Tuesday 25 April 2017

Sebuah Analisa Rasa terhadap Proses Kreatif Das Lied von der Erde

Sebuah Analisa Rasa terhadap Proses Kreatif Das Lied von der 
Erde (Kidung Bumi) oleh Gustav Mahler.
oleh: Rangga Wirianto Putra




Menyenangkan rasanya untuk menuliskan draft tulisan ini karena saya bukan seorang musisi, bukan pula seorang kritikus musik, saya berada diluar itu semua. Saya hanyalah seorang penikmat – sekaligus pecinta- karya musik klasik yang memfokuskan perhatian saya pada era zaman romantik – meski tidak selalu. Saya meletakkan perhatian saya yang lebih besar pada Mozart, Beethoven, Wagner, Verdi, Puccini dan Mahler. Mereka adalah komposer paling berpengaruh dalam perkembangan musik barat. Tetapi kali ini saya tertarik ingin membahas proses kreatif sebuah karya Gustav Mahler.
Gustav Mahler
(7 Juli 1860 - 18 Mei 1911)
Gustav Mahler adalah seorang composer dan conductor terkenal pada zaman romantik. Karya Gustav Mahler yang paling terkenal adalah Symphony No. 5 dan No. 9 yang sekaligus menjadi symphony terakhir yang ia selesaikan secara utuh. Selain Symphony, karya Mahler yang terkenal adalah karyanya yang berbentuk Sinfonischer Liederzyklus yang berjudul Das Lied von der Erde. Karya ini memuat enam rangkaian lagu yang saling berhubungan. Di dalam tulisan ini, saya ingin meraba-raba proses kreatif seorang Gustav Mahler ketika menciptakan Das Lied von der Erde berdasarkan latar belakang bidang keilmuan saya, yaitu Psikologi. Jika boleh, izinkan saya untuk menyodorkan sebuah analisa rasa sebagian bagian dari proses berimajinasi menggunakan rasa secara total dari seorang penikmat seni terhadap sebuah karya dengan pijakan latar belakang kehidupan sang kreator (dalam hal ini adalah seorang komposer) ketika menciptakan sebuah karya. Saya menitikberatkan independensi saya yang berada diluar bidang ilmu musik dan saya pun dapat dikatakan terbebas dari belitan teori musik terutama teori musik zaman romantik – yang kita semua tahu – tidak mudah. Percayalah, saya tidak bercanda dalam hal ini, terutama jika kita berbicara tentang komposer nomer wahid pada zaman itu, sebut saja Richard Wagner, Hector Berlioz, hingga Gustav Mahler sendiri.
Das Lied von der Erde merupakan Sinfonischer Liederzyklus  (rangkaian nyanyian) yang diciptakan oleh Gustav Mahler pada rentang tahun 1908 hingga 1909. Das Lied von der Erde sendiri terdiri dari enam siklus lagu yang terdiri dari:
1. "Das Trinklied vom Jammer der Erde" (nyanyian bumi yang nestapa)
2. "Der Einsame im Herbst" (sang sepi di musim gugur)
3. "Von der Jugend" (sang pemuda)
4. "Von der Schönheit" (si cantik)
5. "Der Trunkene im Frühling" (si pemabuk di musim semi)
6. "Der Abschied" (perpisahan)

Masa-masa penciptaan karya ini dapat dikatakan adalah masa dimana seorang Gustav Mahler berada dalam titik paling suram dalam hidupnya. Kesuraman pertama datang ketika Mahler sedang berada dalam masa kejayaannya, dimana pada tahun 1907 ia terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya di Gedung Opera paling prestige di Wina, Wiener Staatsoper karena politik antisemit yang berkembang di daratan Eropa pada tahun itu. Tak lama kemudian, pada 12 Juli 1907 Mahler kembali harus menelan kenyataan pahit bahwa ia harus kehilanga seorang Puterinya karena penyakit demam dan difteri. Dan pada akhir tahun 1907 Mahler didiagnosis menderita kelainan jantung yang menyebabkan ia tidak lagi diizinkan untuk beraktivitas yang berlebihan.
Tiada yang lebih buruk daripada apa yang menimpa Mahler sepanjang tahun itu, sebuah perpisahan, kehilangan dan krisis kepercayaan diri di masa terakhir hidup Mahler sebagai seorang musisi kelas wahid. Pada masa ini lah, Das Lied von der Erde lahir sebagai katarsis – jika boleh dikatakan begitu – seorang Gustav Mahler terhadap kesuraman-kesuraman yang ia alami. Maka tidak heran jika karya Mahler yang satu ini bertemakan kehidupan, kesakitan, perpisahan, dan kematian.
Layaknya karya-karya Mahler yang lain, Das Lied von der Erde sangat kaya akan kompleksitas harmoni meskipun pada beberapa lagu berjalan dengan lebih lambat (pada Der Abschied bahkan durasinya mencapai 25 menit) sekaligus  menjadikannya lebih liris – seperti sebuah bisikan – tetapi tetap dengan ciri khas seorang Gustav Mahler dengan nuansa romantik yang sangat kental.
Ya, tak mungkin Mahler mampu beralih dari style itu.



Sebagai sebuah lagu pembuka, pembukaan Das Trinklied vom Jammer der Erde (nyanyian bumi yang nestapa) seperti sebuah deklarasi tentang nestapa terdalam dengan tempo allegro pesante yang biasanya menggambarkan emosi kebahagiaan, tetapi Mahler seolah ‘membanting’ emosi dari lagu tersebut dengan larik puisi:

Das Lied vom Kummer soll auflachend in die Seele euch klingen.
Wenn der Kummer naht, liegen wüst die Gärten der Seele,
Welkt hin und stirbt die Freude, der Gesang.
Dunkel ist das Leben, ist der Tod.
(Lagu tentang kenestapaan akan menderai tawa dalam jiwamu.
Ketika kesedihan datang, mengecam dusta di selubung jiwa,
layu kemudian binasa dalam nyanyian.
Kegelapan adalah kehidupan, kegelapan adalah kematian!)

Dari video Das Trinklied vom Jammer der Erde yang dibawakan oleh Jonas Kaufmann, seorang Wagnerian Tenor maka kita dapat melihat bahwa karya Mahler yang satu ini dibawakan dengan sangat cemerlang oleh seorang tenor dengan warna suara gelap khas seorang Heldentenor. Ya, posisi mereka memang persis berada di wilayah ini. Presisi.
Bagian tergelap dari lagu ini menjadi lebih begitu terasa terutama pada bagian klimaks dengan sebuah teriakan lantang:

"Hört ihr, wie sein Heulen
hinausgellt in den süßen Duft des Lebens!"
(Dengarlah lolongannya seakan mengeluarkan aroma manis kehidupan!)
Seakan tak cukup, Mahler menambah frasa paling ‘membunuh’ pada  bagian penutup lagu ini dengan nada rendah dan lurus, seperti sebuah penekanan:
"Dunkel ist das Leben, ist der Tod"
(Kegelapan adalah kehidupan, kegelapan adalah kematian!)

Mungkin, style Mahler yang seperti inilah yang dikatakan seorang Kritikus musik bahwa Karya Musik Mahler merupakan anteseden dari para pendahulunya, seperti Beethoven dan Wagner. Mahler dikatakan memiliki kepribadian musiknya sendiri yang cenderung berkebalikan dengan dunia emosi dan perasaan (world of feeling.) Jika dahulu Johann Sebastian Bach menabrak aturan musik zaman Barok dengan style kontrapungnya sehingga menjadikan musik berkembang menuju zaman klasik, seperti itu lah dinamika yang terjadi pada Gustav Mahler. Ia adalah angsa hitam diantara dominasi linieritas musik pada saat itu sehingga perkembangan emosi dari sebuah karya musik tidak lagi linier dengan tempo. Tetapi emosi penciptaan terlihat dari keseluruhan nuansa yang terdiri dari tempo, nuansa maupun lirik; sebuah kesatuan yang utuh dari sebuah karya.
Sebagai perbandingan, kita dapat melihat bagaimana Wagner menggambarkan betapa agungnya seorang kesatria Parsifal (Perceival) lewat pembuka (overture) Parsifal; atau betapa sentimennya seorang Senta di dalam Der Fliegende Holländer; dan betapa cinta matinya Tannhäuser kepada Dewi Venus di dalam Tannhäuser, yang mana musik berjalan linier dengan emosi yang dibawanya.
Dengan demikian, mustahil rasanya jika membahas  keunikan karya Gustav Mahler dengan melepaskan secara total pengaruh composer zaman romantik pada saat itu, dimana kita tahu bahwa Wagner – yang seorang anti semit – cukup berpengaruh di Eropa, khususnya Jerman dan Austria – bahkan dikatakan Parsifal adalah karya yang sangat digemari oleh Hitler yang  juga dijadikan inspirasi ketika memberangus orang-orang Yahudi. Sedangkan Mahler adalah seorang Yahudi yang taat. Beban besar terletak pada pundak Mahler, dan itu terlihat di hampir semua karya Symphonynya. Mahler seakan ingin membolak-balikkan dunia perasaan itu dan menjadikannya sama sekali terbebas dari realitas yang terkait dengan issue anti semit. Emosi ini dapat dirasa begitu kuat pada karya symphony Mahler yang terakhir, Symphony yang ia ciptakan secara utuh, yaitu Symphony No. 9.
Pengalaman menikmati lagu terakhir dari rangkaian lagu simfoni (Sinfonischer Liederzyklus) dari seorang komposer Gustav Mahler yang berdurasi sekitar 30 menit untuk satu lagu terakhir ini membuat saya sekali lagi menyelami karya paripurna seorg Gustav Mahler. Meskipun dgn melodi yg mendayu serta kompleksitas harmoni-nya yg menyatu membuat karya ini tidak bisa lepas dr sebuah defenisi sbg sebuah karya tingkat tinggi pd periode akhir zaman romantik.
Ya, karya2 Mahler berhak untuk duduk disana.
Dalam Der Abschied (perpisahan) Mahler membuka karyanya dengan nuansa yang sangat gelap ingin menyampaikan sebuah bisikan terdalam dr jiwanya. Dalam nada yang begitu lirih, Mahler mengungkapkan:

“...Ich wandle auf und nieder mit meiner Laute
auf Wegen, die von weichem Grase schwellen.
O Schönheit! O ewigen Liebens, Lebens trunkne Welt!”
(...betapapun sebuah keindahan.
Wahai cinta yang keabadiannya paripurna, sungguh kehidupan yang memabukkan dunia... )

Sebuah ungkapan yang ketulusannya tiada banding. Setulus ketika Alfredo Catalani di dalam La Wally mengungkapkan: Ebben! Ne andrò lontana (aku akan pergi, sendiri, dan pergi jauh!) Atau, ketika Wagner membunuh Isolde dalam opera Tristan und Isolde pada larik terakhir Isolde Liebestod: ertrinken, versinken, unbewußt, höchste Lust (hilang, tenggelam dalam ketidaksadaran menuju kenikmatan abadi!) Dan pada akhirnya, sang tokoh utama benar-benar pergi.
Der Abschied  adalah penutup sebuah karya yang sangat sempurna. Sepertinya Mahler tahu benar akan siapa dirinya, apa yang telah ia alami, bagaimana ia menjalaninya dan apa yang akan terjadi kemudian. Lewat rangkaian lagu Das Lied von der Erde, Mahler seakan ingin berteriak dalam keputusasaan dengan sekeras-kerasnya tentang siapa yang telah mengenal dirinya maka ia akan mengerti tentang kehidupan dan pada akhirnya akan berdamai dengan dirinya sendiri.

"Dunkel ist das Leben, ist der Tod"

Tepat dua tahun setelah penciptaan, Das Lied von der Erde Mahler pun pergi pada 18 Mei 1911 diusia 50 tahun.
***

Katarsis dalam sebuah karya seni.
Pelepasan emosi melalui media karya seni atau karya sastra bukanlah hal yang baru di dalam Ilmu Psikologi. Psikologi menyebutnya dengan istilah katarsis. Awalnya katarsis adalah salah satu bagian dari Bagan Teori Psikoanalisa Sigmund Freud. Freud mengembangkan katarsis sebagai pengobatan untuk orang dengan gangguan histeria. Secara umum, katarsis adalah bentuk pelepasan emosi negatif yang bersumber dari alam perasaan. Beberapa metode yang lazim digunakan dalam katarsis diantaranya adalah pengungkapan perasaan melalui tulisan, verbal, musik, gerakan maupun metode pemijatan titik akupuntur. Psikologi menyederhanakan teknik katarsis yang menggunakan medium seni dengan menyebutnya sebagai terapi seni (art teraphy).
Mungkin tanpa sadar kita telah melakukan katarsis dalam kehidupan sehari-hari, seperti menulis buku diary, menciptakan lagu atau melukis. Tetapi yang membedakan art teraphy dengan proses kreatif biasa adalah pada tujuannya. Art teraphy memiliki tujuan sebagai pelepasan emosi, artinya karya yang kita ciptakan menggambarkan apa yang kita alami dan kita rasakan kemudian perasaan itu kita kenali lalu kita tuangkan dalam karya sebagai pelepasan emosi. Kemudian karya yang dihasilkan dapat disimpan (save it) ataukah dihancurkan (destroy it) karena memuat emosi yang hendak kita lepaskan. Misalnya, kita sedang mengalami patah hati lalu menggunakan media lukis dengan melukis gambar hati yang tertusuk belati. Karya tersebut dapat kita hancurkan karena dengan penghancuran adalah refleksi dari pelepasan emosi negatif tersebut.
Richard Strauss, seorang
komposer berkebangsaan
Jerman.

Dalam pengamatan saya, tidak hanya Mahler yang melakukan proses pelepasan emosi negatif melalui karya seperti ini, Richard Strauss pun melakukan hal yang sama pada tahun 1948. Ia menciptakan empat nyanyian terakhir (German: Vier letzte Lieder) di akhir hayatnya. Karya ini baru dipublikasikan satu tahun setelah kematiannya pada tahun 1949. Di dalam Vier letzte Lieder Strauss seakan ingin berdamai dengan kematian. Ia menggaambarkan secara jelas di dalam "Frühling" dan "Beim Schlafengehen" bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan. Kematian adalah sebuah proses paripurna menuju totalitas dari kedamaian dan penerimaan manusia dalam hidupnya.




Sebuah maha karya yang sangat indah. Baik Strauss maupun Mahler mengusik rasa apatis kita terhadap kehidupan. Melalui kedua maha karya ini saya ingin bercerita kepada teman pembaca semua bahwa kehidupan mungkin akan meninggalkan kita pada titik terdalam. Pada titik tersebut kita tak lagi dapat melihat cahaya dan suara selain diri kita sendiri. Kita mungkin akan melihat diri kita sebagai si buta, si bisu atau si tuli. Tetapi sejatinya kita adalah cahaya dan suara itu sendiri. Percayalah, mereka telah berada di dalam titik kehidupan terdalam seperti itu. Tetapi, bukankah setelah begitu lamanya kita berada dalam titik terdalam, kita akan semakin kuat? Saatnya kita melihat diri kita sebagai sang cahaya dan sang suara yang mana keduanya adalah bagian esensi dari kehidupan. Kita adalah bagian dari rasa. Melalui rasa, kita mendengar. Melalui rasa, kita berbicara, dan melalui rasa kita menerima bahwa kita adalah pemberian paling berharga dalam hidup. 


No comments:

Post a Comment

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL “ THE SWEET SINS”   KARYA RANGGA WIRIANTO PUTRA Amalia Meldani Mahasiswa Prodi Sastra Ind...