Friday 27 October 2017

Mendalami Arti Sumpah Pemuda pada Era Modern


Oleh: Rangga Wirianto Putra


Andante Maestoso[1]. = 80
Setiap tanggal 28 Oktober kita, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda. Dimana, pada hari itu kita kembali memproklamirkan bahwa pemuda adalah bagian penting dari sejarah bangsa ini. Tetapi, hanya akan menjadi sebuah ritual tahunan jika kita mengucapkan Selamat Hari Sumpah Pemuda lalu tidak memahami apa itu Sumpah Pemuda dan apa makna dibalik Lahirnya Sumpah Pemuda; ia akan menjadi sebuah seremonial kosong dan hampa karena pemuda yang merupakan pengguncang dunia dan agen perubahan itu seakan kehilangan jati dirinya.
Pada hari yang sakral ini, ada baiknya kita kembali mendalami apa makna yang terkandung di dalam bait-bait Sumpah Pemuda tersebut, yang bagi saya cukup romantik dalam hubungan kita, generasi millennials – sebagai pengguncang dunia dan sebagai agen perubahan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Bait pertama ini mempertegas bahwa Indonesia telah ada dalam cita-cita luhur para pemuda sejak 28 Oktober 1928. Meskipun – katakanlah Negara Indonesia saat itu belum merdeka – tetapi ‘jiwa’ sebagai ‘Bangsa Indonesia’ itu telah ada/essence. Dimana, jika para pemuda pada masa itu tidak memprolkamirkan ‘Sang Jiwa’, maka mustahil kemerdekaan akan dapat diperjuangkan. Karena, tanpa esensi ‘Jiwa Bangsa Indonesia,’ maka kemerdekaan hanya akan menjadi sesuatu yang hampa; ia telah kehilangan substansi dan identitas sebelum direbut dan diperjuangkan.
Bait ini kembali mengingatkan kepada kita bahwa Kemerdekaan itu diperebutkan, bukan diberikan begitu saja. Maka, sepatutunya kita berbangga kepada leluhur kita, kepada para pahlawan dan kepada pendiri Negara Indonesia bahwa, sejatinya kita semua adalah lahir dari rahim para petarung. Jangan anda khianati jiwa sang petuarung itu dengan melacurkan diri anda, berikut pikiran-pikiran sempit anda pada apa yang tidak pernah diajarkan oleh para pendahulu kita. Karena, sang pejuang sejati tahu benar tidak hanya bagaimana cara merebut tetapi juga mempertahankan. Kita, para pemuda yang hidup di era modern yang belum selesai ini (postmodern adalah era modern yang belum selesai[2]) memiliki tugas yang tak mudah: mewarisi perjuangannya.

Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Untuk bait kedua ini, izinkan saya bertanya: ‘apakah pada saat itu pemuda membatasi dirinya dalam sekat-sekat perbedaan?’ Dengan mengatakan bahwa Berbangsa yang Satu, maka demikian kita telah lama menendang jauh-jauh sekat-sekat perbedaan itu sendiri. Dengan diperkokohnya ikatan bangsa Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika, ia menjadi seperti satu buket bunga warna-warni yang kelak akan kau persembahkan kepada sang kekasih tercinta; romantisme Bangsa Indonesia justru karena didalamnya terdapat kesatuan dari aneka rupa keindahan (maafkan saya, jika pada saat ini yang terlintas di dalam pikiran saya adalah saat Mario Cavaradossi membuka arianya, recondita armonia di bellezze diverse[3] dalam Opera Tosca[4])
Maka, tidak berlebihan jika hari ini, di zaman modern ini - dimana sekat-sekat pembatas antara manusia satu dengan yang lainnya telah semakin hilang - kita mempertanyakan lagi, apakah akan kita bangun kembali sekat-sekat pembatas yang telah kita buang jauh-jauh puluhan tahun lalu itu?

Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Tidak ada Negara di belahan dunia ini yang paling beragam sekaligus paling banyak jumlah bahasanya – mekipun anda menggabungkan seluruh bahasa yang ada di Benua Eropa – kecuali Indonesia. Katakanlah, itu adalah kekayaan bangsa Indonesia, maka entitas itu layak kita pertahankan dan tunjukkan kepada dunia bahwa kita para pemuda yang hidup di hari ini meskipun berasal dari berbagai daerah, hidup di zaman modern, berbagai tingkat pendidikan, berbagai agama dan keyakinan, tetapi kebanggaan / pride kita terhadap Bahasa Persatuan tetap sama, Bahasa Indonesia.
Maka, Bahasa Indonesia kemudian dipahami sebagai roh dari jati diri orang Indonesia. Dimanapun ia berada, apapun jabatan dan posisinya, apakah di dalam Negeri atau di luar Negeri. Jika anda tidak memiliki kebanggaan akan jati diri anda, tidak mungkin anda akan menjadi seseorang yang patut dibanggakan oleh dunia. Ya, tahun 1928 para pemuda pendahulu kita telah berbicara tentang ini.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan tidak merasa sebagai pribadi yang serba benar. Marilah kita menjadi pemuda pengguncang dunia dan agen perubahan dengan tetap mempertahankan jati diri kita sebagai bangsa yang majemuk nan kaya dengan mewarisi nilai-nilai luhur para pejuang dengan mengutamakan kebijaksanaan diri daripada egosentrisme; memperbaiki diri daripada menunjuk hidung orang lain apalagi menyalahkan keadaan. Karena kita, para generasi millennials adalah generasi yang telah ditempa dari sebuah proses psikologis yang panjang, yaitu sebuah pelajaran yang mahal untuk menuju sebuah bangsa yang bijaksana dengan berkeadilan di Negeri yang kita namakan Nusantara ini.
Sekian.
Rangga Wirianto Putra
28 Oktober 2017



[1] Italia: Perlahan dengan penuh keagungan
[2] Oleh: Jürgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman.
[3] Italia: Harmoni dari aneka rupa keindahan.
[4] Opera Tosca merupakan Giacomo Puccini.

Saturday 23 September 2017



40 Tahun sejak kepergian Maria Callas, dunia tak ikut mati.

Matahari tetap bersinar pada pagi hari dan burung-burung tak menghentikan nyanyiannya. Tetapi sejak kematiannya, ia tak pernah tergantikan. Sang Diva, Queen of the operaLa DivinaPrimadonna Assoluta atau apapun orang memanggilnya, ia tetaplah Maria Callas, yang hingga hari ini, ia masih menjadi defenisi dari kata 'Diva'.



Mendengarkan suaranya seperti membawamu pada ujung dunia, dimana yang ada hanya dirimu dan angin yang berhenti berhembus. Ia tak menjadikan dedaunan jatuh, hanya menggantung saja. Kepedihan, kepahitan bahkan air mata hanya bergantung di sudut matamu. Ketika pekikan suara yang Diva seakan membawa jiwamu pada sebuah padang nan gersang. Dunia seperti tersedot masuk pada pusaran singularitas ruang dan waktu. Hampa, hanya hampa.



Dengan demikian, tepukan di La Scalla tak pernah terlalu meriah sejak Sang Diva meninggalkan panggungnya. Karena Madam Callas, seorang penyanyi, interpreter, artis, atau apapun kau menyebutnya tak meninggalkan banyak, tetapi ia mewarisi apa yang tak banyak penyanyi miliki, ketika ia bernyanyi menggunakan hati. Hanya dengan hati. Itu saja.

(Rangga Wirianto Putra untuk 40 tahun Kepergian Maria Callas)







Saturday 6 May 2017

Kei, dia berbicara Cinta



Jika cinta adalah sehelai kertas
maka kau adalah larik puisi yang tertuang diatasnya.

Jika cinta adalah sebuah rasa
maka kau adalah alasan bahagia sekaligus derita.

Jika cinta adalah nyawa
maka kau adalah rasa Si Ada dan Tiada.

Jika cinta adalah Symphony
maka kau adalah tingkat kesembilan, yang menghidupkan lalu mematikan.

Jika cinta adalah pelukan
maka kau adalah derai tawa apalagi air mata dalam hangatnya.

Tetapi...

Cinta,
tak terdefenisi oleh apapun.

Cinta,
tak sekedar kata yang tertulis diatas kertas.

Cinta,
tak terungkap dalam satuan rasa.

Cinta,
tak hanya mewujud dalam setiap nyawa.

Cinta,
tak terjelaskan oleh melodi dan harmoni.

Cinta,
tak hanya derai dibalik segala yang tercerai.

Cinta,
itu kamu, Kei.


Jakarta, 1 Desember 2013

Tuesday 25 April 2017

Sebuah Analisa Rasa terhadap Proses Kreatif Das Lied von der Erde

Sebuah Analisa Rasa terhadap Proses Kreatif Das Lied von der 
Erde (Kidung Bumi) oleh Gustav Mahler.
oleh: Rangga Wirianto Putra




Menyenangkan rasanya untuk menuliskan draft tulisan ini karena saya bukan seorang musisi, bukan pula seorang kritikus musik, saya berada diluar itu semua. Saya hanyalah seorang penikmat – sekaligus pecinta- karya musik klasik yang memfokuskan perhatian saya pada era zaman romantik – meski tidak selalu. Saya meletakkan perhatian saya yang lebih besar pada Mozart, Beethoven, Wagner, Verdi, Puccini dan Mahler. Mereka adalah komposer paling berpengaruh dalam perkembangan musik barat. Tetapi kali ini saya tertarik ingin membahas proses kreatif sebuah karya Gustav Mahler.
Gustav Mahler
(7 Juli 1860 - 18 Mei 1911)
Gustav Mahler adalah seorang composer dan conductor terkenal pada zaman romantik. Karya Gustav Mahler yang paling terkenal adalah Symphony No. 5 dan No. 9 yang sekaligus menjadi symphony terakhir yang ia selesaikan secara utuh. Selain Symphony, karya Mahler yang terkenal adalah karyanya yang berbentuk Sinfonischer Liederzyklus yang berjudul Das Lied von der Erde. Karya ini memuat enam rangkaian lagu yang saling berhubungan. Di dalam tulisan ini, saya ingin meraba-raba proses kreatif seorang Gustav Mahler ketika menciptakan Das Lied von der Erde berdasarkan latar belakang bidang keilmuan saya, yaitu Psikologi. Jika boleh, izinkan saya untuk menyodorkan sebuah analisa rasa sebagian bagian dari proses berimajinasi menggunakan rasa secara total dari seorang penikmat seni terhadap sebuah karya dengan pijakan latar belakang kehidupan sang kreator (dalam hal ini adalah seorang komposer) ketika menciptakan sebuah karya. Saya menitikberatkan independensi saya yang berada diluar bidang ilmu musik dan saya pun dapat dikatakan terbebas dari belitan teori musik terutama teori musik zaman romantik – yang kita semua tahu – tidak mudah. Percayalah, saya tidak bercanda dalam hal ini, terutama jika kita berbicara tentang komposer nomer wahid pada zaman itu, sebut saja Richard Wagner, Hector Berlioz, hingga Gustav Mahler sendiri.
Das Lied von der Erde merupakan Sinfonischer Liederzyklus  (rangkaian nyanyian) yang diciptakan oleh Gustav Mahler pada rentang tahun 1908 hingga 1909. Das Lied von der Erde sendiri terdiri dari enam siklus lagu yang terdiri dari:
1. "Das Trinklied vom Jammer der Erde" (nyanyian bumi yang nestapa)
2. "Der Einsame im Herbst" (sang sepi di musim gugur)
3. "Von der Jugend" (sang pemuda)
4. "Von der Schönheit" (si cantik)
5. "Der Trunkene im Frühling" (si pemabuk di musim semi)
6. "Der Abschied" (perpisahan)

Masa-masa penciptaan karya ini dapat dikatakan adalah masa dimana seorang Gustav Mahler berada dalam titik paling suram dalam hidupnya. Kesuraman pertama datang ketika Mahler sedang berada dalam masa kejayaannya, dimana pada tahun 1907 ia terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya di Gedung Opera paling prestige di Wina, Wiener Staatsoper karena politik antisemit yang berkembang di daratan Eropa pada tahun itu. Tak lama kemudian, pada 12 Juli 1907 Mahler kembali harus menelan kenyataan pahit bahwa ia harus kehilanga seorang Puterinya karena penyakit demam dan difteri. Dan pada akhir tahun 1907 Mahler didiagnosis menderita kelainan jantung yang menyebabkan ia tidak lagi diizinkan untuk beraktivitas yang berlebihan.
Tiada yang lebih buruk daripada apa yang menimpa Mahler sepanjang tahun itu, sebuah perpisahan, kehilangan dan krisis kepercayaan diri di masa terakhir hidup Mahler sebagai seorang musisi kelas wahid. Pada masa ini lah, Das Lied von der Erde lahir sebagai katarsis – jika boleh dikatakan begitu – seorang Gustav Mahler terhadap kesuraman-kesuraman yang ia alami. Maka tidak heran jika karya Mahler yang satu ini bertemakan kehidupan, kesakitan, perpisahan, dan kematian.
Layaknya karya-karya Mahler yang lain, Das Lied von der Erde sangat kaya akan kompleksitas harmoni meskipun pada beberapa lagu berjalan dengan lebih lambat (pada Der Abschied bahkan durasinya mencapai 25 menit) sekaligus  menjadikannya lebih liris – seperti sebuah bisikan – tetapi tetap dengan ciri khas seorang Gustav Mahler dengan nuansa romantik yang sangat kental.
Ya, tak mungkin Mahler mampu beralih dari style itu.



Sebagai sebuah lagu pembuka, pembukaan Das Trinklied vom Jammer der Erde (nyanyian bumi yang nestapa) seperti sebuah deklarasi tentang nestapa terdalam dengan tempo allegro pesante yang biasanya menggambarkan emosi kebahagiaan, tetapi Mahler seolah ‘membanting’ emosi dari lagu tersebut dengan larik puisi:

Das Lied vom Kummer soll auflachend in die Seele euch klingen.
Wenn der Kummer naht, liegen wüst die Gärten der Seele,
Welkt hin und stirbt die Freude, der Gesang.
Dunkel ist das Leben, ist der Tod.
(Lagu tentang kenestapaan akan menderai tawa dalam jiwamu.
Ketika kesedihan datang, mengecam dusta di selubung jiwa,
layu kemudian binasa dalam nyanyian.
Kegelapan adalah kehidupan, kegelapan adalah kematian!)

Dari video Das Trinklied vom Jammer der Erde yang dibawakan oleh Jonas Kaufmann, seorang Wagnerian Tenor maka kita dapat melihat bahwa karya Mahler yang satu ini dibawakan dengan sangat cemerlang oleh seorang tenor dengan warna suara gelap khas seorang Heldentenor. Ya, posisi mereka memang persis berada di wilayah ini. Presisi.
Bagian tergelap dari lagu ini menjadi lebih begitu terasa terutama pada bagian klimaks dengan sebuah teriakan lantang:

"Hört ihr, wie sein Heulen
hinausgellt in den süßen Duft des Lebens!"
(Dengarlah lolongannya seakan mengeluarkan aroma manis kehidupan!)
Seakan tak cukup, Mahler menambah frasa paling ‘membunuh’ pada  bagian penutup lagu ini dengan nada rendah dan lurus, seperti sebuah penekanan:
"Dunkel ist das Leben, ist der Tod"
(Kegelapan adalah kehidupan, kegelapan adalah kematian!)

Mungkin, style Mahler yang seperti inilah yang dikatakan seorang Kritikus musik bahwa Karya Musik Mahler merupakan anteseden dari para pendahulunya, seperti Beethoven dan Wagner. Mahler dikatakan memiliki kepribadian musiknya sendiri yang cenderung berkebalikan dengan dunia emosi dan perasaan (world of feeling.) Jika dahulu Johann Sebastian Bach menabrak aturan musik zaman Barok dengan style kontrapungnya sehingga menjadikan musik berkembang menuju zaman klasik, seperti itu lah dinamika yang terjadi pada Gustav Mahler. Ia adalah angsa hitam diantara dominasi linieritas musik pada saat itu sehingga perkembangan emosi dari sebuah karya musik tidak lagi linier dengan tempo. Tetapi emosi penciptaan terlihat dari keseluruhan nuansa yang terdiri dari tempo, nuansa maupun lirik; sebuah kesatuan yang utuh dari sebuah karya.
Sebagai perbandingan, kita dapat melihat bagaimana Wagner menggambarkan betapa agungnya seorang kesatria Parsifal (Perceival) lewat pembuka (overture) Parsifal; atau betapa sentimennya seorang Senta di dalam Der Fliegende Holländer; dan betapa cinta matinya Tannhäuser kepada Dewi Venus di dalam Tannhäuser, yang mana musik berjalan linier dengan emosi yang dibawanya.
Dengan demikian, mustahil rasanya jika membahas  keunikan karya Gustav Mahler dengan melepaskan secara total pengaruh composer zaman romantik pada saat itu, dimana kita tahu bahwa Wagner – yang seorang anti semit – cukup berpengaruh di Eropa, khususnya Jerman dan Austria – bahkan dikatakan Parsifal adalah karya yang sangat digemari oleh Hitler yang  juga dijadikan inspirasi ketika memberangus orang-orang Yahudi. Sedangkan Mahler adalah seorang Yahudi yang taat. Beban besar terletak pada pundak Mahler, dan itu terlihat di hampir semua karya Symphonynya. Mahler seakan ingin membolak-balikkan dunia perasaan itu dan menjadikannya sama sekali terbebas dari realitas yang terkait dengan issue anti semit. Emosi ini dapat dirasa begitu kuat pada karya symphony Mahler yang terakhir, Symphony yang ia ciptakan secara utuh, yaitu Symphony No. 9.
Pengalaman menikmati lagu terakhir dari rangkaian lagu simfoni (Sinfonischer Liederzyklus) dari seorang komposer Gustav Mahler yang berdurasi sekitar 30 menit untuk satu lagu terakhir ini membuat saya sekali lagi menyelami karya paripurna seorg Gustav Mahler. Meskipun dgn melodi yg mendayu serta kompleksitas harmoni-nya yg menyatu membuat karya ini tidak bisa lepas dr sebuah defenisi sbg sebuah karya tingkat tinggi pd periode akhir zaman romantik.
Ya, karya2 Mahler berhak untuk duduk disana.
Dalam Der Abschied (perpisahan) Mahler membuka karyanya dengan nuansa yang sangat gelap ingin menyampaikan sebuah bisikan terdalam dr jiwanya. Dalam nada yang begitu lirih, Mahler mengungkapkan:

“...Ich wandle auf und nieder mit meiner Laute
auf Wegen, die von weichem Grase schwellen.
O Schönheit! O ewigen Liebens, Lebens trunkne Welt!”
(...betapapun sebuah keindahan.
Wahai cinta yang keabadiannya paripurna, sungguh kehidupan yang memabukkan dunia... )

Sebuah ungkapan yang ketulusannya tiada banding. Setulus ketika Alfredo Catalani di dalam La Wally mengungkapkan: Ebben! Ne andrò lontana (aku akan pergi, sendiri, dan pergi jauh!) Atau, ketika Wagner membunuh Isolde dalam opera Tristan und Isolde pada larik terakhir Isolde Liebestod: ertrinken, versinken, unbewußt, höchste Lust (hilang, tenggelam dalam ketidaksadaran menuju kenikmatan abadi!) Dan pada akhirnya, sang tokoh utama benar-benar pergi.
Der Abschied  adalah penutup sebuah karya yang sangat sempurna. Sepertinya Mahler tahu benar akan siapa dirinya, apa yang telah ia alami, bagaimana ia menjalaninya dan apa yang akan terjadi kemudian. Lewat rangkaian lagu Das Lied von der Erde, Mahler seakan ingin berteriak dalam keputusasaan dengan sekeras-kerasnya tentang siapa yang telah mengenal dirinya maka ia akan mengerti tentang kehidupan dan pada akhirnya akan berdamai dengan dirinya sendiri.

"Dunkel ist das Leben, ist der Tod"

Tepat dua tahun setelah penciptaan, Das Lied von der Erde Mahler pun pergi pada 18 Mei 1911 diusia 50 tahun.
***

Katarsis dalam sebuah karya seni.
Pelepasan emosi melalui media karya seni atau karya sastra bukanlah hal yang baru di dalam Ilmu Psikologi. Psikologi menyebutnya dengan istilah katarsis. Awalnya katarsis adalah salah satu bagian dari Bagan Teori Psikoanalisa Sigmund Freud. Freud mengembangkan katarsis sebagai pengobatan untuk orang dengan gangguan histeria. Secara umum, katarsis adalah bentuk pelepasan emosi negatif yang bersumber dari alam perasaan. Beberapa metode yang lazim digunakan dalam katarsis diantaranya adalah pengungkapan perasaan melalui tulisan, verbal, musik, gerakan maupun metode pemijatan titik akupuntur. Psikologi menyederhanakan teknik katarsis yang menggunakan medium seni dengan menyebutnya sebagai terapi seni (art teraphy).
Mungkin tanpa sadar kita telah melakukan katarsis dalam kehidupan sehari-hari, seperti menulis buku diary, menciptakan lagu atau melukis. Tetapi yang membedakan art teraphy dengan proses kreatif biasa adalah pada tujuannya. Art teraphy memiliki tujuan sebagai pelepasan emosi, artinya karya yang kita ciptakan menggambarkan apa yang kita alami dan kita rasakan kemudian perasaan itu kita kenali lalu kita tuangkan dalam karya sebagai pelepasan emosi. Kemudian karya yang dihasilkan dapat disimpan (save it) ataukah dihancurkan (destroy it) karena memuat emosi yang hendak kita lepaskan. Misalnya, kita sedang mengalami patah hati lalu menggunakan media lukis dengan melukis gambar hati yang tertusuk belati. Karya tersebut dapat kita hancurkan karena dengan penghancuran adalah refleksi dari pelepasan emosi negatif tersebut.
Richard Strauss, seorang
komposer berkebangsaan
Jerman.

Dalam pengamatan saya, tidak hanya Mahler yang melakukan proses pelepasan emosi negatif melalui karya seperti ini, Richard Strauss pun melakukan hal yang sama pada tahun 1948. Ia menciptakan empat nyanyian terakhir (German: Vier letzte Lieder) di akhir hayatnya. Karya ini baru dipublikasikan satu tahun setelah kematiannya pada tahun 1949. Di dalam Vier letzte Lieder Strauss seakan ingin berdamai dengan kematian. Ia menggaambarkan secara jelas di dalam "Frühling" dan "Beim Schlafengehen" bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan. Kematian adalah sebuah proses paripurna menuju totalitas dari kedamaian dan penerimaan manusia dalam hidupnya.




Sebuah maha karya yang sangat indah. Baik Strauss maupun Mahler mengusik rasa apatis kita terhadap kehidupan. Melalui kedua maha karya ini saya ingin bercerita kepada teman pembaca semua bahwa kehidupan mungkin akan meninggalkan kita pada titik terdalam. Pada titik tersebut kita tak lagi dapat melihat cahaya dan suara selain diri kita sendiri. Kita mungkin akan melihat diri kita sebagai si buta, si bisu atau si tuli. Tetapi sejatinya kita adalah cahaya dan suara itu sendiri. Percayalah, mereka telah berada di dalam titik kehidupan terdalam seperti itu. Tetapi, bukankah setelah begitu lamanya kita berada dalam titik terdalam, kita akan semakin kuat? Saatnya kita melihat diri kita sebagai sang cahaya dan sang suara yang mana keduanya adalah bagian esensi dari kehidupan. Kita adalah bagian dari rasa. Melalui rasa, kita mendengar. Melalui rasa, kita berbicara, dan melalui rasa kita menerima bahwa kita adalah pemberian paling berharga dalam hidup. 


Tuesday 18 April 2017

10 Opera Dengan Akhir Paling Tragis

oleh: Rangga Wirianto Putra

Meskipun pertunjukan Opera kurang begitu populer di Indonesia, tetapi harus diakui bahwa pertunjukan Opera adalah salah satu seni pertunjukan tertua yang setidaknya telah berusia kurang lebih 5 abad. Seni pertunjukan opera adalah seni yang memadukan unsur musik, drama bahkan tarian dan teatrikal sekaligus dalam satu panggung. Hal ini lah yang menjadikannya salah satu seni pertunjukan paling komplit dan terkesan penikmatnya hanya dari kalangan kelas atas karena mengingat biaya yang dibutuhkan untuk menampilkan satu opera yang tidak sedikit. Opera pertama yang tercatat dan masih dipentaskan hingga saat ini adalah La favola d’Orfeo (The Legend of Orpheus) yang diciptakan Monteverdi pada tahun 1607.
Gedung Teatro alla Scala, Milan.
Layaknya sebuah karya seni, Opera memiliki tema cerita beragam tentang perjuangan, cinta, pengkhianatan dan perselingkuhan yang tak jarang menguras emosi para pendengar terutama untuk akhir cerita yang paling tragis seperti kematian dan pembunuhan. Berikut ini adalah 10 Opera terkenal dengan akhir cerita paling tragis yang hingga hari ini masih dipertunjukkan di berbagai gedung opera ternama di dunia:

10. Pietro Mascagni – Cavaleria Rusticana
Cavaleria Rusticana adalah opera satu babak ciptaan Pietro Mascagni. Opera ini bercerita tentang drama kehidupan dengan latar belakang kehidupan di Italia yang dipenuhi intrik percintaan, persaingan dan pengkhianatan antara Turiddu dan Alfio . Opera ini termasuk salah satu jenis opera verismo, yaitu opera yang mana kisahnya benar-benar mencerminkan realita kehidupan pada saat itu. Opera ini diakhiri dengan terbunuhnya tokoh Turiddu secara mengenaskan karena pertarungannya dengan Alfio.


9. Georges Bizet – Carmen
Carmen adalah opera karya komposer asal Prancis, Georges Bizet yang diadaptasi dari sebuah novel dengan judul yang sama karangan Prosper Mérimée. Opera empat babak ini pertama kali dipentaskan di Paris, Perancis pada tahun 1875. Opera ini menggambarkan tentang kisah percintaan antara seorang anggota cavaleri, Don José dan seorang gadis gipsy, Carmen. Carmen dianggap salah satu opera paling eksotis dan romantis dalam menggambarkan tentang perjuangan dan kisah cinta. Meskipun Carmen pada akhirnya tewas dibunuh oleh Don José sendiri karena ia menolak untuk kembali kepada Don José, tetapi kharismatik tokoh Carmen takkan pernah lepas sepanjang opera empat babak ini. L'amour est un oiseau rebelled dan Votre Toast adalah dua aria yang paling terkenal dari opera Carmen. Bahkan, Nietzsche menuliskan secara khusus tentang kekagumannya pada karya Bizet yang satu ini.


8. Gaetano Donizetti - Lucrezia Borgia
Opera ini diangkat dari kisah nyata seorang Lucrezia Borgia. Lucrezia Borgia adalah anak perempuan dari Roderigo Borgia atau Paus Aleksander VI, yaitu Paus yang menjabat sejak 11 Agustus 1492 sampai 18 Agustus 1503 sekaligus menjadi Paus terakhir pada abad pertengahan. Kisah Lucrezia Borgia bercerita seputar intrik Gereja ketika sang ayah menduduki tahta suci yang kemudian skandal-skandalnya merupakan salah satu yang terburuk dalam sejarah kelam abad pertengahan. Diceritakan dari berbagai sumber bahwa karena pesona kecantikannya, bahkan membuat Cesare Borgia, yaitu kakak kandungnya sendiri tega membunuh Giovanni Borgia demi mendapatkan perhatian Lucrezia. Namun pada akhir opera ini diceritakan bahwa Lucrezia menanti kematiannya sendiri dengan menolak untuk meminum obat penawar dari racun yang telah diminum olehnya. Era desso il figlio mio adalah lagu penutup dari opera ini yang dibawakan dengan sangat menyentuh oleh banyak Soprano kenamaan, diantaranya Edita Gruberova dan Dame Joan Sutherland yang mana aria ini sekaligus mengakhiri kehidupan seorang Lucrezia yang sangat tragis.


7. Giacomo Puccini - Manon Lescaut
Manon Lescaut dengan peran
penuh gairah sebagai wanita penjaja cinta
kelas atas.
Begitu banyak opera melodramatik yang diciptakan oleh Puccini, salah satunya adalah Manon Lescaut. Manon Lescaut diangkat dari sebuah novel L'histoire du chevalier des Grieux et de Manon Lescaut oleh Abbé Prévost tahun 1731. Manon, adalah seorang wanita penggoda kelas atas yang telah membuat seorang anggota kavaleri, Chevalier des Grieux jatuh cinta yang teramat sangat padanya. Tetapi cinta mereka tidak dapat diterima oleh nilai dan norman masyarakat pada masa itu sehingga mereka mengasingkan diri dan Manon tewas di dalam perjalanan, di sebuah padang gurun yang gersang. Kisah cinta Manon kemudian menjadi inspirasi bagi banyak komposer. Selain Puccini, Jules Massenet pun menggubah sebuah Opera berjudul Manon sebagai penghargaan terhadap cinta yang tulus dan mulia dari seorang Manon. Bahkan, Alexandre Dumas Junior menulis sebuah novel The Lady of the Camellias yang terinspirasi dari kisah ini dan kemudian diadaptasi menjadi Opera La Traviata oleh Giuseppe Verdi.


6. Richard Wagner – Lohengrin
Lohengrin, Sang Kesatria Angsa
Opera Lohengrin adalah opera tiga babak karangan Richard Wagner yang pertama kali dipentaskan pada tahun 1850. Menurut seorang pengamat musik dikatakan bahwa pembukaan (Overture) dari opera ini sebagai delapan menit paling indah dalam sejarah musik. Lohengrin adalah sebuah legenda Jerman Kuno tentang seorang Kesatria Angsa yang ditugaskan untuk membantu sebuah daerah yang bernama Brabant dari kehancuran sejak kematian Sang Raja. Lohengrin kemudian mengajukan sebuah syarat kepada Elsa tentang sebuah pertanyaan terlarang, yaitu jangan pernah bertanya tentang asal-usul sang kesatria atau ia akan pergi tanpa pernah kembali. Di dalam perjalanan, Elsa, Putri sang Raja pada akhirnya jatuh cinta pada Kesatria Lohengrin dan kemudian mereka pun menikah. Treulich geführt adalah wedding march yang paling terkenal dari opera ini. Tetapi pada akhirnya karena diliputi oleh rasa penasaran, Elsa bertanya kepada Lohengrin tentang asal-usulnya, siapa dirinya dan dari mana ia berasal. Lewat In Fernem Land, Lohengrin menjawab bahwa ia adalah Kesatria Angsa Lohengrin, anak dari Parsifal (Perceival) kemudian Sang Kesatria kembali ke kereta angsanya, pergi meninggalkan Brabant sekaligus Elsa tanpa pernah kembali.


5. Francesco Cilea – Adriana Lecouvreur
Angela Gheorghiu sebagai
Adriana Lecouvreur
Adriana Lecouvreur adalah opera empat babak karangan Francesco Cilea. Opera ini digubah berdasarkan kisah nyata seorang aktris Perancis, Adrienne Lecouvreur (1692–1730). Adriana Lecouvreur menceritakan tentang kehidupan seorang pelakon wanita bernama Adriana Lecouvreur yang kehilangan kariernya. Tetapi ketika ia berada dalam masa-masa sulit itu, ia menemukan cintanya pada sosok Maurizio. Bagian yang paling terkenal dari opera ini yaitu Ballet dan death scene ketika Adriana menghembuskan nafasnya yang terakhir di pangkuan Maurizio akibat keracunan. Racun tersebut diberikan oleh rivalnya, Princess de Bouillon melalui sekuntum bunga dengan mengatasnamakan Maurizio. Poveri fiori adalah aria yang menggambarkan saat-saat terakhir Adriana seperti sekuntum bunga malang yang harus menguncup meski baru hendak berkembang.


4. Verdi - La Traviata
Diana Damrau berperan sebagai
Violeta Valery
Sulit rasanya memisahkan opera ini dari daftar opera dengan akhir paling tragis. Meskipun memiliki kemiripan cerita terhadap Manon Lescaut dengan latar belakang tentang penjaja cinta kelas atas, tetapi kejeniusan seorang Verdi membuat saya ingin membahas opera ini lebih dalam lagi sekaligus menempatkannya di urutan ke empat sebagai opera dengan akhir paling tragis.
Verdi membuka opera ini dengan overture yang sangat liris dan sangat menyayat hati ketika menggambarkan kehidupan sang tokoh utama, Violeta Valery. Tidak hanya itu, ia pun kemudian memadukan kesengsaraan Violeta Valery yang tengah menderita sakit dengan keglamoran hidupnya sebagai seorang wanita penjaja cinta kelas atas. Verdi seakan ingin mempertegas apa yang dikatakan oleh Alexandre Dumas Junior di dalam bukunya, bahwa ketika Tuhan menunjukkan sesuatu kepada seorang wanita hanya lewat dua jalan: jalan cinta dan jalan cinta yang berlumur darah. Verdi seakan ingin membanting emosi penonton pada babak ketiga, yaitu dengan nyanyian Addio del passato yang merupakan ungkapan paling perih dari Violeta Valery menjelang akhir hidupnya. Dan benar saja, Verdi berhasil membuat Violeta meregang nyawa dengan tragis dengan halusinasi seakan ia telah terbebas dari penyakitnya. Violeta kemudian menjatuhkan tubuhnya dan tergeletak tak bernyawa di hadapan seseorang yang ia jatuhi cinta, sejatuh-jatuhnya cinta, Alfredo Germont. Bagian ini pula lah yang selalu membuat penonton menjerit tepat ketika tirai diturunkan.


3. Richard Wagner – Tristan und Isolde
Poster Tristan und Isolde di
Metropolitan Opera
Tristan und Isolde merupakan opera karangan Richard Wagner yang terdiri dari tiga babak. Opera “Tristan und Isolde” merupakan bentuk siksa cinta Wagner sendiri terhadap teman wanitanya, Mathilde Wesendonck.  Jadi, dapat dikatakan bahwa penciptaan opera ini didasari oleh ketidaksetiaan dan pengkhianatan. Meskipun demikian, Wagner mengatakan bahwa Tristan und Isolde adalah yang terbaik dari semua opera ciptaannya. Notasi Tristan und Isolde penuh dengan struktur harmoni yang kompleks, warna orkestra yang khas dan menjadi rujukan utama dalam sejarah musik barat. Bagian paling terkenal dari opera ini yaitu pada bagian cinta mati Isolde (Isolde Liebestod) yang menceritakan bagian akhir kehidupan Isolde. Dimana, aria Mild und leise wie er lächelt dinyanyikan secara penuh penghayatan oleh para Soprano menjelang kematian Isolde. Yang paling tragis dari opera ini yaitu kematian seorang penyanyinya, yaitu Ludwig Schnorr von Carolsfeld di atas panggung pada saat membawakan peran sebagai Tristan pada 21 Juli 1865.


2. Giacomo Puccini - Madama Butterfly
Maria Callas berperan sebagai
Madama Butterfly
Madama Butterfly adalah opera tiga babak karangan Giacomo Puccini. Opera ini menceritakan kisah yang mengharukan tentang Cio-Cio-san, seorang Geisha yang telah mengorbankan segala yang ia miliki: keyakinan dan cintanya kepada B.F. Pinkerton, seorang angkatan laut Amerika. Ia mengira bahwa segala yang telah ia miliki adalah abadi. Ternyata, Pinkerton meninggalkannya sekaligus menduakan cintanya. Karena tidak sanggup menerima takdir, Madama Butterfly memilih mati dengan sebuah rasa hormat; barangsiapa yang tak dapat hidup dalam kemuliaan, maka harus mati dalam kemuliaan. Ia merasa cintanya terlalu mulia untuk sebuah pengkhianatan. Lalu Madama Butterfly mengakhiri hidupnya persis di depan anak lelaki tepat ketika Pinkerton hendak menyusulnya, tetapi ia sudah terlambat, Madama Butterfly telah mati.


1. Giacomo Puccini – Tosca
Castel Sant'Angelo, tempat berlangsungnya sebagian besar
adegan dalam Opera Tosca
Tosca adalah opera tiga babak yang mana semua dari tokoh utamanya mati, karena pembunuhan, eksekusi dan bunuh diri. Opera ini diangkat dari sandiwara panggung yang sangat terlarang pada era victoria karena nenonjolkan intrik politik dari gereja. Opera ini bercerita tentang Sang tokoh utama, Floria Tosca yang mencintai seorang pelukis gereja, Mario Cavaradossi. Tetapi pada saat yang bersamaan seorang chief of police, Baron Scarpia ingin mndapatkan Tosca dengan cara melenyapkan Cavaradossi terlebih dahulu dengan mencari kesalahannya kemudian menjatuhkan hukuman mati padanya. Mngetahui bahwa Scarpia memiliki intrik yang jahat, Tosca membunuhnya terlebih dahulu. 

Bryn Terfel sebagai Baron Scarpia
Dengan kematian Scarpia, Tosca berharap bahwa Cavaradossi  dapat diampuni dan dibebaskan, tapi ternyata hukuman mati tersebut tetap dilaksanakan sebelum matahari terbit. Mendapati sang kekasih telah ditembak mati, Tosca kemudian harus mempertanggungjawabkan perbuatannya pada Scarpia. Tetapi sebelum ia ditangkap, ia telah melompat dari atas Castel Sant'Angelo dan tewas.
Begitu banyak adegan dramatis didalam opera ini, diantaranya pembunuhan Scarpia (il bacio di Tosca), eksekusi Mario Cavaradossi dan yang terakhir adalah adegan melompatnya Tosca dari atas Castel Sant'Angelo.



***

Saturday 8 April 2017

Madame Lucia (cerpen)

Madame Lucia
Rangga Wirianto Putra



“Ceritakan kepada saya sebuah kisah paling menyayat hati dari apa yang pernah kau ketahui,” pintanya kepadaku.
“...” aku tidak bergeming.
“Berikanlah saja. Setelahnya aku akan bercerita tentang alasan terbesar aku mengunjungimu pada hari ini.”
“Saya tidak memiliki kisah apapun yang dapat saya ceritakan kepada anda, tetapi saya melihat anda tampak bahagia pada hari ini, bukan begitu?”
“Apakah kau melihatnya seperti itu?” ia kemudian tersenyum simpul.
“Tentu, Nyonya. Lalu mengapa anda ingin mendengar cerita yang paling menyayat hati dari saya?” Wanita tersebut tidak langsung menjawab pertanyaanku, ia hanya melemparkan tubuhnya kebelakang, bersandar dan matanya mulai mengawang ke langit-langit.
“Bagaimana jika wanita yang katamu tampak sedang bahagia ini tidak mampu membayar tarifmu di akhir sesi konsultasi ini?”
“Nyonya, adalah kewajiban saya untuk membantu anda, tentunya sesuai dengan kemampuan saya. Jangan pernah menghiraukan tentang bayaran yang harus anda keluarkan, Nyonya.”
Madame Lucia. Panggillah saja dengan nama itu.”
Madame Lucia, sungguh sebuah nama yang sangat indah.”
“Terimakasih, anak muda. Tetapi, biarkan aku bertanya, apakah kau telah memiliki keluarga?”
“Sudah, Madame Lucia.”
“Apakah kau telah menikah?”
“Tentu, Madame. Jika saya sudah memiliki keluarga berarti saya sudah menikah.”
“Tidak selalu, anak muda. Sebuah keluarga dibangun berdasarkan cinta, dan menikah dibangun berdasarkan aturan legalitas. Cinta tidak selalu berhubungan dengan legalitas, bukan?” Madame Lucia menekankan kata ‘bukan’ sambil menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.
Oh Tuhan, ampuni aku. Tetapi aku menyukai kalimat terakhir yang diucapkan oleh Madame Lucia. Tetapi sepersekian detik berikutnya aku kembali mengingat bahwa dia yang hadir di hadapanku hari ini tidaklah sama dengan dia yang kemarin, bahkan dia yang pada esok hari. Dia yang selalu berubah, selalu berganti dan selalu baru setiap hari. Setiap kata yang kau dengar pada hari ini, tidak akan mungkin bisa kau konfirmasi pada keesokan harinya, kecuali jika ia mengulang perannya yang sama. Baginya, satu hari lewat maka satu hari kemudian berlalu.
“Bisakah anda menceritakan tentang diri Anda, Madame Lucia?”
“Oh tentu, dear. Katakan padaku, apakah kau ingin mendengar cerita bahagia atau sebuah kisah yang berakhir pilu dariku, anak muda?”
“Apapun, Madame. Sungguh aku tak sabar.” Madame mengalihkan pandangannya dariku, sebelum kemudian ia berbalik, mulai berdiri dan berdiri mematung di pinggir jendela sambil melihat ke kejauhan sana, seolah-olah ia menceritakan sesuatu yang pada saat itu sedang ia saksikan.
“Waktu itu usiaku menginjak 5 tahun. Aku mendengar sesuatu yang dikatakan oleh beberapa orang tetangga yang sambil berbisik dengan sesama mereka mengatakan bahwa aku adalah seorang anak yang tak diharapkan oleh kedua orang tuaku. Tidak ada yang paling buruk yang dapat dirasakan oleh anak seusiaku kecuali mengetahui bahwa kehadiranmu tidak diharapkan dan keberadaanmu tidak diterima. Itulah satu-satunya alasan mengapa aku selalu menerima perlakuan kasar setiap kali aku melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai.” Lalu Madame mengalihkan pandangannya padaku, “Nak, tahukah kau apa yang paling buruk yang terjadi berikutnya?”
“Apakah sesuatu yang buruk?”
“Sangat buruk. Bahkan mungkin engkau tidak akan percaya hal seperti itu akan kualami. Aku mulai tidak percaya dengan cinta, aku menolak atau mungkin lebih tepatnya selalu berusaha untuk menghindar kepada apapun yang pada akhirnya akan membawaku pada perasaan untuk mencintai apalagi dicintai; cinta adalah hal terbodoh yang paling diagung-agungkan oleh manusia.”
“Apakah anda pernah jatuh cinta, Madame Lucia?”
“Nak, aku hanyalah seorang manusia biasa. Tentu aku pernah jatuh cinta. Tetapi cinta dengan jatuh cinta adalah perkara yang berbeda. Jatuh cinta hanyalah tentang pikiranmu, sedangkan cinta lebih rumit dari itu. Jatuh cinta ibarat sebuah pola yang akan terus berulang tergantung pola tertentu yang telah tertanam di dalam pikiranmu. Sedangkan cinta, kau tahu, melampaui segala yang ada bahkan yang pernah ada.
“Siapa laki-laki itu? Apakah ia tampan?”
“Seorang prajurit, anggota sebuah battalion. Aku mengunjunginya setiap selasa dan kamis, karena pada hari itu sang ketua battalion sedang tidak berada di tempat. Dan ketahuilah bahwa ia mencintaiku dan mengatakan rela mati untukku. Maka sangat mudah baginya untuk mencuri waktu, menemuiku untuk sekedar makan siang atau bermanja-manja di sebuah penginapan yang tidak terlalu besar, yang lokasinya cukup berdekatan dengan asrama tempat ia tinggal, yang spreinya sedikit berbau jika kau benar-benar menciumnya. Tetapi, jatuh cintaku lebih besar dari itu. Nak, kukatakan padamu bahwa mungkin saja pria memiiki pemikiran sepertimu, bahwa jika kalian menikah maka kalian dikatakan berkeluarga. Tetapi bagi wanita, tidak selalu seperti itu. Aku lahir dari sebuah keluarga, dari sesuatu yang dibangun berdasarkan cinta. Tetapi persetan dengan itu. Lihatlah diriku yang sekarang, mereka mencampakkanku dan sang prajurit pun meninggalkanku. Cintanya tak sebesar janjinya, terlebih setelah apa yang ia rampas dariku.”
“Aku mengerti dan izinkan aku untuk mengatakan bahwa anda adalah seorang wanita yang sangat tegar.”
Madame Lucia tersenyum.
Meskipun tugasku adalah untuk menjatuhkan judge terhadap klienku untuk kemudian melakukan intervensi, tetapi aku mengira bahwa kasus Madame Lucia tidak sesederhana itu, apa yang ia alami pastilah memiliki nilai klinis tersendiri. Tiga hari yang lalu, ia mengunjungiku sebagai Fahira, seorang perempuan yang kesulitan keuangan karena pekerjaannya yang hanya seorang penjual ikan dari daerah selatan. Minggu sebelumnya, ia mengunjungiku sebagai Rima, seorang gadis yang hampir bunuh diri karena ingin lompat dari lantai atas sebuah pusat perbelanjaan setelah diputus sang kekasih. Meskipun aku tahu tentang apa yang kau kira sedang aku ceritakan, jangan buru-buru untuk menjatuhkan judgement-mu pada kasusku yang satu ini. Aku telah menanganinya lebih dari 6 bulan dan hingga hari ini, judgement itu belum aku jatuhkan – meskipun – di dalam hatiku ingin rasanya judgement itu tidak harus segera kujatuhkan.
“Jadi menurut anda, Madame Lucia hadir dari sebuah penolakan dan ketidakbahagiaan?”
“Jika anda menambahkan kata kesengsaraan maka anda menjelaskannya dengan tepat, anak muda.”
 “Madame, bagian mana di dalam hidupmu yang hingga detik ini belum dapat kau terima?”
“Saat aku membunuh Bernie, seekor anjing malang yang sangat kusayangi. Anjing yang pada malam sebelumnya bersedih untukku ketika aku meneteskan airmataku di hadapannya. Lihatlah, bahkan aku membenci seekor anjing yang mengasihani dan bersedih untukku. Kuberitahu padamu anak muda, jika kau ingin memperoleh cinta yang murni dari seorang wanita, perlakukanlah mereka dari apa yang bahkan tidak pernah terpikir oleh mereka; hibur mereka sekaligus kasihani mereka. Maka kau tidak hanya akan mendapatkan cinta dari wanita itu, tetapi juga hidup mereka.”
“Apakah kau mengalami sebuah penyesalan?”
“Entahlah, aku tidak tahu menyebutnya dengan istilah seperti apa. Kata penyesalan pun sepertinya sudah tak lagi mewakili apa yang kurasa. Aku tidak tahu apa yang telah kulakukan sehingga mereka yang mengasihiku pun aku singkirkan.”
“Lalu, apa yang anda harapkan akan terjadi pada hidup anda jika anda tidak menerima bagian-bagian yang masih belum anda terima, Madame Lucia?”
“Sangat naïf jika aku mengatakan bahwa aku lebih suka untuk tidak lahir ke dunia, tetapi bukankah tidak tidak dapat mengubah waktu? Entahlah, Nak. Mungkin inilah alasan terbesarku mengunjungimu pada hari ini.”
Sambil memandang ke dalam matanya, aku pun berpikir bahwa begitu banyak pemain didalam diri kita, sebenarnya. Kehadiran mereka dapat kita sadari meski tak jarang tanpa kita sadari. Diantara mereka, ada yang dengan mudahnya dapat menyesuaikan dengan realita sedangkan yang lain memilih untuk bertahan tanpa kontak secara langsung terhadap realita dan yang lain harus terdistorsi oleh realita. Para pemain ini dapat lahir kapan saja dan darimana saja. Biasanya, mereka lahir dari situasi yang tidak menyenangkan dan cenderung tidak kita diterima. Seperti yang terjadi pada Madame Lucia; ia lahir dari sebuah penolakan, ketidakbahagiaan dan kesengsaraan.
Tetapi meskipun begitu banyak sang pemain di dalam diri kita, kita harus menemukan potensi yang mereka miliki. Pada Madame Lucia, aku melihat sebuah kebijaksanaan dan cinta di dalam dirinya. Tetapi, apalah artinya sebuah potensi tanpa adanya kontak dengan realita, bukan? Hidup mungkin saja tidak adil, tetapi bukankah hidup selalu menawarkan kesempatan kedua? Bagian itulah yang menjadi tugas terbesarku.
Kemudian aku meminta pada Madame Lucia untuk menghadap pada sebuah cermin sambil memejamkan kedua matanya. Perlahan aku membuka ikatan rambutnya sehingga menjadikan rambutnya yang sebatas punggung tergerai begitu saja. Kemudian aku mengambil makeup removal dan perlahan mengusapkan cairan tersebut di wajahnya hingga benar-benar bersih. Madame Lucia tetap berdiri mematung hingga dalam hitungan ketiga aku memintanya untuk membuka matanya.
“Apa yang anda lihat?”
“Tentu aku sedang melihat diriku.”
Aku menggeleng. “Bukan. Apa yang anda lihat?”
“Aku melihat diriku tanpa hiasan wajah.”
Aku kembali menggeleng. Aku bertanya untuk yang ketiga kalinya, “Apa yang anda lihat?”
“Aku melihat ketakutan,”
“Ketakutan apa?”
“Entahlah.”
“...tentu anda tahu.”
Madame Lucia menghela napas panjang, “ketakutan untuk tidak bahagia.”
...
Ketakutan untuk tidak bahagia.
Meski bukan untuk yang pertama kalinya, beberapa orang yang mengunjungiku pun mengatakan hal yang serupa: ketakutan mereka terhadap hari depan; ketakutan untuk tidak lagi dicintai; dan ketakutan untuk tidak bahagia. Lihatlah, betapa menyedihkannya jika diri kita dikendalikan oleh rasa takut, sedang kita tahu persis bahwa rasa takut hanya ada di dalam pikiran kita, ia tak benar-benar nyata. Ketika kita lahir ke dunia, kita tidak membawa rasa takut. Rasa takut adalah buah dari pengalaman; rasa takut adalah emosi yang dipelajari secara total.
Kemudian, aku meminta Madame Lucia untuk membuat daftar hal-hal yang paling ia cintai hingga hal-hal yang paling tidak ia cintai. Ternyata begitu banyak hal yang ia cintai, ia sukai dan hal-hal yang memiiki potensi untuk membawa energi dan emosi positif terhadap dirinya. Setelah itu, kita kembali berbicara tentang banyak hal.
Lihatlah... selama proses ini, aku melihat sesuatu dari matanya, sesuatu yang sebelumnya tidak aku temui bahkan pada sosok-sosok selain Madame Lucia, yaitu tatapan penuh cinta dan maaf. Aku mengira kata yang terakhir adalah sesuatu yang terbaik yang kutemukan hari ini.
Waktu konsultasi telah habis dan sesi pun harus berakhir. “Sebelum kita berpisah, meskipun pertemuan ini bukanlah yang terakhir, tetapi nilai apa yang ingin kau berikan padaku, Madame? Katakanlah, aku hanya seorang anak muda yang tak tahu apa-apa.”
Madame mendongakkan kepalanya, tersenyum sumir dan berkata, “...tidak pernah ada yang mudah di dalam hidup kita, anak muda. Kadang kehadiran kita tidak diharapkan dan keberadaan kita pun tak diterima. Tetapi bagaimanapun, sampaikanlah saja kepada keturunanmu kelak bahwa ia terlahir sempurna apa adanya, terima segala kondisinya dan sampaikan salam saya padanya, seseorang yang mungkin belum ia kenal. Tetapi akan selalu meletakkan nama kedua orang tuanya di dalam setiap doa-doanya.”
Lalu ia pun pergi. Madame Lucia telah pergi.
Meski esok akan kembali berganti, tetapi setiap kali selalu membawa ceritanya sendiri. Sang pemain akan terus datang dan pergi, silih berganti. Ia mungkin saja akan datang sebagai Rima, si gadis teraniaya. Sebagai Fahira, si penjual ikan yang sengsara. Dan sebagai Madame Lucia, si wanita tua nan bijaksana.
Jika cuaca sedang baik dan angin tidak bertiup terlalu kencang, ia bisa saja berubah menjadi Violeta, seorang seorang anak kecil yang rambutnya dipilin lalu diikat ke belakang. Atau ketika hujan, sang tokoh utama selalu hadir di hadapanku dengan membawa sejuta cerita penuh kesedihan dan beribu ratapan kekecewaan dibalik pakaian hitam di tubuhnya, yang lehernya yang selalu ia tutupi dengan syal warna abu-abu tua.
Meskipun kutahu perjalanan ini belum berakhir, dan entah sampai kapan akan berakhir. Sambil menutup pintu, aku mengambil telepon seluler dari sakuku kemudian menghubungi seseorang diluar sana, seseorang yang menjadi bagian dari hatiku; setengah dari hidupku. Aku memintanya untuk menjaga kesehatannya dengan meminum susu karena itu baik untuk kehamilannya lalu menutup telepon dengan sebuah kata penutup yang selalu kuulangi setiap aku menutup percakapan dengannya:
“...aku mencintaimu dan akan selalu begitu.”
Kemudian aku mengambil Buku Kasus untuk mencatat detil yang kuperoleh setiap harinya, sebuah buku yang memuat daftar berapa sosok yang telah kutemui dari seorang wanita cantik, yang umurnya baru menginjak usia 32 tahun, yang kulitnya berwarna cokelat terang dan matanya berwarna hitam legam serta rambutnya yang tergerai panjang sebatas punggung. Yang arti dari namanya adalah sekuntum bunga yang mekar di bulan Desember:
Cast no. 12. “Madame Lucia” – pertemuan pertama.


Jakarta, 7 April 2017
***

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL “ THE SWEET SINS”   KARYA RANGGA WIRIANTO PUTRA Amalia Meldani Mahasiswa Prodi Sastra Ind...