“Ceritakan kepada saya
sebuah kisah paling menyayat hati dari apa yang pernah kau ketahui,” pintanya
kepadaku.
“...” aku tidak bergeming.
“Berikanlah saja.
Setelahnya aku akan bercerita tentang alasan terbesar aku mengunjungimu pada
hari ini.”
“Saya tidak memiliki kisah
apapun yang dapat saya ceritakan kepada anda, tetapi saya melihat anda tampak
bahagia pada hari ini, bukan begitu?”
“Apakah kau melihatnya
seperti itu?” ia kemudian tersenyum simpul.
“Tentu, Nyonya. Lalu
mengapa anda ingin mendengar cerita yang paling menyayat hati dari saya?”
Wanita tersebut tidak langsung menjawab pertanyaanku, ia hanya melemparkan
tubuhnya kebelakang, bersandar dan matanya mulai mengawang ke langit-langit.
“Bagaimana jika wanita yang
katamu tampak sedang bahagia ini tidak mampu membayar tarifmu di akhir sesi
konsultasi ini?”
“Nyonya, adalah kewajiban
saya untuk membantu anda, tentunya sesuai dengan kemampuan saya. Jangan pernah
menghiraukan tentang bayaran yang harus anda keluarkan, Nyonya.”
“Madame Lucia. Panggillah saja dengan nama itu.”
“Madame Lucia, sungguh sebuah nama yang sangat indah.”
“Terimakasih, anak muda.
Tetapi, biarkan aku bertanya, apakah kau telah memiliki keluarga?”
“Sudah, Madame Lucia.”
“Apakah kau telah menikah?”
“Tentu, Madame. Jika saya sudah memiliki
keluarga berarti saya sudah menikah.”
“Tidak selalu, anak muda.
Sebuah keluarga dibangun berdasarkan cinta, dan menikah dibangun berdasarkan
aturan legalitas. Cinta tidak selalu berhubungan dengan legalitas, bukan?” Madame Lucia menekankan kata ‘bukan’
sambil menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.
Oh Tuhan, ampuni aku.
Tetapi aku menyukai kalimat terakhir yang diucapkan oleh Madame Lucia. Tetapi sepersekian detik berikutnya aku kembali
mengingat bahwa dia yang hadir di hadapanku hari ini tidaklah sama dengan dia
yang kemarin, bahkan dia yang pada esok hari. Dia yang selalu berubah, selalu
berganti dan selalu baru setiap hari. Setiap kata yang kau dengar pada hari
ini, tidak akan mungkin bisa kau konfirmasi pada keesokan harinya, kecuali jika
ia mengulang perannya yang sama. Baginya, satu hari lewat maka satu hari
kemudian berlalu.
“Bisakah anda menceritakan
tentang diri Anda, Madame Lucia?”
“Oh tentu, dear.
Katakan padaku, apakah kau ingin mendengar cerita bahagia atau sebuah kisah
yang berakhir pilu dariku, anak muda?”
“Apapun, Madame. Sungguh aku tak sabar.” Madame mengalihkan pandangannya dariku,
sebelum kemudian ia berbalik, mulai berdiri dan berdiri mematung di pinggir
jendela sambil melihat ke kejauhan sana, seolah-olah ia menceritakan sesuatu
yang pada saat itu sedang ia saksikan.
“Waktu itu usiaku menginjak
5 tahun. Aku mendengar sesuatu yang dikatakan oleh beberapa orang tetangga yang
sambil berbisik dengan sesama mereka mengatakan bahwa aku adalah seorang anak
yang tak diharapkan oleh kedua orang tuaku. Tidak ada yang paling buruk yang
dapat dirasakan oleh anak seusiaku kecuali mengetahui bahwa kehadiranmu tidak
diharapkan dan keberadaanmu tidak diterima. Itulah satu-satunya alasan mengapa
aku selalu menerima perlakuan kasar setiap kali aku melakukan sesuatu yang
tidak mereka sukai.” Lalu Madame
mengalihkan pandangannya padaku, “Nak, tahukah kau apa yang paling buruk yang
terjadi berikutnya?”
“Apakah sesuatu yang
buruk?”
“Sangat buruk. Bahkan
mungkin engkau tidak akan percaya hal seperti itu akan kualami. Aku mulai tidak
percaya dengan cinta, aku menolak atau mungkin lebih tepatnya selalu berusaha
untuk menghindar kepada apapun yang pada akhirnya akan membawaku pada perasaan
untuk mencintai apalagi dicintai; cinta adalah hal terbodoh yang paling
diagung-agungkan oleh manusia.”
“Apakah anda pernah jatuh
cinta, Madame Lucia?”
“Nak, aku hanyalah seorang
manusia biasa. Tentu aku pernah jatuh cinta. Tetapi cinta dengan jatuh cinta
adalah perkara yang berbeda. Jatuh cinta hanyalah tentang pikiranmu, sedangkan
cinta lebih rumit dari itu. Jatuh cinta ibarat sebuah pola yang akan terus
berulang tergantung pola tertentu yang telah tertanam di dalam pikiranmu.
Sedangkan cinta, kau tahu, melampaui segala yang ada bahkan
yang pernah ada.”
“Siapa laki-laki itu?
Apakah ia tampan?”
“Seorang prajurit, anggota
sebuah battalion. Aku mengunjunginya setiap selasa dan kamis, karena pada hari
itu sang ketua battalion sedang tidak berada di tempat. Dan ketahuilah bahwa ia
mencintaiku dan mengatakan rela mati untukku. Maka sangat mudah baginya untuk
mencuri waktu, menemuiku untuk sekedar makan siang atau bermanja-manja di
sebuah penginapan yang tidak terlalu besar, yang lokasinya cukup berdekatan
dengan asrama tempat ia tinggal, yang spreinya sedikit berbau jika kau
benar-benar menciumnya. Tetapi, jatuh cintaku lebih besar dari itu. Nak,
kukatakan padamu bahwa mungkin saja pria memiiki pemikiran sepertimu, bahwa
jika kalian menikah maka kalian dikatakan berkeluarga. Tetapi bagi wanita,
tidak selalu seperti itu. Aku lahir dari sebuah keluarga, dari sesuatu yang dibangun
berdasarkan cinta. Tetapi persetan dengan itu. Lihatlah diriku yang sekarang,
mereka mencampakkanku dan sang prajurit pun meninggalkanku. Cintanya tak
sebesar janjinya, terlebih setelah apa yang ia rampas dariku.”
“Aku mengerti dan izinkan
aku untuk mengatakan bahwa anda adalah seorang wanita yang sangat tegar.”
Madame Lucia
tersenyum.
Meskipun tugasku adalah
untuk menjatuhkan judge terhadap klienku untuk kemudian
melakukan intervensi, tetapi aku mengira bahwa kasus Madame Lucia tidak sesederhana itu, apa yang ia alami pastilah
memiliki nilai klinis tersendiri. Tiga hari yang lalu, ia mengunjungiku sebagai
Fahira, seorang perempuan yang kesulitan keuangan karena pekerjaannya yang
hanya seorang penjual ikan dari daerah selatan. Minggu sebelumnya, ia
mengunjungiku sebagai Rima, seorang gadis yang hampir bunuh diri karena ingin
lompat dari lantai atas sebuah pusat perbelanjaan setelah diputus sang kekasih.
Meskipun aku tahu tentang apa yang kau kira sedang aku ceritakan, jangan
buru-buru untuk menjatuhkan judgement-mu pada kasusku yang satu
ini. Aku telah menanganinya lebih dari 6 bulan dan hingga hari ini, judgement itu
belum aku jatuhkan – meskipun – di dalam hatiku ingin rasanya judgement itu
tidak harus segera kujatuhkan.
“Jadi menurut anda, Madame Lucia hadir dari sebuah penolakan
dan ketidakbahagiaan?”
“Jika anda menambahkan kata
kesengsaraan maka anda menjelaskannya dengan tepat, anak muda.”
“Madame, bagian mana di dalam hidupmu yang hingga detik ini belum
dapat kau terima?”
“Saat aku membunuh Bernie,
seekor anjing malang yang sangat kusayangi. Anjing yang pada malam sebelumnya
bersedih untukku ketika aku meneteskan airmataku di hadapannya. Lihatlah,
bahkan aku membenci seekor anjing yang mengasihani dan bersedih untukku.
Kuberitahu padamu anak muda, jika kau ingin memperoleh cinta yang murni dari
seorang wanita, perlakukanlah mereka dari apa yang bahkan tidak pernah terpikir
oleh mereka; hibur mereka sekaligus kasihani mereka. Maka kau tidak hanya akan
mendapatkan cinta dari wanita itu, tetapi juga hidup mereka.”
“Apakah kau mengalami
sebuah penyesalan?”
“Entahlah, aku tidak tahu
menyebutnya dengan istilah seperti apa. Kata penyesalan pun sepertinya sudah
tak lagi mewakili apa yang kurasa. Aku tidak tahu apa yang telah kulakukan
sehingga mereka yang mengasihiku pun aku singkirkan.”
“Lalu, apa yang anda
harapkan akan terjadi pada hidup anda jika anda tidak menerima bagian-bagian
yang masih belum anda terima, Madame
Lucia?”
“Sangat naïf jika
aku mengatakan bahwa aku lebih suka untuk tidak lahir ke dunia, tetapi bukankah
tidak tidak dapat mengubah waktu? Entahlah, Nak. Mungkin inilah alasan
terbesarku mengunjungimu pada hari ini.”
Sambil memandang ke dalam
matanya, aku pun berpikir bahwa begitu banyak pemain didalam diri kita,
sebenarnya. Kehadiran mereka dapat kita sadari meski tak jarang tanpa kita
sadari. Diantara mereka, ada yang dengan mudahnya dapat menyesuaikan dengan
realita sedangkan yang lain memilih untuk bertahan tanpa kontak secara langsung
terhadap realita dan yang lain harus terdistorsi oleh realita. Para pemain ini
dapat lahir kapan saja dan darimana saja. Biasanya, mereka lahir dari situasi
yang tidak menyenangkan dan cenderung tidak kita diterima. Seperti yang terjadi
pada Madame Lucia; ia lahir dari
sebuah penolakan, ketidakbahagiaan dan kesengsaraan.
Tetapi meskipun begitu
banyak sang pemain di dalam diri kita, kita harus menemukan potensi yang mereka
miliki. Pada Madame Lucia, aku
melihat sebuah kebijaksanaan dan cinta di dalam dirinya. Tetapi, apalah artinya
sebuah potensi tanpa adanya kontak dengan realita, bukan? Hidup mungkin saja
tidak adil, tetapi bukankah hidup selalu menawarkan kesempatan kedua? Bagian
itulah yang menjadi tugas terbesarku.
Kemudian aku meminta pada Madame Lucia untuk menghadap pada sebuah
cermin sambil memejamkan kedua matanya. Perlahan aku membuka ikatan rambutnya
sehingga menjadikan rambutnya yang sebatas punggung tergerai begitu saja.
Kemudian aku mengambil makeup removal dan perlahan mengusapkan
cairan tersebut di wajahnya hingga benar-benar bersih. Madame Lucia tetap berdiri mematung hingga dalam hitungan ketiga
aku memintanya untuk membuka matanya.
“Apa yang anda lihat?”
“Tentu aku sedang melihat
diriku.”
Aku menggeleng. “Bukan. Apa
yang anda lihat?”
“Aku melihat diriku tanpa
hiasan wajah.”
Aku kembali menggeleng. Aku
bertanya untuk yang ketiga kalinya, “Apa yang anda lihat?”
“Aku melihat ketakutan,”
“Ketakutan apa?”
“Entahlah.”
“...tentu anda tahu.”
Madame Lucia
menghela napas panjang, “ketakutan untuk tidak bahagia.”
“...”
Ketakutan untuk tidak
bahagia.
Meski bukan untuk yang pertama kalinya, beberapa orang yang mengunjungiku pun
mengatakan hal yang serupa: ketakutan mereka terhadap hari depan; ketakutan
untuk tidak lagi dicintai; dan ketakutan untuk tidak bahagia. Lihatlah, betapa menyedihkannya jika diri kita dikendalikan oleh rasa takut, sedang kita tahu persis bahwa rasa
takut hanya ada di dalam pikiran kita, ia tak benar-benar nyata. Ketika kita lahir ke dunia, kita tidak
membawa rasa takut. Rasa takut adalah buah dari pengalaman; rasa takut adalah emosi yang dipelajari secara total.
Kemudian, aku meminta Madame Lucia untuk membuat daftar
hal-hal yang paling ia cintai hingga hal-hal yang paling tidak ia cintai.
Ternyata begitu banyak hal yang ia cintai, ia sukai dan hal-hal yang memiiki
potensi untuk membawa energi dan emosi positif terhadap dirinya. Setelah itu,
kita kembali berbicara tentang banyak hal.
Lihatlah... selama proses
ini, aku melihat sesuatu dari matanya, sesuatu yang sebelumnya tidak aku temui
bahkan pada sosok-sosok selain Madame
Lucia, yaitu tatapan penuh cinta dan maaf. Aku mengira kata yang terakhir
adalah sesuatu yang terbaik yang kutemukan hari ini.
Waktu konsultasi telah
habis dan sesi pun harus berakhir. “Sebelum kita berpisah, meskipun pertemuan
ini bukanlah yang terakhir, tetapi nilai apa yang ingin kau berikan padaku, Madame? Katakanlah, aku hanya seorang
anak muda yang tak tahu apa-apa.”
Madame
mendongakkan kepalanya, tersenyum sumir dan berkata, “...tidak pernah ada yang
mudah di dalam hidup kita, anak muda. Kadang kehadiran kita tidak
diharapkan dan keberadaan kita pun tak diterima. Tetapi bagaimanapun,
sampaikanlah saja kepada keturunanmu kelak bahwa ia terlahir sempurna apa
adanya, terima segala kondisinya dan sampaikan salam saya padanya, seseorang yang mungkin belum ia
kenal. Tetapi akan selalu meletakkan nama kedua orang tuanya di dalam setiap
doa-doanya.”
Lalu ia pun pergi. Madame Lucia telah pergi.
Meski esok akan kembali
berganti, tetapi setiap kali selalu membawa ceritanya sendiri. Sang pemain akan
terus datang dan pergi, silih berganti. Ia mungkin saja akan datang sebagai
Rima, si gadis teraniaya. Sebagai Fahira, si penjual ikan yang sengsara. Dan
sebagai Madame Lucia, si wanita tua
nan bijaksana.
Jika cuaca sedang baik dan angin tidak bertiup terlalu kencang,
ia bisa saja berubah menjadi Violeta, seorang seorang anak kecil yang rambutnya
dipilin lalu diikat ke belakang. Atau ketika hujan, sang tokoh utama selalu
hadir di hadapanku dengan membawa sejuta cerita penuh kesedihan dan beribu
ratapan kekecewaan dibalik pakaian hitam di tubuhnya, yang lehernya yang selalu
ia tutupi dengan syal warna abu-abu tua.
Meskipun kutahu perjalanan
ini belum berakhir, dan entah sampai kapan akan berakhir. Sambil menutup pintu,
aku mengambil telepon seluler dari sakuku kemudian menghubungi seseorang diluar
sana, seseorang yang menjadi bagian dari hatiku; setengah dari hidupku. Aku memintanya
untuk menjaga kesehatannya dengan meminum susu karena itu baik untuk
kehamilannya lalu menutup telepon dengan sebuah kata penutup yang selalu
kuulangi setiap aku menutup percakapan dengannya:
“...aku mencintaimu dan akan
selalu begitu.”
Kemudian aku mengambil Buku
Kasus untuk mencatat detil yang kuperoleh setiap harinya, sebuah buku yang memuat daftar berapa sosok yang telah kutemui dari seorang wanita cantik, yang umurnya baru
menginjak usia 32 tahun, yang kulitnya berwarna cokelat terang dan matanya
berwarna hitam legam serta rambutnya yang tergerai panjang sebatas punggung.
Yang arti dari namanya adalah sekuntum bunga yang mekar di bulan Desember:
Cast
no. 12. “Madame Lucia” – pertemuan pertama.
Jakarta, 7 April 2017
***