Oleh:
Rangga Wirianto Putra
Setiap
tanggal 28 Oktober kita, bangsa Indonesia memperingati Hari Sumpah Pemuda.
Dimana, pada hari itu kita kembali memproklamirkan bahwa pemuda adalah bagian
penting dari sejarah bangsa ini. Tetapi, hanya akan menjadi sebuah ritual
tahunan jika kita mengucapkan Selamat Hari Sumpah Pemuda lalu tidak memahami
apa itu Sumpah Pemuda dan apa makna dibalik Lahirnya Sumpah Pemuda; ia akan
menjadi sebuah seremonial kosong dan hampa karena pemuda yang merupakan
pengguncang dunia dan agen perubahan itu seakan kehilangan jati dirinya.
Pada
hari yang sakral ini, ada baiknya kita kembali mendalami apa makna yang
terkandung di dalam bait-bait Sumpah Pemuda tersebut, yang bagi saya cukup romantik
dalam hubungan kita, generasi millennials – sebagai pengguncang dunia dan
sebagai agen perubahan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe
bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Bait
pertama ini mempertegas bahwa Indonesia telah ada dalam cita-cita luhur para
pemuda sejak 28 Oktober 1928. Meskipun – katakanlah Negara Indonesia saat itu
belum merdeka – tetapi ‘jiwa’ sebagai ‘Bangsa Indonesia’ itu telah ada/essence. Dimana, jika para pemuda pada
masa itu tidak memprolkamirkan ‘Sang Jiwa’, maka mustahil kemerdekaan akan
dapat diperjuangkan. Karena, tanpa esensi ‘Jiwa Bangsa Indonesia,’ maka kemerdekaan
hanya akan menjadi sesuatu yang hampa; ia telah kehilangan substansi dan
identitas sebelum direbut dan diperjuangkan.
Bait
ini kembali mengingatkan kepada kita bahwa Kemerdekaan itu diperebutkan, bukan
diberikan begitu saja. Maka, sepatutunya kita berbangga kepada leluhur kita,
kepada para pahlawan dan kepada pendiri Negara Indonesia bahwa, sejatinya kita
semua adalah lahir dari rahim para petarung. Jangan anda khianati jiwa sang
petuarung itu dengan melacurkan diri anda, berikut pikiran-pikiran sempit anda
pada apa yang tidak pernah diajarkan oleh para pendahulu kita. Karena, sang
pejuang sejati tahu benar tidak hanya bagaimana cara merebut tetapi juga
mempertahankan. Kita, para pemuda yang hidup di era modern yang belum selesai
ini (postmodern adalah era modern
yang belum selesai[2])
memiliki tugas yang tak mudah: mewarisi perjuangannya.
Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe
berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Untuk bait kedua
ini, izinkan saya bertanya: ‘apakah pada
saat itu pemuda membatasi dirinya dalam sekat-sekat perbedaan?’ Dengan
mengatakan bahwa Berbangsa yang Satu, maka demikian kita telah lama menendang jauh-jauh
sekat-sekat perbedaan itu sendiri. Dengan diperkokohnya ikatan bangsa Indonesia
dengan Bhinneka Tunggal Ika, ia menjadi
seperti satu buket bunga warna-warni yang kelak akan kau persembahkan kepada
sang kekasih tercinta; romantisme Bangsa Indonesia justru karena didalamnya
terdapat kesatuan dari aneka rupa keindahan (maafkan saya, jika pada saat ini
yang terlintas di dalam pikiran saya adalah saat Mario Cavaradossi membuka arianya,
recondita armonia di bellezze diverse[3] dalam Opera Tosca[4])
Maka, tidak
berlebihan jika hari ini, di zaman modern ini - dimana sekat-sekat pembatas
antara manusia satu dengan yang lainnya telah semakin hilang - kita
mempertanyakan lagi, apakah akan kita bangun kembali sekat-sekat pembatas yang
telah kita buang jauh-jauh puluhan tahun lalu itu?
Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng
bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Tidak
ada Negara di belahan dunia ini yang paling beragam sekaligus paling banyak
jumlah bahasanya – mekipun anda menggabungkan seluruh bahasa yang ada di Benua
Eropa – kecuali Indonesia. Katakanlah, itu adalah kekayaan bangsa Indonesia,
maka entitas itu layak kita pertahankan dan tunjukkan kepada dunia bahwa kita
para pemuda yang hidup di hari ini meskipun berasal dari berbagai daerah, hidup
di zaman modern, berbagai tingkat pendidikan, berbagai agama dan keyakinan, tetapi
kebanggaan / pride kita terhadap
Bahasa Persatuan tetap sama, Bahasa Indonesia.
Maka,
Bahasa Indonesia kemudian dipahami sebagai roh dari jati diri orang Indonesia.
Dimanapun ia berada, apapun jabatan dan posisinya, apakah di dalam Negeri atau
di luar Negeri. Jika anda tidak memiliki kebanggaan akan jati diri anda, tidak
mungkin anda akan menjadi seseorang yang patut dibanggakan oleh dunia. Ya,
tahun 1928 para pemuda pendahulu kita telah berbicara tentang ini.
Tanpa
mengurangi rasa hormat dan tidak merasa sebagai pribadi yang serba benar. Marilah
kita menjadi pemuda pengguncang dunia dan agen perubahan dengan tetap
mempertahankan jati diri kita sebagai bangsa yang majemuk nan kaya dengan
mewarisi nilai-nilai luhur para pejuang dengan mengutamakan kebijaksanaan diri
daripada egosentrisme; memperbaiki diri daripada menunjuk hidung orang lain
apalagi menyalahkan keadaan. Karena kita, para generasi millennials adalah
generasi yang telah ditempa dari sebuah proses psikologis yang panjang, yaitu
sebuah pelajaran yang mahal untuk menuju sebuah bangsa yang bijaksana dengan
berkeadilan di Negeri yang kita namakan Nusantara ini.
Sekian.
Rangga Wirianto Putra
28 Oktober 2017
No comments:
Post a Comment