Friday 27 October 2017

Mendalami Arti Sumpah Pemuda pada Era Modern


Oleh: Rangga Wirianto Putra


Andante Maestoso[1]. = 80
Setiap tanggal 28 Oktober kita, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda. Dimana, pada hari itu kita kembali memproklamirkan bahwa pemuda adalah bagian penting dari sejarah bangsa ini. Tetapi, hanya akan menjadi sebuah ritual tahunan jika kita mengucapkan Selamat Hari Sumpah Pemuda lalu tidak memahami apa itu Sumpah Pemuda dan apa makna dibalik Lahirnya Sumpah Pemuda; ia akan menjadi sebuah seremonial kosong dan hampa karena pemuda yang merupakan pengguncang dunia dan agen perubahan itu seakan kehilangan jati dirinya.
Pada hari yang sakral ini, ada baiknya kita kembali mendalami apa makna yang terkandung di dalam bait-bait Sumpah Pemuda tersebut, yang bagi saya cukup romantik dalam hubungan kita, generasi millennials – sebagai pengguncang dunia dan sebagai agen perubahan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Bait pertama ini mempertegas bahwa Indonesia telah ada dalam cita-cita luhur para pemuda sejak 28 Oktober 1928. Meskipun – katakanlah Negara Indonesia saat itu belum merdeka – tetapi ‘jiwa’ sebagai ‘Bangsa Indonesia’ itu telah ada/essence. Dimana, jika para pemuda pada masa itu tidak memprolkamirkan ‘Sang Jiwa’, maka mustahil kemerdekaan akan dapat diperjuangkan. Karena, tanpa esensi ‘Jiwa Bangsa Indonesia,’ maka kemerdekaan hanya akan menjadi sesuatu yang hampa; ia telah kehilangan substansi dan identitas sebelum direbut dan diperjuangkan.
Bait ini kembali mengingatkan kepada kita bahwa Kemerdekaan itu diperebutkan, bukan diberikan begitu saja. Maka, sepatutunya kita berbangga kepada leluhur kita, kepada para pahlawan dan kepada pendiri Negara Indonesia bahwa, sejatinya kita semua adalah lahir dari rahim para petarung. Jangan anda khianati jiwa sang petuarung itu dengan melacurkan diri anda, berikut pikiran-pikiran sempit anda pada apa yang tidak pernah diajarkan oleh para pendahulu kita. Karena, sang pejuang sejati tahu benar tidak hanya bagaimana cara merebut tetapi juga mempertahankan. Kita, para pemuda yang hidup di era modern yang belum selesai ini (postmodern adalah era modern yang belum selesai[2]) memiliki tugas yang tak mudah: mewarisi perjuangannya.

Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Untuk bait kedua ini, izinkan saya bertanya: ‘apakah pada saat itu pemuda membatasi dirinya dalam sekat-sekat perbedaan?’ Dengan mengatakan bahwa Berbangsa yang Satu, maka demikian kita telah lama menendang jauh-jauh sekat-sekat perbedaan itu sendiri. Dengan diperkokohnya ikatan bangsa Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika, ia menjadi seperti satu buket bunga warna-warni yang kelak akan kau persembahkan kepada sang kekasih tercinta; romantisme Bangsa Indonesia justru karena didalamnya terdapat kesatuan dari aneka rupa keindahan (maafkan saya, jika pada saat ini yang terlintas di dalam pikiran saya adalah saat Mario Cavaradossi membuka arianya, recondita armonia di bellezze diverse[3] dalam Opera Tosca[4])
Maka, tidak berlebihan jika hari ini, di zaman modern ini - dimana sekat-sekat pembatas antara manusia satu dengan yang lainnya telah semakin hilang - kita mempertanyakan lagi, apakah akan kita bangun kembali sekat-sekat pembatas yang telah kita buang jauh-jauh puluhan tahun lalu itu?

Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Tidak ada Negara di belahan dunia ini yang paling beragam sekaligus paling banyak jumlah bahasanya – mekipun anda menggabungkan seluruh bahasa yang ada di Benua Eropa – kecuali Indonesia. Katakanlah, itu adalah kekayaan bangsa Indonesia, maka entitas itu layak kita pertahankan dan tunjukkan kepada dunia bahwa kita para pemuda yang hidup di hari ini meskipun berasal dari berbagai daerah, hidup di zaman modern, berbagai tingkat pendidikan, berbagai agama dan keyakinan, tetapi kebanggaan / pride kita terhadap Bahasa Persatuan tetap sama, Bahasa Indonesia.
Maka, Bahasa Indonesia kemudian dipahami sebagai roh dari jati diri orang Indonesia. Dimanapun ia berada, apapun jabatan dan posisinya, apakah di dalam Negeri atau di luar Negeri. Jika anda tidak memiliki kebanggaan akan jati diri anda, tidak mungkin anda akan menjadi seseorang yang patut dibanggakan oleh dunia. Ya, tahun 1928 para pemuda pendahulu kita telah berbicara tentang ini.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan tidak merasa sebagai pribadi yang serba benar. Marilah kita menjadi pemuda pengguncang dunia dan agen perubahan dengan tetap mempertahankan jati diri kita sebagai bangsa yang majemuk nan kaya dengan mewarisi nilai-nilai luhur para pejuang dengan mengutamakan kebijaksanaan diri daripada egosentrisme; memperbaiki diri daripada menunjuk hidung orang lain apalagi menyalahkan keadaan. Karena kita, para generasi millennials adalah generasi yang telah ditempa dari sebuah proses psikologis yang panjang, yaitu sebuah pelajaran yang mahal untuk menuju sebuah bangsa yang bijaksana dengan berkeadilan di Negeri yang kita namakan Nusantara ini.
Sekian.
Rangga Wirianto Putra
28 Oktober 2017



[1] Italia: Perlahan dengan penuh keagungan
[2] Oleh: Jürgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman.
[3] Italia: Harmoni dari aneka rupa keindahan.
[4] Opera Tosca merupakan Giacomo Puccini.

No comments:

Post a Comment

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL “ THE SWEET SINS”   KARYA RANGGA WIRIANTO PUTRA Amalia Meldani Mahasiswa Prodi Sastra Ind...