Friday 30 March 2018

Secarik Cerita dan Serintik Hujan

Andante Maestoso. ♪= 80

Saya ingin berbagi cerita tentang beberapa hari lalu, ketika saya menggunakan taksi online dari Depok ke Jakarta yang kebetulan malam itu sedang hujan. Seperti biasa, hujan membuat lalu lintas padat sehingga saya berkesempatan untuk mengobrol, bertukar pandangan dengan sang pengemudi. Salah satu kebiasaan saya adalah berbagi cerita serta bertukar pikiran serta pandangan dengan siapa saja yang bersedia berbicara dengan saya. Ketika itu, mobil yang saya tumpangi, keluar dari Margocity dan melewati jembatan yang dibawahnya terdapat proyek jalan toll yang belum selesai pembangunannya. Saya hanya menjeplak saja tanpa keinginan untuk membuat sesuatu menjadi lebih serius

Saya bertanya, "ini jalan toll kapan selesainya, ya? Kalau udah selesai bisa lebih cepat nyampe Selatan (wilayah Jakarta Selatan)"

Sopir menjawab sambil sedikit tertawa, "ya, gimana mau selesai, mas. Banyak pekerjaan yang tidak sesuai prosedur. Ada juga biaya yang disunat-sunat, jadinya ya lama."

"Oh, gitu. Bukankah kabarnya, ini proyeknya BUMN, ya?"

"Iya, swasta ama BUMN barengan, gitu."

"Padahal, kan tinggal nyambungin sedikit aja. Soalnya yang saya lihat yang di Cilandak itu progressnya udah lumayan sepertinya tinggal dikit lagi."

"Iya, Mas. Harusnya ini sudah tersambung karena kurang biaya juga sepertinya. Lagian, sebenarnya negara kita belum siap untuk membangun seperti ini, tetapi ya gimana? Presidennya yang keburu nafsu. Yang bisa, dipaksain agar bisa."

"Negara kita sudah ketinggalan, Mas dari negara tetangga..." saya belum selesai melanjutkan, sudah keburu disela.

"Memang kita sudah ketinggalan. Ya, kita Indonesia, sudah seperti Indonesia saja. Nggak perlu ngikutin orang luar jika kita belum mampu. Kita Indonesia, bukan Singapore atau China (Tiongkok). Kita belum mampu menyaingi mereka. Karena nafsu dan iri itu tadi, Mas. Ibaratnya ni, ya kita punya tetangga punya rumah tiga lantai. Tetapi, kita keburu nafsu dan iri sehingga ingin juga ngebangun rumah tiga lantai padahal duit nggak ada. Lantas, nghutang. Ya, puyeng kita mas."

Saya dalam hati, 'apa mungkin saya sedang berbicara dengan kaum bumi datar yang sesungguhnya? But, its ok. Sebagai seorang yang berpikiran terbuka, saya harus mampu menempatkan diri dalam berbagai situasi. Karena, saya bukanlah orang yang paling benar. Maka, mencari kebenaran-kebenaran yang majemuk itu adalah diperlukan.'

"Sekarang, kita negara yang banyak hutang. Subsidi dicabut, pajak naik dan segala macam. Sekarang ni, ya Mas udah sulit nyari BBM Premium. Kalaupun subsidi dicabut, okelah tetapi tolonglah barangnya juga dijual bebas. Kan, tidak semuanya orang gunain pertalite dan pertamax."

"Ohya? BBM Premium sudah jarang di pom bensin, Mas?"

"Iya, puyeng kita juga."

Sambil melihat rintik hujan dibalik kaca, saya mengamati mobil Jaguar disamping. Saat itu, kendaraan padat di depan Universitas Pancasila yang mengarah ke LA. Dalam hati saya berujar, ‘betapa pun kendaraan yang kita gunakan, kita tetap melewati jalan yang sama.’

"Hmmm... ohya, Masnya fulltime di Taksi Online atau hanya sebagai kerjaan sampingan?" tanya saya sebagai strategi counter cognitive.

"Saya bisa dibilang fulltime. Tapi jam narik nggak tentu, ya bisa lah mas nemenin anak ngerjain PR. Alhamdulillah."

"Alhamdulillah. Tapi mobil ini kredit atau sudah milik pribadi?"

"Awalnya kredit, Mas. Tapi sekarang alhamdulillah sudah lunas"

"Emang, Mas ngambil cicilan berapa tahun?"

"Dua tahun doang, Mas. Saya mah takut ngutang kelamaan, Mas. Takut mati duluan dan hutang nggak kebayar."

"Iya, alhamdulillah sudah lunas, ya Mas."

Setelah melewati macet LA, mobil melaju terus menembus rintik hujan ke arah Kebagusan. Suasana hening kemudian, cukup lama. Sebelum masuk ke TB. Simatupang, sang sopir kembali berkata,

"Tapi, saya apresiasi sih usaha Presiden Jokowi yang bisa membangun infrastruktur secepat ini. Asal jangan kita saja, rakyat nih, yang disuruh bayar hutang."

Saya hanya tertawa kecil. Sambil turun dari mobil saya kembali berujar dalam hati, ‘tidak ada perang yang benar-benar nyata; perang yang sejati hanya ada didalam pikiran kita.’

Banyak orang yang sepertinya tidak setuju, mendebat kita, menghujat bahkan kadang membenci. Tetapi percayalah, kebanyakan dari mereka hanya perlu didengarkan. Dengan tidak menjatuhkan penilaian yang terlalu cepat, karena bukan tugas atau kewenangan kita untuk mendebat pikiran orang lain. Saya bisa saja meng-counter apa yang dikatakan oleh Sopir Taksi Online tersebut, tetapi buat apa? Ia tak memerlukannya. Dan  bagi saya, berdemokrasi adalah termasuk demokrasi dalam berpikir dan menyampaikan pendapat.

Sekarang saya beritahu kepada para pembaca bahwa, kita tidak dapat mengatur kita akan bertemu dengan seseorang seperti apa di dalam hidup kita. Dan ketika kita bertemu dengan seseorang, kita pun tidak dapat mengubah pikiran orang seperti yang kita inginkan. Hanya saja, sajikanlah fakta dan kebenaran kepada mereka, maka pikiran akan memperbaharui dirinya sendiri. Karena, pikiran adalah sebuah gerak liar yang – bahkan – kita pun tak memiliki kuasa untuk mengendalikannya. Pikiran itu seperti sebuah jalan yang terbentang luas, nyaris tanpa batas. Fakta dan kebenaran-lah yang kemudian membatasinya.

Dengan hanya mengatakan bahwa, kuasa kita hanya pada pengendalian diri kita sendiri. Maka dengan demikian, kita akan melihat dunia yang lebih terang, lebih berwarna dan lebih indah; seperti rintik air di kaca yang terkena sinar lampu berwarna-warni. Kau bisa saja menghapusnya atau membiarkannya saja. Tetap seperti itu.

Rangga Wirianto Putra

30 Maret 2018



No comments:

Post a Comment

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL “ THE SWEET SINS”   KARYA RANGGA WIRIANTO PUTRA Amalia Meldani Mahasiswa Prodi Sastra Ind...