang mengenalnya, saling mengenal bahkan tak jarang mereka tidak saling mengenal. Ada yang kemudian pulang ke rumah mereka dan ada pula yang pulang ke haribaan sang pencipta. Semuanya sama, sama-sama berharap untuk kesempatan hidup yang kedua. Ada yang berharap dengan tawa, ada pula yang berharap dengan air mata.
Seperti biasa, aku selalu meminta sebuah kursi disebelahku untuk dikosongkan. Kursi tersebut bukan untuk siapa-siapa, karena tidak ada alasan dan penjelasan lain bahwa kursi tersebut adalah kursi Sang Profesor, seseorang yang kepadanya kulihat diriku sendiri: dimana ada tawa darinya maka tawa itupun ada padaku. Dimana ada air di mataku, maka air yang sama pula ada di matanya. Dia adalah tempatku bertanya, bercerita, meski lebih sering berbagi duka. “Tapi tidaklah mengapa,” ujarnya suatu hari. “Setiap orang memiliki cerita tentang kebenarannya sendiri.”
Seorang pria paruh baya menaiki sebuah panggung tempat semua orang diruangan ini dapat bercerita tentang apapun, tentang siapapun tetapi ada satu peraturan yang harus dipatuhi oleh semua orang, tidak boleh ada yang saling menjatuhkan nilai apalagi menyalahkan, hanya boleh bertanya. Forum yang diadakan satu kali dalam seminggu ini dinamakan forum saling berbagi cerita. Dan hari ini aku mendapat giliran ketiga untuk menaiki panggung tersebut untuk bercerita tentang apa saja.
Orang pertama yang menaiki panggung tersebut memulai ceritanya dengan sebuah pengakuan dosa. Meskipun ia bukanlah satu-satunya orang yang pernah melakukannya tetapi sebagai sebuah pembuka ia berhasil membuat hampir semua orang diruangan ini mengeluarkan bulir air dari sudut matanya. Ia telah membuang keluarganya karena ia merasa menjadi seorang kepala keluarga yang gagal. Kira-kira begitu isi dari pengakuan dosanya dan kiranya Tuhan yang maha pengampun dapat mengampuni kekeliruannya, begitu kataku dalam hati. Sebelum ia mengakhiri ceritanya, ia mengatakan bahwa kemoterapi yang dijalaninya hanya tersisa satu kali lagi sebelum ia dapat memasuki tahap pengobatan selanjutnya hingga tahap recovery dan dinyatakan sembuh. Semua yang ada diruangan memberikan tepukan tangan kepada sang lelaki.
Orang kedua yang menaiki panggung adalah seorang wanita yang paut usianya hanya beberapa bulan denganku. Aku sering melihatnya di taman belakang sambil membaca sebuah buku di tangannya. Apakah itu buku motivasi atau buku cerita, yang kutahu hanya buku saja. Jika matahari bersinar terang, dapat kulihat warna cokelat keemasan dirambutnya yang perlahan menipis dari hari ke hari. Tetapi jika cahaya matahari tertutup oleh awan, kulit putihnya bagaikan sebuah penerang dan rambutnya yang tertiup angin seperti sekelebatan damai yang dibawa jatuh dari Syurga ke Dunia.
Beberapa hari berikutnya aku kembali bertemu dengannya disebuah lorong, aku tersenyum dan senyumku berbalas. Jika ada yang mengatakan bahwa sesuatu yang besar dimulai dari hal-hal kecil, mungkin itulah yang sedang kualami saat itu. Bukankah hanya diperlukan sepercik api untuk membakar berhektar-hektar belantara hutan? Begitu seorang bijak pernah berkata.
Namanya adalah Barbara, ibu dari seorang anak yang tak pernah lahir ke dunia. Ia mentasbihkan bahwa dirinya adalah wanita yang paling tak berbahagia di dunia, sang suami mencampakkannya karena tak kunjung memiliki keturunan. Pernah ia berkata bahwa hidupnya telah berakhir pada saat keluar dari ruang pengadilan. Tetapi pada saat ini, dari atas panggung ini, ia berkata bahwa ia adalah wanita paling berbahagia di dunia, karena telah diberikan kesempatan hidup untuk yang kedua.
Beberapa kali kudapati ia menatap ke arahku, meskipun ia tersenyum tidak hanya untukku tetapi kutahu bahwa pada hari ini ia sedang berbahagia dan bahagianya diliputi oleh cinta. Kuberitahu padamu bahwa ada sebuah legenda turun temurun yang mengatakan bahwa 13 hari setelah seorang wanita menyelesaikan menstruasinya, maka ia akan tampak bagaikan seorang bidadari yang dari matanya hanya memancarkan dua hal, cinta dan keinginannya untuk bercinta. Kepada Barbara, hari ini aku melihat cinta dibalik matanya yang bulat dan berwarna kecokelatan itu.
Aku melihat ke arah Sang Profesor, ia mengangguk satu kali. Aku tersenyum.
Barbara bercerita tentang masa lalunya yang tak bahagia, tentang Ayahnya yang meninggalkannya dengan Ibu dan kedua orang adik laki-lakinya. “Ketika anda ditinggalkan, hal itu tentu tidaklah mudah. Anda harus sekuat tenaga untuk bertahan sekaligus meyakinkan diri anda bahwa dunia anda tidak perlu berakhir. Meninggalkan dan ditinggalkan itu hanyalah sebuah siklus; sebuah lingkaran setan yang jika hari ini tidak anda putuskan maka ia akan membuat sejarah kelam hidup anda kembali berulang. Ibu Saya pun pernah ditinggal oleh orang tuanya, ia mengatakan bahwa hidup ini tidak pernah adil baginya. Lihatlah diri kita sekarang, apa yang sedang kau pikirkan? Apakah kita sedang memikirkan hal yang sama? Satu kali dalam seminggu kita bertemu di ruangan ini, hampir semuanya aku mendengarkan kisah yang serupa diantara kita, sesuatu yang berakhir dengan ketidakbahagiaan. Tempat ini adalah cara kita untuk menerima ketidakbahagiaan menuju sebuah kebahagiaan. Menerima diri kita sendiri berikut dengan apa yang telah kita alami.” Maka demikianlah Barbara menutup ceritanya dengan sebuah larik dari drama Shakespeare yang paling terkenal dengan diiringi tepukan tangan dari seisi ruangan.
Kini giliranku untuk menaiki panggung. “Hari ini aku telah berhasil menamatkan sebuah buku, buku yang kubaca sejak beberapa hari yang lalu,” sebuah pembukaan yang cukup baik, pikirku. “The Knight of the Swan, kisah tentang Lohengrin, sang kesatria angsa, sang penyelamat untuk negeri yang sangat indah, Brabant. Tahukah anda bahwa kita semua, termasuk yang berada di tempat ini memiliki kekuatan yang luar biasa sehingga semua dari kita masih dapat hadir didalam forum yang teramat bahagia ini?”
Tidak ada yang menjawab. Aku menerka mereka belum mengerti.
“Begini aku memulai ceritaku. Di sebuah negeri yang jauh, seorang Kesatria mendatangi sebuah negeri dengan mengendarai kereta yang ditarik oleh seekor angsa yang sangat cantik untuk menyelamatkan negeri tersebut dari keruntuhan dan kehancuran. Tetapi Sang Kesatria mengajukan sebuah sarat yang mutlak harus dipatuhi oleh penduduk negeri tersebut: jangan pernah bertanya tentang jati diri Sang Kesatria. Semua orang menyetujui persaratan tersebut. Dengan kekuatan dan kebijaksanaannya, ia berhasil membawa negeri tersebut keluar dari malapetaka dan kehancuran sehingga Elsa, Putri Raja tertarik padanya dan akhirnya mereka pun menikah dan hidup bahagia. Tetapi pada suatu hari, sang Putri bertanya tentang pertanyaan terlarang kepada Sang Kesatria tentang jati dirinya. Sang Kesatria menjelaskan siapa dirinya dan darimana ia berasal. Kesatria tersebut bernama Lohengrin dan ia adalah Putra dari Perceval. Tetapi kemudian Sang Kesatria kembali ke singgasananya diatas sebuah perahu yang ditarik oleh angsa yang sangat cantik, pergi dan tak pernah kembali.”
Aku menarik jeda dengan melihat sekeliling. Aku melihat ke arah Sang Profesor, dengan tangan bersedekap di dada, ia seakan ingin menelanjangiku di akhir ceritaku seperti yang selama ini ia lakukan. Aku mengalihkan tatapanku pada Barbara, tatapannya mengisyaratkan padaku agar aku melanjutkan ceritaku.
“Tragedi, ketidakbahagiaan, ketidakberdayaan dan beban hidup yang begitu besar kadang membuat kita mempertanyakan kekuatan di dalam diri kita sendiri, ‘apakah benar aku sekuat itu?’ Manusia dianugerahi kekuatan sekaligus kelemahan, itu benar. Manusia dianugerahi rasa yakin dan rasa ragu, itu juga benar. Jangan pernah bertanya tentang apa dan darimana kekuatanmu itu, hanya hadapilah saja, bertarunglah saja untuk menerima diri anda sendiri berikut keadaan yang menyertainya. Karena mungkin saja, semua yang kita derita disini adalah manifestasi metafisis dari beban yang tak terselesaikan, yang bersemayam di dalam pikiran kita. Sedangkan kita lupa bahwa hidup itu selalu menuju titik keseimbangan; ada saatnya menerima dan ada pula saatnya untuk melepaskan. Hidup tidak akan pernah adil bagi mereka yang selalu mengeluh. Tetapi hidup akan selalu memiliki kesempatan kedua jika anda telah menerima siapa diri anda berikut dengan masa lalu anda.”
“Dengan apakah anda menamakan kekuatan itu?” seorang pria bertanya kepadaku.
“Aku menamakannya dengan sebuah kata yang sangat indah, yaitu cinta.”
“Jika begitu, mengapa sangat terlarang bagi anda untuk menerjemahkan cinta?”
“Ketika anda menerjemahkan cinta sebagai sebuah kekuatan maka cinta itulah yang pada akhirnya akan melemahkan anda. Jika anda menerjemahkan cinta sebagai sebuah kelemahan, maka cinta akan berubah menjadi kekuatan yang – bahkan – dapat menghancurkan apapun termasuk diri anda sendiri. Jika anda mendustakan cinta dengan mengatakan bahwa cinta itu tidak ada, semakin anda diperbudak oleh nafsu anda untuk mencintai. Tetapi sebaliknya, semakin anda memuja cinta, cinta akan menyerang anda dengan jumlah berlimpah-limpah dalam bentuk cinta-cinta yang lain, yang membuat anda bingung karena anda merasa bertanggung jawab untuk mencintai semuanya.
Semakin anda menggenggam cinta, semakin anda membutukan lebih banyak cinta dan menjadikan anda seperti seseorang yang sedang dahaga, yang jika kepada anda diberi tujuh samudera pun tidak akan menghilangkan dahaga itu. Biarkanlah saja ia menjadi tataran diluar batas kemampuan manusia untuk menerjemahkannya. Cinta, laiknya hakikat alam semesta itu sendiri yang menyisakan ruang yang kita sebut sebagai ruang misteri, sebuah dimensi yang padanya tidak berlalu satuan ukuran apapun. Semakin anda menakarnya untuk kemudian menerjemahkannya, semakin anda terjebak didalam takaran itu, karena ia menerangi sekaligus membingungkan. Yang terjadi kemudian, seperti Sang Kesatria angsa yang berlalu dengan kereta angsanya, pergi menjauh dan tak pernah kembali.”
Satu tepukan tangan diiukuti oleh hampir seluruh isi ruangan ini, tak terkecuali oleh Sang Profesor dan tentu saja, si wanita cantik berambut kecokelatan yang ketika itu aku melihat tatapan penuh cinta dari matanya. Aku mengakhiri sesi pada hari itu dengan penutupan yang paling meriah.
Setelah sesi berakhir, beberapa orang menghampiriku termasuk Barbara. Ia memelukku dan mengatakan bahwa penampilanku luar biasa. Maafkan aku jika aku harus mengatakan bahwa hanya satu sosok yang selalu kutunggu arahan darinya, sosok yang selalu membelai rambutku, menatap dalam ke mataku dan tersenyum sambil mengatakan bahwa aku telah memberi penampilan yang luar biasa. Tentu saja sosok tersebut adalah Sang Profesor, sesosok yang pada kerutan di wajahnya aku dapat mempelajari banyak hal. Sosok yang pada rambut putihnya aku belajar tentang sebuah kekuatan dan kebijaksaan dalam hidup lalu membaginya kepada mereka yang bersedia mendengarnya.
Sang Profesor telah mengajarkan banyak hal padaku, ya hanya kepadaku seorang.
Tetapi, aku tak melihat Sang Profesor. Aku menduga ia telah menungguku di kamar rawatku yang beberapa jam lagi – dengan sedih – akan kutinggalkan. Tetapi hingga saat aku mengemasi barangku dan mengurus kepulanganku, aku tak kunjung melihat Sang Profesor, dimanapun.
Sang profesor telah pergi.
Tetapi aku masih berharap jika suatu saat ia akan kembali mengunjungiku dan kembali mengajariku banyak hal, karena hanya aku yang dapat melihat sang professor, bukan mereka dan bukan siapa-siapa. Hanya aku, dariku, dan hanya kepadaku.
Meski  bukan untuk yang terakhir kalinya, aku memeluk erat tubuh Barbara dan berjani akan sering mengunjunginya setiap akhir pekan. Lalu, sebelum aku benar-benar melangkahkan kakiku berjalan keluar Rumah Sakit Kanker ini, kulihat jam dipergelangan tanganku. Hari ini adalah hari Sabtu, 1 April 2017.

Jakarta, 1 April 2017.

Untuk para pejuang kanker.

1 comment:

  1. How to make money with a slot machine: A guide on how to make money
    Slot machine gambling is becoming more and more popular among หารายได้เสริม gamblers, Here are some tips on how to make money 1xbet korean in slot 바카라 사이트 machines.

    ReplyDelete

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL “ THE SWEET SINS”   KARYA RANGGA WIRIANTO PUTRA Amalia Meldani Mahasiswa Prodi Sastra Ind...