Saturday 1 April 2017

Tentang Seorang Wanita Berbunga Camelia

"Tentang Seorang Wanita Berbunga Camelia"

Oleh: Rangga Wirianto Putra
Sehr langsam und schmachtend //
Berjalan dengan sangat lambat dengan tatapan penuh duka nestapa


Berlin. Desember. 2011

“Maaf, Madame, saya terlambat datang untuk mengunjungi anda bulan ini.”
Aku menggenggam tangannya kemudian meletakkan sebuah bingkisan yang kubawa di atas meja, di samping ranjangnya. “Tidak apa-apa, anakku. Sudah terlalu banyak yang datang dan pergi begitu saja dari hidupku. Aku telah terbiasa dengan itu.”
 “Saya juga membawakan anda setangkup roti dan beberapa buah telur sebagai sarapan pagi ini. Saya harap anda menyukainya…”
“Oh ya? Itu adalah sarapan yang paling saya suka. Jika kamu sudah tua nanti, kamu akan tahu betapa berharganya perhatian-perhatian kecil seperti yang engkau lakukan padaku ini, Nak.”
“Dengan senang hati, Madame.” Aku mengambil posisi duduk di sisi ranjangnya, “jadi, bagaimana hari-harimu?”
“Tidak terlalu banyak perubahan. Hidupku seperti mentari yang datang dan pergi seperti biasa kulihat dari balik jendela. Hanya saja, musim dingin seperti ini mengingatkanku pada beberapa puluh tahun yang lalu.”
“Ada apa dengan tahun itu? Maukah anda berbagi dengan saya, Madame?”
Sebelum menjawab, untuk beberapa detik, Madame mengalihkan pandangannya dariku. “Saat itu, usiaku sekitar sepuluh tahun. Salju yang turun di halaman dan di atas atap rumahku tidak lebih besar daripada keinginanku untuk membuat kue.” Pandangan Madame kembali ke arahku. “Nak, aku adalah seseorang yang sejak sadar bahwa aku bisa memasak dan hasil masakanku tidak terlalu jelek, aku selalu memasak makanan untuk diriku sendiri. Beberapa tahun berlalu seperti itu, hingga aku dapat hidup mandiri dengan menjual roti-roti buatanku ke berbagai toko roti di Kota Pesaro. Hasil yang kuperoleh kugunakan untuk membiayai pendidikanku di konservatori. Tekadku untuk bernyanyi di Gedung Opera membuat usahaku lebih besar dari siapapun.
Setiap harinya, aku hanya dapat menghabiskan waktu empat hingga lima jam untuk tidur dan beristirahat, selebihnya kugunakan untuk membuat roti dan berlatih. Setiap aku mengaduk adonan roti menggunakan tanganku, mulutku seperti komat-kamit karena menghafal karya-karya Puccini, seperti La Bohème, Madama Butterfly bahkan Turandot. Suatu hari, setangkup adonan roti yang kubuat ternyata gagal. Sambil berjalan ke pembuangan sampah aku melantunkan, Era desso il figlio mio, sebuah aria dari Lucrezia Borgia untuk setangkup roti yang malang tersebut. Bukan maksudku untuk mendramatisir keadaan, aku tidak menyedihkan seperti itu. Tetapi aku harus tampil membawakan Lucrezia Borgia beberapa minggu kemudian. Ketika itu, teman-teman seangkatanku di konservatori mengejekku karena aku lebih suka membawakan aria dari opera-opera tragis. Tetapi, sekarang aku mengerti, hidup itu sendiri adalah seperti pertunjukan sebuah Opera. Semua yang ada di panggung adalah cerminan dirimu, tanpa terkecuali.
Di satu sisi, kamu harus menjadi Violetta Valéry ataupun seorang Carmen, walau di kehidupanmu yang nyata, kamu adalah seorang wanita rumahan. Di sisi yang lain, kamu harus menjadi Cio-Cio-San dalam Madama Butterfly. Sedangkan di kehidupanmu yang sebenarnya, kamu harus berjuang bahkan lebih terlihat seperti pengemis cinta kepada seorang pria, agar ia mau untuk setidaknya membisikkan selamat malam di telingamu, sebelum kau beranjak tidur.”
Madame kembali menatap ke arah mataku, dan aku pun membalasnya sambil mengulurkan tanganku untuk menggenggam tangannya.
“Bagaimanapun juga, terkadang, di dunia ini, kita harus berada dalam keadaan yang berbeda sekaligus, Nak. Tidak perduli apa yang akan kau lakukan untuk hidupmu dan dengan cara apa kau melakukannya, itu adalah urusanmu. Tetapi, kita hidup cuma satu kali. Waktu, hati dan tubuh kita hanya kita miliki saat ini; tubuh tidak akan pernah bisa kembali dan waktu pun tidak pernah berulang. Sekali kita melangkah, apapun hasilnya kelak, tidak mungkin untuk mundur ke belakang.
Setelah kita menjalani kehidupan yang begitu panjang, biasanya kita akan tersadar tentang waktu setelah hati mulai rapuh dan tubuh kian renta. Tidak ada lagi yang ingat tentang siapa kita dan tidak pula ada yang bertepuk tangan untuk kita. Musik telah selesai dimainkan, tirai sudah diturunkan. Yang tersisa hanyalah kesedihan, karena kita terlambat menyadari bahwa kekayaan yang kita miliki ternyata tidak akan pernah bisa membeli kebahagiaan.”
Madame, apakah hal itu yang anda alami?”
“Iya, Nak. Meski tidak terlalu buruk,” jawab Madame. Lalu, aku dan Madame saling menghela napas panjang. “Anakku, aku tidak pernah iri dengan masa mudamu karena aku melewatinya dengan caraku sendiri. Tetapi, engkau harus melihat pada masa tuaku yang seperti ini.”
Aku terus mendengar cerita yang keluar dari mulut Madame.
 “Madame…”
Yess, my dear,”
“Bagaimana agar kita bisa lepas dari belenggu yang terkadang menghantui hidup kita?” aku mengumpulkan keberanianku untuk bertanya. Selain karena aku ingin mendengar jawaban darinya, inilah alasanku yang terbesar berada disini, saat ini, untuk lebih mengerti tentang bagaimana caranya ‘menerima dan berdamai’.
“Bagaimana caranya melepas? Ah! Aku menganggap kamu sedang bercanda, anakku. Tetapi baiklah, aku akan coba menjawabnya semampuku. Bagaimana caranya melepaskan diri dari belenggu kehidupan? Ya tidak ada cara lain selain kita tidak hidup lagi.”
“...”
“Setiap yang hidup membawa beban pada porsinya masing-masing. Hanya saja, ketika kamu mulai melihat dengan matamu, mendengar dengan telingamu, merasa dengan hati dan pikiranmu, itu semua akan terasa lebih ringan, Nak. Walaupun, tidak semua yang kamu lihat, dengar dan rasa itu benar. Itulah pentingnya sebuah kontemplasi dalam hidup ini, ketika kita bisa bertanya pada diri kita sendiri. Karena kita adalah manusia, sesuatu yang terbaik yang pernah tercipta di muka bumi ini.”
“…”
“Bahkan, ketika kita merasa resah terhadap sesuatu yang terjadi di luar kuasa kita sehingga tidak jarang kita merasa pusing karenanya. Yakinlah, bahwa itu adalah pertanda bahwa kita sedang tumbuh. Hal itu pula yang dirasakan oleh seorang anak kecil di dalam dirinya, ‘kapan aku bisa berdiri, bisa berjalan kemudian berlari seperti orang itu?’ Buka matamu, itu adalah pertanda bahwa kita sedang tumbuh, Nak.”
Madame Eva benar. Kita semua ini sedang tumbuh dengan membawa beban pada porsinya masing-masing. Seorang anak kecil tidak akan dituntut untuk berlari. “Setelah sejauh ini, hal apakah yang paling berkesan dalam hidup anda, Madame?” aku kembali bertanya.
Madame Eva menyibakkan sedikit selimut yang membalut tubuh rentanya. “Ketika malam itu, Italia bernyanyi sekaligus berderai air mata.”
“Ohya? Bisakah anda cerita tentang itu?”
“Tentu, anakku. Bahkan, rasanya masih sama, seperti saya masih berada di La Scala saat itu,” perlahan, Madame Eva mengambil tongkatnya di sisi ranjangnya dan mulai berdiri, aku membantunya dan beliau mengucapkan terimakasih padaku. Madame mengambil sebuah piringan hitam dari lemari tempat ia biasa menyimpan koleksi piringan hitamnya, lalu memutarnya pada sebuah gramofon tua berwarna kuning.
Eva Mafalda. Giuseppe Verdi: La Traviata. La Scala, Milan, Italia. 1959.

“La Traviata, sebuah Opera paling terkenal karangan Giuseppe Verdi, yang terinspirasi dari sebuah roman berjudul, The Lady of the Camellias.”
“…”
“Dengar dengan telingamu dan rasakan dengan hatimu bagaimana kejeniusan Verdi ketika menceritakan kembali kisah seorang gadis berbunga camelia, Violetta Valéry, yang memiliki takdir mencintai tanpa mungkin untuk memiliki. Meskipun demikian, ia memilih untuk tetap bertahan.” Madame menghentikan sejenak perkataannya dan mengambil napas panjang. Lalu beliau melanjutkan, “anakku, tahukah engkau apa artinya bertahan bagi seorang wanita yang tengah jatuh cinta walaupun sebenarnya ia tersiksa dengan cintanya itu?”
Aku berfikir sebentar sebelum akhirnya menggeleng perlahan.
“Bukan karena kami tidak punya pilihan lain, Nak. Justru, karena kami takut perasaan yang kami miliki saat itu tidak akan pernah terulang lagi pada seseorang yang lain, dan pada waktu yang lain pula. Betapapun, kami harus tersiksa, menderita, bahkan mati karenanya.”
Perlahan, Madame tertawa kecil, kemudian melanjutkan tawanya yang lebih besar – kecuali aku.
“Di La Traviata, ‘addio del passato’ adalah aria yang sangat kusukai. Aria yang dinyanyikan oleh seorang Violetta Valéry pada saat-saat akhir hidupnya, pada malam hari, ketika ia menunggu Alfredo Germont di dalam kamar mewahnya. Namun, pemuda yang dicintainya tidak kunjung datang, hingga Violetta menghembuskan nafas terakhirnya di atas tempat tidur itu. E' strano! Cessarono. Gli spasmi del dolore. In me rinasce m'agita. Insolito vigore. Ah! Ma io ritorno a viver! Oh gioia[1]! Bagian inilah yang membuat namaku sejajar dengan penyanyi-penyanyi Opera saat itu, Nak. Ketika aku menjatuhkan tubuh Violetta Valéry semena-mena pada saat kematiannya.”
“Apakah itu yang anda maksud dengan Italia menangis dalam satu malam?”
“Benar, anakku. Malam itu, aku berhasil menghidupkan sekaligus membunuh Violetta Valéry. Dan, Italia membayar mahal untuk itu. Karena, beberapa hari setelahnya, wajahku muncul di berbagai surat kabar dan majalah terbitan Italia. Rata-rata dari mereka memuji penampilanku di la Scala malam itu, dengan headline:
Eva Mafalda, wanita pertama yang mampu membuat Italia berpesta sekaligus berderai air mata hanya dalam satu malam; setelah sukses membawakan duo melodramatik paling membunuh di Dunia, Lucrezia Borgia dan Tosca, kini La Traviata adalah pembuktian kematangan seorang Soprano Italia keturunan Jerman; Eva Mafalda, the queen of opera; ketika Floria Tosca bersemayam pada jiwa Violetta Valéry, hanya dibutuhkan satu detik terakhir untuk dapat membuat air mata anda jatuh.
Ketika kubangun keesokan harinya, di luar apartemenku, telah bertaburan begitu banyak bunga.”
“Bunga apakah itu, Madame?”
“Camelia,” Madame tersenyum sambil sedikit menyeringai. “Im the lady of the Camellias; the truly Violetta Valéry. Bahkan, Sir. Edmund Anzeloti, sovrintendente[2] di la Scala mengatakan, I have never heard anyone touch the depths of Violetta's character like you, Madame Eva. Lalu, ia menyalami dan mengecup-lembut tanganku di hadapan para penonton yang tengah bertepuk tangan, tepat ketika applausi infiniti[3], sebelum tirai diturunkan untuk yang terakhir kalinya.”
“Apakah tepukan itu meriah?”
“Luar biasa. Tepukan seperti itu pertama kali kudapatkan ketika berakhirnya hidup seorang Lucrezia Borgia, dan tepukan yang kedua adalah saat Floria Tosca mengakhiri hidupnya sendiri dengan melompat dari Castel San’t Angelo. Luar biasa!”
Aku pun ikut tersenyum melihat wajah Madame yang mulai merona, “bisakah anda menceritakan lebih lanjut tentang siapa ‘wanita berbunga camelia’ itu, Madame?” aku bertanya dengan sangat hati-hati, sambil menyuapkan sarapannya berupa roti dan segelas susu putih pagi itu.
Madame terlebih dahulu mengunyah sarapan yang kuberi sebelum ia menjawab pertanyaanku. “Jika Violetta Valéry memiliki takdir untuk mencintai tanpa mungkin untuk memiliki, aku lebih sedikit beruntung, Nak. Tuhanku memberiku seorang lelaki dan mengizinkanku untuk mencintainya. Dan, ia pun membalas cintaku, bahkan bisa dikatakan sangat tergila-gila padaku. Lelaki itu mengantarkanku ke puncak karierku dengan setia menemaniku ke setiap gedung-gedung Opera paling prestige yang dipunyai oleh dunia seperti Teatro alla Scala, Arena di Verona, Teatro la Fenice, Teatro Massimo di Palermo hingga Royal Opera House Covent Garden, yang beberapa dari penyanyi Opera rela mati setelah tampil di gedung-gedung Opera tersebut.”
“Jika aku boleh tahu, siapakah lelaki yang beruntung itu, Madame?”
“Akulah yang beruntung mendapatkannya, Nak. Dia adalah seorang pengusaha minuman dari Wilayah Selatan, yang setiap musim panas bersedia menemaniku berpelesir ke tengah lautan untuk menikmati hangatnya sinar matahari yang menerpa tubuh kami di atas sebuah Yacht Masterpiece miliknya. Semua wanita rela menjilat jalanan basah di Italia demi hanya untuk bersalaman dengannya, Nak. Dia seorang pria berkarisma luar biasa.”
“…dan?”
“…dan, dia telah mempunyai seorang istri dan empat orang anak pada saat itu. Jika yang kau maksud adalah status, maka itu adalah satu-satunya hal yang – aku pun tahu – tak akan mungkin pernah bisa kuperoleh darinya. Nak, ketika seorang wanita tengah jatuh cinta, status bukanlah sesuatu yang penting baginya, karena cinta seorang wanita adalah ketika mereka mengatakan ya padahal mereka bisa mengatakan tidak. Apakah setelah ini kamu menganggap bahwa hubungan ini sembunyi-sembunyi?”
Aku mengangkat bahuku.
“Tidak ada yang bisa disembunyikan dari hidupmu ketika wajahmu telah menghiasi surat-surat kabar dan majalah di suatu Negara. Bahkan, apabila kamu menguap secara sembarangan, keesokan harinya wajahmu sudah terpampang di koran-koran murahan yang dijual sepanjang gang sempit di Italia.”
“Jadi, semua orang tahu bahwa anda dan dia…?”
“Ya, semua orang. Bahkan telah menjadi rahasia publik. Aku membutuhkannya tidak hanya untuk mendukung karierku, tetapi juga untuk mencintaiku, memujaku dan tergila-gila padaku; semua wanita pasti menginginkan itu. Tetapi, semua yang ia berikan pun tak cukup bagiku untuk berharap lebih. Aku tidak dinikahi, pun tidak diberi anak. Hanya menjadikanku seperti barang koleksi, yang dilapis emas, dipajang di area prestige, dicintai dan ditiduri, tetapi tidak untuk dipertahankan, apalagi dimiliki seutuhnya. Bahkan, dia telah mati sebelum sempat kumiliki.” Aku kembali menggenggam tangan Madame dengan erat, seolah ingin menyalurkan sedikit kekuatan yang kupunya. Cerita Madame terhenti sejenak oleh bulir air mata yang perlahan mengucur dari sudut matanya.
 “Tetapi, setidaknya aku kini telah lepas dari beban itu. Terkadang, kehilangan sesuatu yang belum sempat kau miliki lebih mudah untuk memaafkannya daripada kehilangan sesuatu yang telah terlanjur kau miliki secara utuh.”
“…”
“…”
Madame, jika saya boleh bertanya tentang tiga hal padamu.”
“Tentu anakku, tentu engkau boleh bertanya.”
“Dimanakah engkau terakhir kali tampil?”
Madame mengedarkan pandangannya ke sekeliling sambil berusaha mengingat-ingat, “di Berlin Staatsoper. Waktu itu aku membawakan karya Strauss yang terakhir, Vier letzte Lieder[4].
“Ohya? Dari seluruhnya, nyanyian manakah yang paling berarti bagi anda, Madame?”
“Tentu engkau sudah tahu jawabannya, Nak. Beim Schlafengehen adalah sesuatu yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Semakin usiaku bertambah, pemahamanku akan dunia pun semakin berubah. Dan ketika itu, tubuhku semakin lelah dengan dunia ini. Tetapi aku kemudian sadar akan satu hal, jangan pernah pergi terlalu cepat atau tinggal terlalu lama, dimanapun kamu berada. Jika dulu aku memiliki prinsip bahwa, kitalah yang mengatur hidup kita sendiri, menggenggamnya dan menaklukkannya dengan menciptakan dunia-dunia dari sesuatu, kemudian membuat tokoh-tokoh di dalamnya serta mengatur nasibnya. Tetapi, kita bukanlah Tuhan, yang puasa kuasa atas kehidupan ini. Setelah kita ditinggalkan oleh tokoh-tokoh yang kita ciptakan itu, kita baru menyadari bahwa semuanya sudah terlambat, kita sudah tinggal terlalu lama. Kita sudah tidak memiliki kesempatan lagi untuk melihat ke belakang meski hanya sekedar untuk menyesalinya.”
Aku mengangguk perlahan.“Madame, jika anda tidak keberatan, bisakah anda menyenandungkan satu bait dari Beim Schlafengehen untuk saya di hari yang penuh kasih ini?” aku memasang ekspresi memelas di akhir kalimat permintaanku sambil menambahkan kata ‘…please.”
“Nak, kau adalah orang pertama sejak lima tahun ini yang memintaku untuk bernyanyi kembali. Dengan senang hati aku akan mengabulkan permintaanmu, tidak hanya menyenandungkannya tetapi menyanyikannya. Tetapi, maaf jika suaraku tidak secemerlang dulu.”
Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Terakhir aku latihan bernyanyi di kamar mandi, beberapa bulan yang lalu.” Madame kembali mengambil tongkatnya, berdiri dan berjalan ke arah kain gorden yang sengaja masih ia tutup pagi itu. Walaupun ia tidak menjelaskan, tetapi kutahu apa yang Madame maksud ketika ia berdiri persis di hadapan kain gorden tersebut.
Nun der Tag mich müd gemacht…”
Satu baik kalimat yang sangat indah tersebut harus berhenti karena tiba-tiba Madame terbatuk yang kemudian disusul batuknya yang panjang. Aku langsung memegang tubuh Madame dan kembali membawanya ke atas tempat tidur. “Its ok, Madame, anda tidak perlu melanjutkannya,” tetapi Madame menolaknya dengan tetap berdiri dan berkata,
“Tidak, anakku, aku harus menyelesaikan lagu ini. Itu hanya satu bait pertama. Jika suatu saat engkau berada diatas panggung, engkau akan mengerti bahwa the show must go on! Meskipun, kau harus mati diatasnya. Nak, keinginanku lebih besar daripada rasa sakitku ini, percayalah.” Madame melepaskan peganganku, mengambil nafas panjang dan kembali bernyanyi.
Jangan tanya apa yang kurasakan saat itu, yang ada hanya sebuah penyesalan luar biasa yang membayang di pikiranku. Entah sebuah kebodohan apa yang telah kuperbuat? Aku meminta seorang wanita tua yang sedang sakit-sakitan bernyanyi untukku? Tetapi, aku sudah terlanjur tidak bisa berkata apa-apa lagi, hanya bulir air mataku yang perlahan mulai turun dan membanjir di wajahku.
Nun der Tag mich müd gemacht,
soll mein sehnliches Verlangen
freundlich die gestirnte Nacht
wie ein müdes Kind empfangen
Sekarang aku merasakan hari-hari yang melelahkan
Tetapi semangatku tidak akan pernah pudar.
Dan akan tetap bercahaya seperti bintang di kala malam.
Seperti lelah yang dialami oleh anak-anak.

Hände, laßt von allem Tun,
Stirn, vergiß du alles Denken,
alle meine Sinne nun
wollen sich in Schlummer senken.
Tangan, hentikan semua pekerjaanmu.
Kepala, lupakan semua beban pikiranmu itu.
Semua inderaku kini merindukan untuk
sekedar tenggelam dalam lelap tidurku.

Und die Seele unbewacht
will in freien Flügen schweben,
um im Zauberkreis der Nacht
tief und tausendfach zu leben.
Wahai jiwa-jiwa yang terbelenggu
Dan harapan yang ingin membubung tinggi, setinggi-tinginya
Masuklah ke dalam pesona lingkaran malam
Hingga dapat bercahaya dalam seribu kehidupan

Madame, anda luar biasa,” aku memujinya sambil menepuk kedua telapak tanganku untuknya.
“Jangan ucapkan lagi kata-kata itu, anakku. Aku sudah puas mendengar semua itu, tetapi pada akhirnya, wanita yang mendapat pujian itu harus berakhir di sebuah panti jompo seperti ini.”
“Setidaknya, ada seorang lelaki, yang setiap minggu mengunjungimu, menemanimu, dan berbagi cerita denganmu, Madame,” aku berkelakar di sela air mataku.
Madame Eva sempat terkekeh, dan aku pun mengikutinya. Bersama Madame, aku merasa bisa menjadi diriku sendiri, memuji diriku sendiri bahkan sekaligus menertawakannya. Berada di dekatnya, walaupun ia sudah sangat tua dan renta, tetapi aku merasa nyaman dan damai seperti berada di dekat orang tuaku sendiri; seseorang yang selalu rindu akan kehadirannya dan berharap tawa yang keluar dari bibirnya.
Perlahan, aku mencoba memegang badan Madame dan menuntunnya kembali ke atas tempat tidur, merebahkan tubuhnya dalam posisi duduk kemudian menyandarkan kepalanya dengan bantal. Lagi, ia mengucapkan terimakasih padaku.
“Hal kedua yang ingin kutanyakan pada anda adalah, menurut anda, nilai apa yang ingin anda berikan pada kami yang masih muda ini,  jika nanti umur kami dipanjangkan seperti anda?”
“Menjadi tua itu pasti, Nak. Tetapi, menjadi tidak berguna karena umurmu itu adalah pilihan.” Aku kembali tersenyum mendengar jawaban Madame yang sangat spontan itu. "Letakkan penghargaanmu yang tertinggi pada mereka yang menua dengan dedikasi dan bijaksana. Karena percayalah, Nak, itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Lalu, apa hal yang ketiga?"
“Kenapa anda ingin menghabiskan masa tua anda di Berlin? Bukankah anda lahir di Italia?”
“Lebih tepatnya di Pesaro, Nak, sebuah kota yang berada di wilayah Marche yang terletak di pantai Adriatik. Walaupun Pesaro hanyalah sebuah kota kecil, tetapi ia begitu damai. Kedamaiannya terletak pada keindahan pegunungan yang berpadu dengan eksotika laut Adriatik dan kesegaran air dari sungai Foglia, yang mampu menginspirasi Simone da Pesaro lalu menghasilkan sebuah karya luar biasa, Allegory of the Foglia River with the Coat of Arms of Pesaro. Sebagai seorang Italia dengan setengah darah Jerman, aku merasa mempunyai dua buah rumah di dunia ini. Italia, tempatku hidup, mencari uang dan menemukan cintaku. Tetapi pada akhirnya, Berlin adalah tempatku kembali. Bahkan, bau tanah kering ketika diguyur hujan pun dapat kucium berbeda di kedua tempat itu. Bau tanah kering ketika diguyur hujan di Italia mengantarkan lamunanku akan cinta dan keriuhan tepuk tangan penonton setelah aku tampil di Teatro alla Scala dan Arena di Verona. Tetapi, di Berlin, baunya mengingatkanku dan mengantarkanku pada Sang Pencipta tubuhku ini, melalui perjalanan yang dinamakan kematian. Walaupun demikian, keduanya selalu membuatku ingin kembali.”
“Kalau begitu, apakah arti kematian menurut anda, Madame? Dan, apakah anda menakutinya?”
“Strauss pernah berkata, ‘saat kematian mulai mendekat, roh mulai meninggalkan jasadnya untuk menuju suatu kehidupan yang indah dan abadi’. Yang harus ditakuti itu bukanlah kematian, melainkan kehidupan yang menjadikanmu seperti mati. Karena mungkin, kematian hanyalah seperti tidur panjang, dan memang tidak ada yang perlu ditakuti darinya. Jika kamu telah menerima dan memaafkan semua yang terjadi dalam hidupmu, maka mimpi di dalam tidurmu akan indah. Tetapi jika tidak? Maka kau tahu jawabannya.”
Aku tersenyum cukup lama karena aku tiba-tiba merasa telah menemukan suatu kepingan yang hilang dari dalam diriku yang kucari selama ini. Dimana justru, kepingan itu kutemukan di tempat yang sangat jauh, ribuan kilometer dari seorang wanita tua, yang siapa sangka memiliki hati yang sangat mulia, seperti air mata. Kebanyakan orang tua seusia dirinya mungkin akan menghabiskan hidupnya dengan umpatan, makian dan cacian terhadap masa lalunya, tetapi Madame Eva melakukan hal yang sebaliknya.
Ada sebercak kebanggaan yang kurasa terhadap diriku sendiri. Aku merasa keputusanku tidak salah dan skenario hidupku tidak cacat sedikitpun. ‘Tuhanku yang maha pengasih, terimakasih atas bimbingan-Mu dan tetaplah memelihara tubuh serta langkahku agar selalu berjalan bersama-Mu’. Aku menyilangkan tanganku ke kening dan dadaku, pertanda bahwa apa yang kupikirkan direstui oleh hatiku. Kemudian, aku mengucap ‘Amin’.
“Apakah anda telah menerima dan memaafkan segala yang terjadi dalam hidup anda, Madame?”
“Tentu, Nak. Aku menerima dan memaafkan segala hal yang belum terjadi, yang hampir terjadi, yang telah terjadi dan yang akan terjadi nantinya dalam hidupku. Bukankah aku sering berkata padamu bahwa, mimpi-mimpiku selalu indah dan hatiku selalu damai?”
“Ya,” aku mengangguk perlahan sambil tersenyum. Kemudian aku melihat ke arah jam di pergelangan tanganku yang memberikan tanda bahwa waktunya istirahat untuk Madame Eva telah tiba. Sebelum aku pulang, aku memperbaiki posisi tubuhnya di atas tempat tidur, agar ia bisa nyenyak dalam tidurnya, kemudian menyelimutinya, mematikan lampu utama dan bertanya, “Madame, apakah anda ingin saya membuka kain gorden itu?” sebuah pertanyaan yang selalu kutanyakan walaupun biasanya Madame akan menjawabnya dengan kata ‘tidak’.
Danke schon, du bist sehr nett[5]. Bukalah, Nak. Cuaca diluar tampaknya cukup bagus. Akupun ingin menikmatinya,” kemudian Madame tersenyum. Aku membuka kain gorden yang masih tertutup.
Di luar dan di kejauhan, aku mendengar suara lonceng katedral berdentang beberapa kali dengan pemandangan dari salju yang turun sejak dua hari yang lalu seakan ingin melengkapi keeksotikan Kota Berlin pada pagi hari itu.
“Gema dari lonceng seperti ini selalu mengantarkan ingatanku pada kunjungan terakhirku ke  Bayreuth Festspielhaus,” Madame kembali bercerita dari atas tempat tidurnya. “Ketika musim panas saat itu, mereka membawakan Tannhäuser[6] dari Richard Wagner,”
Pikiranku pun melayang pada Bayreuth Festival, yaitu sebuah festival musik paling prestige yang diadakan sekali setahun dan hanya pada musim panas di Kota Bayreuth, Jerman. Pertunjukan tersebut diadakan khusus untuk menyaksikan karya-karya dari komposer Opera asal Jerman yang paling terkenal pada zaman Romantik, Richard Wagner. Dimana, para penonton harus mengantri bahkan hingga bertahun-tahun untuk menyaksikan karya-karya Richard Wagner di hadapan mereka secara langsung. Walaupun aku belum pernah menyaksikan Bayreuth Festival, tetapi aku percaya bahwa Richard Wagner adalah legenda diantara pecinta musik Opera Jerman, karya-karyanya sangat kental dengan nuansa sakral dan magis, seperti yang terdapat di dalam Der Ring des Nibelungen[7] dan Der fliegende Holländer[8].
Tanpa menoleh, aku pun bertanya pada Madame, “bagian manakah dari Tannhäuser yang paling berkesan bagi anda, Madame?”
“Pada saat choir menyanyikan ‘Beglückt darf nun dich’, The Pilgrims Chorus.”
“Ada apa dengan bagian itu?”
“Ketika aku mendengar mereka bersenandung, aku merasa seperti sedang berada di rumah, I’m home, really in my home, tepat ketika Madame menyebut kata-kata home, tiba-tiba, tumpukan salju yang berada di rerantingan pohon yang terletak di seberang jalan terjatuh, dan aku pun terjaga dari lamunan singkatku. “…my home is my journey.”
Lalu, aku membalikkan tubuhku dan melihat ke arah Madame Eva, ia pun melihat ke arahku. Kami saling melempar senyum. Sebuah senyum yang menandakan bahwa semua ini berjalan seperti apa adanya: setiap akhir tahun, salju akan tetap turun dan meng-onggok di atas pepohonan yang telah menggundul. Tetapi, tidak berapa lama kemudian akan kembali digantikan oleh mekarnya pucuk-pucuk daun baru di rerantingan yang perlahan menghijaukan mata siapapun yang melihatnya. Lalu, panas dari sinar matahari yang teriknya dapat menghadirkan fatamorgana di jalan-jalan sepanjang kota Berlin, dilanjutkan oleh musim dimana seluruh daun akan menggugurkan diri dan mempersembahkan dirinya sebagai energi terhadap kekekalan kehidupan di jagat raya ini. Justru, karena mereka tahu bahwa siklus tersebut akan kembali terulang: yang tua akan menggugurkan dirinya dan merelakan jasadnya melebur di atas tanah, demi si kecil yang akan tumbuh.
Beberapa saat kemudian, kami pun saling mengucap selamat beristirahat. Aku mencium keningnya dan Madame membisikkan, “ti voglio bene e mi manchi[9]’ di telingaku.
Aku menjawabnya dengan mengatakan ‘grande abbraccio[10]’ sambil memeluk tubuhnya seperti biasanya sebelum kami berpisah. Kemudian, aku pun keluar dari kamar Madame, masih dengan senyuman yang sama, senyuman tanda kepuasan sekaligus kebahagiaan.

Beglückt darf nun dich, o Heimat, ich schauen,
und grüßen froh deine lieblichen Auen;
nun lass' ich ruhn den Wanderstab,
weil Gott getreu ich gepilgert hab'.
Blest, I may now look on thee, oh, my native land,
and gladly greet thy pleasant pastures;
now I lay my pilgrim's staff aside to rest,
because, faithful to God, I have completed my pilgrimage!
Durch Sühn' und Buß' hab' ich versöhnt
den Herren, dem mein Herze frönt,
der meine Reu' mit Segen krönt,
den Herren, dem mein Lied ertönt.
Through penance and repentance I have propitiated
the Lord, Whom my heart serves,
Who crowns my repentance with blessing,
the Lord to Whom my song goes up!
Der Gnade Heil ist dem Büßer beschieden,
er geht einst ein in der Seligen Frieden!
Vor Höll' und Tod ist ihm nicht bang,
drum preis' ich Gott mein Lebelang.
Halleluja. Halleluja in Ewigkeit, in Ewigkeit!
The salvation of pardon is granted the penitent,
in days to come he will walk in the peace of the blessed!
Hell and death do not appal him,
therefore will I praise God my life long.
Alleluia! Alleluia in eternity!
(“Pilgrim's Chorus” from ‘Tannhäuser’ by  Richard Wagner)




[1] (Italia) “Ini aneh. Rasa sakitku telah sirna. Aku merasa terlahir kembali dengan kekuatan yang baru, dalam jiwa yang baru. Ah! Tapi aku akan kembali hidup, wahai kebahagiaan.” Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Violetta Valéry sebelum akhirnya ia mati.
[2] Orang yang mempunyai jabatan tertinggi dan memiliki kuasa penuh atas siapa saja yang telah pantas menaiki panggung Teatro alla Scala.
[3] (Italia) Endless applause. Tepukan tangan paling panjang dan meriah yang diberikan oleh para penonton setelah pertunjukan Opera.
[4] Lagu terakhir, karangan Richard Strauss (1948), yang terdiri dari empat siklus lagu, Frühling (Musim Semi), September, Beim Schlafengehen (Di Saat Tidur) dan Im Abendrot (Cahaya Masa Senja).
[5] (German) Terimakasih banyak, kamu baik sekali.
[6] (German) Tannhäuser und der Sängerkrieg auf Wartburg atau Tannhäuser dan Kontes Bernyanyi di Kastil Wartburg. Opera ini menceritakan tentang perjuangan demi sebuah penebusan cinta suci yang dibumbui dengan hal-hal yang bersifat keduniawian. Tannhäuser dianggap salah satu karya Richard Wagner yang paling matang.
[7] (German) The Ring of the Nibelung/The Ring Cycle atau Siklus Cincin. Merupakan karya masterpiece Richard Wagner yang diangkat berdasarkan Mitologi dari Bangsa Nordik. Mitologi tersebut berisi kisah-kisah tentang makhluk supernatural, kosmologi, dan mitos-mitos yang ditulis berbentuk puisi atau prosa.
[8] (German)The Flying Dutchman atau Orang Belanda Terbang. Opera ini menceritakan tentang sebuah mitos yang berlaku di Negara Belanda tentang seorang pelaut yang menjual jiwanya pada setan dan hanya bisa ditebus oleh cinta seorang wanita yang setia. Karena, Wagner berpendapat bahwa, ‘wanita itu mempunyai tingkat kesetiaan yang paling tinggi, bahkan sampai ia mati’.
[9] (Italia) Aku benar-benar membutuhkanmu dan karena kamu membuatku merindukanmu.
[10] (Italia) Pelukan terhangatku untukmu.

No comments:

Post a Comment

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL “ THE SWEET SINS”   KARYA RANGGA WIRIANTO PUTRA Amalia Meldani Mahasiswa Prodi Sastra Ind...