Dear
friend,
Belum terlambat rasanya
saya mengucapkan Selamat Tahun Baru 2013 kepada teman” semua. Prosit Neujahrs fur alle meine Freunde J
Pertama dan utama sekali
saya ingin mengucapkan terimakasih berkat bantuan tak terduga dari seseorang,
Blog ini dapat kembali aktif, setelah sebelumnya ‘mogok’ tidak bisa dibuka. Hari
ini, 04 Januari 2013. Lagi, setiap bangun tidur, selalu ada messages di email, facebook atau di BBM yang berkomentar tentang
“The Sweet Sins” dari pembaca. Saya sangat menghargai apa pun yang pembaca
tulis tentang The Sweet Sins. Ada yang menuliskan tentang manfaat dari buku
ini, atau ada juga yang menuliskan tentang terimakasihnya kepada saya karena
telah menuliskan The Sweet Sins. Dengan ini saya mengucapkan banyak terimakasih
kepada teman-teman pembaca The Sweet Sins.
Tetapi, ada satu bagian
yang cukup menarik perhatian saya, ada beberapa dari pembaca mengatakan bahwa
tidak jarang mereka menangis ketika atau setelah membaca The Sweet Sins, itu
terlihat dari kata-kata seperti, ‘sudah
membuat air mata saya tumpah saat bagian klimaksnya’, ‘air mata gue langsung netes ketika Ardo menerima perjodohan itu padahal
Reino sudah berjuang untuknya’, ‘di
halaman 200-an aku nangis, aku ampe bisa ngerasain perihnya Reino… be strong!’.
Itulah sebagian komentar yang diberikan oleh teman-teman pembaca kepada saya.
Sebagai seorang penulis,
saya merasa mempunyai beban moral tersendiri untuk mempertanggungjawabkan
sebuah karya atau hasil tulisan saya kepada teman-teman pembaca. Dengan ini,
saya ingin meminta maaf jika The Sweet Sins telah membuat teman-teman pembaca
ikut merasakan apa yang saya tuliskan. Besar harapan saya, teman-teman pembaca
dapat memetik pelajaran atau manfaat dari buku ini, sekecil apapun manfaatnya.
Karena cuma dengan begitulah nama seorang penulis bisa ditorehkan dalam hati
setiap pembaca.
Tanggal 9 November, dua yang
lalu, The Sweet Sins dibedah di pameran buku yang diselenggarakan oleh IKAPI,
Ikatan Penerbit Indonesia. Sebagai pembedan, Mbak Herlinatiens mengatakan bahwa
setiap buku, atau setiap karya sastra itu mempunyai dunianya sendiri. Agaknya
ini lah yang dirasakan oleh teman-teman pembaca The Sweet Sins, pembaca
memasuki dunia Reino dan Ardo sehingga teman-teman pembaca ikut merasakan
konflik apa yang saya tuliskan di buku ini. Di dalam benak pembaca, tampaknya
itu mewujud nyata, disamping gaya bahasa yang saya gunakan adalah gaya bahasa
bertutur dan point of view atau sudut
pandang yang saya gunakan adalah sudut pandang orang pertama. Artinya, pembaca
sengaja saya libatkan untuk menempatkan diri mereka sendiri sebagai tokoh utama,
sebagai Reino. Dan, tugas penulis adalah membuat setiap scene atau adegan itu se-real mungkin, di-setting senyata mungkin sehingga membawa pembaca benar-benar
memasuki dunia yang kita sajikan buat mereka. Saya sangat setuju dengan
pendapat seorang penulis ternama, Andrei Aksana, dalam sebuah bukunya, beliau
mengatakan bahwa penulis itu adalah tuhan dengan ‘t’ kecil. Yang artinya,
penulis memang mempunyai hak prerogatif untuk mengatur semua yang ada di dalam
naskahnya. Masalahnya apakah naskah itu benar-benar hidup ataukah hanya naskah
yang numpang singgah lalu pergi dari benak pembaca? Itu semua ada di tangan
teman-teman pembaca.
Pada hari yang sama,
ketika The Sweet Sins dibedah, salah seorang pengunjung bertanya kepada saya, ‘dalam hubungan homoseksual, apakah cinta itu
fitrah baginya?’. Lalu, saya menjawab, cinta dan fitrah saya rasa itu
adalah dua hal yang berbeda. Saya lebih cenderung menerima pernyataan bahwa
fitrah manusia adalah mencintai itu benar. Tetapi, bagaimana cinta itu, kepada
siapa cinta itu kita berikan dan bagaimana bentuk dari rasa cinta, itu yang
harus ditinjau lagi. Jangan terburu-buru mengatakan bahwa cinta pada kaum
homoseksual itu adalah salah atau benar. Karena salah atau benar saja masih
tidak ada ukurannya. Jadi, saya lebih cenderung mengatakan bahwa setiap manusia
mempunyai cinta tetapi dengan cara mereka sendiri mewujudkan cintanya.
Persoalan salah atau benar, heteroseksual atau homoseksual, itu tidak bisa
dijadikan premis untuk mengambil sebuah kesimpulan.
Lalu pertanyaan selanjutnya
yang bagi saya cukup sulit untuk menjawabnya adalah, ‘bagaimana kontribusi buku ini terhadap komunitas LGBT dan apakah karya
sastra tentang LGBT ini salah satu upaya untuk legalisasi Undang-undang
Pernikahan Sesama Jenis?’ Dengan berusaha menarik napas saya menjawab, tidak
ada hubungannya sebuah karya sastra (termasuk karya sastra yang bercerita
tentang LGBT) dengan legalisasi suatu undang-undang tertentu. Aneh rasanya
ketika saya membayangkan bahwa saya menuliskan The Sweet Sins adalah bertujuan
untuk legalisasi pernikahan sesama jenis. The sweet sins mempunyai dunianya
sendiri, kisah cerita selama satu tahun antara Reino dan Ardo yang pada
akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah, sama sekali tidak menyinggung
apalagi mengajak orang untuk menjadi homoseksual bahkan melegalkan pernikahan
sesama jenis. Tanpa menghilangkan rasa hormat saya kepada yang bertanya, saya
kuat menduga bahwa yang bertanya belumlah membaca karya saya.
Terdapat perbedaan antara
karya sastra murni dengan karya-karya yang cenderung provokatif, artinya karya
tersebut sengaja dibuat untuk satu tujuan tertentu, biasanya memuat hal-hal
yang cenderung dipaksakan, pencitraan dan biasanya ditunggangi oleh satu
kepentingan tertentu. Saya rasa itu lah jawaban mengapa sedikit penulis yang
akhirnya menjadi politikus. Karena, seorang penulis sejati, mempunyai idealisme
sendiri, sedangkan politikus, adalah idealism banyak orang. Maka, bukan ranah
seorang penulis – apalagi saya – untuk menjudge bahwa suatu karya adalah dengan
tujuan legalisasi atau bukan.
Beberapa hari yang lalu,
seorang pembaca bertanya kepada saya melalui e-mail, apakah ada kemungkinan The
Sweet Sins akan diangkat ke layar lebar? Pertama saya mohon maaf kepada
teman-teman pembaca bahwa jika The Sweet Sins diangkat ke layar lebar, maka
akan menghabiskan dana yang cukup besar dan durasi yang tidak seperti film-film
kebanyakan, dikarenakan setiap bagian dari film akan mengikuti struktur seperti
di Novel aslinya. Apalagi, untuk musik, musik pengiring haruslah orkestrasi
lengkap layaknya sebuah pertunjukan opera. Melihat keterbatasan tersebut,
rasanya untuk saat ini, The Sweet Sins belum akan diangkat ke layar lebar,
disamping segmen pembaca dan penonton film adalah dua orang yang berbeda. Saya tidak
ingin membuat pembaca saya merasa kecewa, karena sudah beberapa orang yang
berekspektasi besar terhadap beberapa tokoh yang layak untuk diajukan menjadi
pemain di Film, diantaranya Nikolas Saputra, Prabu Revolusi bahkan Deni Sumargo
mereka anggap cocok untuk mewakili tokoh-tokoh tersebut. Jujur, ketika saya menulis
The Sweet Sins, saya tidak membayangi pemeran siapapun ketika saya menulis
tentang Ardo, Reino dan pemeran yang lain.
Tetapi, bagaimanapun
juga, saya menerima semua masukan dari teman-teman pembaca, tidak hanya untuk
memacu semangat agar menghasilkan karya lebih baik, tetapi sebagai koreksi
terhadap diri saya secara pribadi…
Salam. Rangga Wirianto.
04 Januari 2013