"Tentang Seorang Wanita Berbunga Camelia"
Oleh: Rangga Wirianto Putra
Sehr langsam und schmachtend //
Berjalan dengan sangat lambat dengan tatapan penuh duka nestapa
Berlin. Desember. 2011
“Maaf,
Madame, saya terlambat datang untuk
mengunjungi anda bulan ini.”
Aku
menggenggam tangannya kemudian meletakkan sebuah bingkisan yang kubawa di atas
meja, di samping ranjangnya. “Tidak apa-apa, anakku. Sudah terlalu banyak yang
datang dan pergi begitu saja dari hidupku. Aku telah terbiasa dengan itu.”
“Saya juga membawakan anda setangkup roti dan
beberapa buah telur sebagai sarapan pagi ini. Saya harap anda menyukainya…”
“Oh
ya? Itu adalah sarapan yang paling saya suka. Jika kamu sudah tua nanti, kamu
akan tahu betapa berharganya perhatian-perhatian kecil seperti yang engkau
lakukan padaku ini, Nak.”
“Dengan
senang hati, Madame.” Aku mengambil
posisi duduk di sisi ranjangnya, “jadi, bagaimana hari-harimu?”
“Tidak
terlalu banyak perubahan. Hidupku seperti mentari yang datang dan pergi seperti
biasa kulihat dari balik jendela. Hanya saja, musim dingin seperti ini
mengingatkanku pada beberapa puluh tahun yang lalu.”
“Ada
apa dengan tahun itu? Maukah anda berbagi dengan saya, Madame?”
Sebelum
menjawab, untuk beberapa detik, Madame
mengalihkan pandangannya dariku. “Saat itu, usiaku sekitar sepuluh tahun. Salju
yang turun di halaman dan di atas atap rumahku tidak lebih besar daripada
keinginanku untuk membuat kue.” Pandangan Madame
kembali ke arahku. “Nak, aku adalah seseorang yang sejak sadar bahwa aku bisa
memasak dan hasil masakanku tidak terlalu jelek, aku selalu memasak makanan
untuk diriku sendiri. Beberapa tahun berlalu seperti itu, hingga aku dapat
hidup mandiri dengan menjual roti-roti buatanku ke berbagai toko roti di Kota Pesaro.
Hasil yang kuperoleh kugunakan untuk membiayai pendidikanku di konservatori.
Tekadku untuk bernyanyi di Gedung Opera membuat usahaku lebih besar dari
siapapun.
Setiap
harinya, aku hanya dapat menghabiskan waktu empat hingga lima jam untuk tidur
dan beristirahat, selebihnya kugunakan untuk membuat roti dan berlatih. Setiap
aku mengaduk adonan roti menggunakan tanganku, mulutku seperti komat-kamit
karena menghafal karya-karya Puccini, seperti La Bohème, Madama Butterfly
bahkan Turandot. Suatu hari, setangkup
adonan roti yang kubuat ternyata gagal. Sambil berjalan ke pembuangan sampah
aku melantunkan, Era desso il figlio mio,
sebuah aria dari Lucrezia Borgia untuk setangkup roti yang malang tersebut. Bukan
maksudku untuk mendramatisir keadaan, aku tidak menyedihkan seperti itu. Tetapi
aku harus tampil membawakan Lucrezia Borgia beberapa minggu kemudian. Ketika
itu, teman-teman seangkatanku di konservatori mengejekku karena aku lebih suka
membawakan aria dari opera-opera tragis. Tetapi, sekarang aku mengerti, hidup
itu sendiri adalah seperti pertunjukan sebuah Opera. Semua yang ada di panggung
adalah cerminan dirimu, tanpa terkecuali.
Di
satu sisi, kamu harus menjadi Violetta Valéry ataupun seorang Carmen, walau di kehidupanmu
yang nyata, kamu adalah seorang wanita rumahan. Di sisi yang lain, kamu harus
menjadi Cio-Cio-San dalam Madama
Butterfly. Sedangkan di kehidupanmu yang sebenarnya, kamu harus berjuang bahkan
lebih terlihat seperti pengemis cinta kepada seorang pria, agar ia mau untuk setidaknya
membisikkan selamat malam di
telingamu, sebelum kau beranjak tidur.”
Madame
kembali menatap ke arah mataku, dan aku pun membalasnya sambil mengulurkan
tanganku untuk menggenggam tangannya.
“Bagaimanapun
juga, terkadang, di dunia ini, kita harus berada dalam keadaan yang berbeda
sekaligus, Nak. Tidak perduli apa yang akan kau lakukan untuk hidupmu dan
dengan cara apa kau melakukannya, itu adalah urusanmu. Tetapi, kita hidup cuma satu
kali. Waktu, hati dan tubuh kita hanya kita miliki saat ini; tubuh tidak akan
pernah bisa kembali dan waktu pun tidak pernah berulang. Sekali kita melangkah,
apapun hasilnya kelak, tidak mungkin untuk mundur ke belakang.
Setelah
kita menjalani kehidupan yang begitu panjang, biasanya kita akan tersadar tentang
waktu setelah hati mulai rapuh dan tubuh kian renta. Tidak ada lagi yang ingat
tentang siapa kita dan tidak pula ada yang bertepuk tangan untuk kita. Musik
telah selesai dimainkan, tirai sudah diturunkan. Yang tersisa hanyalah
kesedihan, karena kita terlambat menyadari bahwa kekayaan yang kita miliki
ternyata tidak akan pernah bisa membeli kebahagiaan.”
“Madame, apakah hal itu yang anda alami?”
“Iya,
Nak. Meski tidak terlalu buruk,” jawab Madame.
Lalu, aku dan Madame saling menghela
napas panjang. “Anakku, aku tidak pernah iri dengan masa mudamu karena aku
melewatinya dengan caraku sendiri. Tetapi, engkau harus melihat pada masa tuaku
yang seperti ini.”
Aku
terus mendengar cerita yang keluar dari mulut Madame.
“Madame…”
“Yess, my dear,”
“Bagaimana
agar kita bisa lepas dari belenggu yang terkadang menghantui hidup kita?” aku
mengumpulkan keberanianku untuk bertanya. Selain karena aku ingin mendengar jawaban darinya,
inilah alasanku yang terbesar berada disini, saat ini, untuk lebih mengerti
tentang bagaimana caranya ‘menerima dan berdamai’.
“Bagaimana
caranya melepas? Ah! Aku menganggap kamu sedang bercanda, anakku. Tetapi
baiklah, aku akan coba menjawabnya semampuku. Bagaimana caranya melepaskan diri
dari belenggu kehidupan? Ya tidak ada cara lain selain kita tidak hidup lagi.”
“...”
“Setiap
yang hidup membawa beban pada porsinya masing-masing. Hanya saja, ketika kamu
mulai melihat dengan matamu, mendengar dengan telingamu, merasa dengan hati dan
pikiranmu, itu semua akan terasa lebih ringan, Nak. Walaupun, tidak semua yang
kamu lihat, dengar dan rasa itu benar. Itulah pentingnya sebuah kontemplasi
dalam hidup ini, ketika kita bisa bertanya pada diri kita sendiri. Karena kita
adalah manusia, sesuatu yang terbaik yang pernah tercipta di muka bumi ini.”
“…”
“Bahkan,
ketika kita merasa resah terhadap sesuatu yang terjadi di luar kuasa kita
sehingga tidak jarang kita merasa pusing karenanya. Yakinlah, bahwa itu adalah
pertanda bahwa kita sedang tumbuh. Hal itu pula yang dirasakan oleh seorang
anak kecil di dalam dirinya, ‘kapan aku
bisa berdiri, bisa berjalan kemudian
berlari seperti orang itu?’ Buka matamu, itu adalah pertanda bahwa kita
sedang tumbuh, Nak.”
Madame
Eva benar. Kita semua ini sedang tumbuh dengan membawa beban pada porsinya
masing-masing. Seorang anak kecil tidak akan dituntut untuk berlari. “Setelah
sejauh ini, hal apakah yang paling berkesan dalam hidup anda, Madame?” aku kembali bertanya.
Madame
Eva menyibakkan sedikit selimut yang membalut tubuh rentanya. “Ketika malam
itu, Italia bernyanyi sekaligus berderai air mata.”
“Ohya?
Bisakah anda cerita tentang itu?”
“Tentu,
anakku. Bahkan, rasanya masih sama, seperti saya masih berada di La Scala saat
itu,” perlahan, Madame Eva mengambil
tongkatnya di sisi ranjangnya dan mulai berdiri, aku membantunya dan beliau
mengucapkan terimakasih padaku. Madame
mengambil sebuah piringan hitam dari lemari tempat ia biasa menyimpan koleksi
piringan hitamnya, lalu memutarnya pada sebuah gramofon tua berwarna kuning.
Eva Mafalda. Giuseppe Verdi: La
Traviata. La Scala, Milan, Italia. 1959.
“La
Traviata, sebuah Opera paling terkenal karangan Giuseppe Verdi, yang
terinspirasi dari sebuah roman berjudul, The
Lady of the Camellias.”
“…”
“Dengar
dengan telingamu dan rasakan dengan hatimu bagaimana kejeniusan Verdi ketika menceritakan
kembali kisah seorang gadis berbunga camelia, Violetta Valéry, yang memiliki
takdir mencintai tanpa mungkin untuk memiliki. Meskipun demikian, ia memilih
untuk tetap bertahan.” Madame menghentikan
sejenak perkataannya dan mengambil napas panjang. Lalu beliau melanjutkan, “anakku,
tahukah engkau apa artinya bertahan bagi seorang wanita yang tengah jatuh cinta
walaupun sebenarnya ia tersiksa dengan cintanya itu?”
Aku
berfikir sebentar sebelum akhirnya menggeleng perlahan.
“Bukan
karena kami tidak punya pilihan lain, Nak. Justru, karena kami takut perasaan
yang kami miliki saat itu tidak akan pernah terulang lagi pada seseorang yang
lain, dan pada waktu yang lain pula. Betapapun, kami harus tersiksa, menderita,
bahkan mati karenanya.”
Perlahan,
Madame tertawa kecil, kemudian
melanjutkan tawanya yang lebih besar – kecuali aku.
“Di
La Traviata, ‘addio del passato’ adalah aria yang sangat kusukai. Aria yang dinyanyikan
oleh seorang Violetta Valéry pada saat-saat akhir hidupnya, pada malam hari, ketika
ia menunggu Alfredo Germont di dalam kamar mewahnya. Namun, pemuda yang
dicintainya tidak kunjung datang, hingga Violetta menghembuskan nafas terakhirnya
di atas tempat tidur itu. E' strano! Cessarono. Gli spasmi del
dolore. In me rinasce m'agita. Insolito vigore. Ah! Ma io ritorno a viver! Oh gioia[1]! Bagian
inilah yang membuat namaku sejajar dengan penyanyi-penyanyi Opera saat itu,
Nak. Ketika aku menjatuhkan tubuh Violetta Valéry semena-mena pada saat kematiannya.”
“Apakah
itu yang anda maksud dengan Italia menangis dalam satu malam?”
“Benar,
anakku. Malam itu, aku berhasil menghidupkan sekaligus membunuh Violetta
Valéry. Dan, Italia membayar mahal untuk itu. Karena, beberapa hari setelahnya,
wajahku muncul di berbagai surat kabar dan majalah terbitan Italia. Rata-rata
dari mereka memuji penampilanku di la Scala malam itu, dengan headline:
Eva
Mafalda, wanita pertama yang mampu membuat Italia
berpesta sekaligus berderai air mata hanya dalam satu malam; setelah sukses membawakan duo melodramatik paling
membunuh di Dunia, Lucrezia Borgia dan
Tosca, kini La Traviata adalah
pembuktian kematangan seorang Soprano Italia keturunan Jerman; Eva Mafalda, the queen of opera; ketika Floria
Tosca bersemayam pada jiwa Violetta
Valéry, hanya dibutuhkan satu detik terakhir untuk dapat membuat air mata
anda jatuh.
Ketika kubangun keesokan harinya, di
luar apartemenku, telah bertaburan begitu banyak bunga.”
“Bunga
apakah itu, Madame?”
“Camelia,”
Madame tersenyum sambil sedikit menyeringai.
“I’m the lady of the Camellias; the
truly Violetta Valéry. Bahkan, Sir. Edmund
Anzeloti, sovrintendente[2]
di la Scala mengatakan, I have never heard anyone touch the depths
of Violetta's character like you, Madame Eva. Lalu, ia menyalami dan mengecup-lembut tanganku di
hadapan para penonton yang tengah bertepuk tangan, tepat ketika applausi infiniti[3],
sebelum tirai diturunkan untuk yang terakhir kalinya.”
“Apakah
tepukan itu meriah?”
“Luar
biasa. Tepukan seperti itu pertama kali kudapatkan ketika berakhirnya hidup
seorang Lucrezia Borgia, dan tepukan yang kedua adalah saat Floria Tosca
mengakhiri hidupnya sendiri dengan melompat dari Castel San’t Angelo. Luar biasa!”
Aku
pun ikut tersenyum melihat wajah Madame
yang mulai merona, “bisakah anda menceritakan lebih lanjut tentang siapa ‘wanita berbunga camelia’ itu, Madame?” aku bertanya dengan sangat
hati-hati, sambil menyuapkan sarapannya berupa roti dan segelas susu putih pagi
itu.
Madame
terlebih dahulu mengunyah sarapan yang kuberi sebelum ia menjawab pertanyaanku.
“Jika Violetta Valéry memiliki takdir untuk mencintai tanpa mungkin untuk memiliki,
aku lebih sedikit beruntung, Nak. Tuhanku memberiku seorang lelaki dan mengizinkanku
untuk mencintainya. Dan, ia pun membalas cintaku, bahkan bisa dikatakan sangat tergila-gila
padaku. Lelaki itu mengantarkanku ke puncak karierku dengan setia menemaniku ke
setiap gedung-gedung Opera paling prestige
yang dipunyai oleh dunia seperti Teatro
alla Scala, Arena di Verona, Teatro
la Fenice, Teatro Massimo di Palermo
hingga Royal Opera House Covent Garden,
yang beberapa dari penyanyi Opera rela mati setelah tampil di gedung-gedung Opera
tersebut.”
“Jika
aku boleh tahu, siapakah lelaki yang beruntung itu, Madame?”
“Akulah
yang beruntung mendapatkannya, Nak. Dia adalah seorang pengusaha minuman dari Wilayah
Selatan, yang setiap musim panas bersedia menemaniku berpelesir ke tengah lautan
untuk menikmati hangatnya sinar matahari yang menerpa tubuh kami di atas sebuah
Yacht Masterpiece miliknya. Semua
wanita rela menjilat jalanan basah di Italia demi hanya untuk bersalaman
dengannya, Nak. Dia seorang pria berkarisma luar biasa.”
“…dan?”
“…dan,
dia telah mempunyai seorang istri dan empat orang anak pada saat itu. Jika yang
kau maksud adalah status, maka itu adalah satu-satunya hal yang – aku pun tahu
– tak akan mungkin pernah bisa kuperoleh darinya. Nak, ketika seorang wanita
tengah jatuh cinta, status bukanlah sesuatu yang penting baginya, karena cinta
seorang wanita adalah ketika mereka mengatakan ya padahal mereka bisa mengatakan tidak. Apakah setelah ini kamu menganggap bahwa hubungan ini
sembunyi-sembunyi?”
Aku
mengangkat bahuku.
“Tidak
ada yang bisa disembunyikan dari hidupmu ketika wajahmu telah menghiasi
surat-surat kabar dan majalah di suatu Negara. Bahkan, apabila kamu menguap
secara sembarangan, keesokan harinya wajahmu sudah terpampang di koran-koran
murahan yang dijual sepanjang gang sempit di Italia.”
“Jadi,
semua orang tahu bahwa anda dan dia…?”
“Ya,
semua orang. Bahkan telah menjadi rahasia publik. Aku membutuhkannya tidak
hanya untuk mendukung karierku, tetapi juga untuk mencintaiku, memujaku dan
tergila-gila padaku; semua wanita pasti menginginkan itu. Tetapi, semua yang ia
berikan pun tak cukup bagiku untuk berharap lebih. Aku tidak dinikahi, pun
tidak diberi anak. Hanya menjadikanku seperti barang koleksi, yang dilapis
emas, dipajang di area prestige,
dicintai dan ditiduri, tetapi tidak untuk dipertahankan, apalagi dimiliki
seutuhnya. Bahkan, dia telah mati sebelum sempat kumiliki.” Aku kembali
menggenggam tangan Madame dengan
erat, seolah ingin menyalurkan sedikit kekuatan yang kupunya. Cerita Madame terhenti sejenak oleh bulir air
mata yang perlahan mengucur dari sudut matanya.
“Tetapi, setidaknya aku kini telah lepas dari
beban itu. Terkadang, kehilangan sesuatu yang belum sempat kau miliki lebih
mudah untuk memaafkannya daripada kehilangan sesuatu yang telah terlanjur kau
miliki secara utuh.”
“…”
“…”
“Madame, jika saya boleh bertanya tentang
tiga hal padamu.”
“Tentu
anakku, tentu engkau boleh bertanya.”
“Dimanakah
engkau terakhir kali tampil?”
Madame
mengedarkan pandangannya ke sekeliling sambil berusaha mengingat-ingat, “di Berlin Staatsoper. Waktu itu aku
membawakan karya Strauss yang terakhir, Vier
letzte Lieder[4].”
“Ohya?
Dari seluruhnya, nyanyian manakah
yang paling berarti bagi anda, Madame?”
“Tentu
engkau sudah tahu jawabannya, Nak. Beim
Schlafengehen adalah sesuatu yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata.
Semakin usiaku bertambah, pemahamanku akan dunia pun semakin berubah. Dan
ketika itu, tubuhku semakin lelah dengan dunia ini. Tetapi aku kemudian sadar
akan satu hal, jangan pernah pergi
terlalu cepat atau tinggal terlalu lama, dimanapun kamu berada. Jika dulu
aku memiliki prinsip bahwa, kitalah yang mengatur hidup kita sendiri, menggenggamnya
dan menaklukkannya dengan menciptakan dunia-dunia dari sesuatu, kemudian
membuat tokoh-tokoh di dalamnya serta mengatur nasibnya. Tetapi, kita bukanlah
Tuhan, yang puasa kuasa atas kehidupan ini. Setelah kita ditinggalkan oleh
tokoh-tokoh yang kita ciptakan itu, kita baru menyadari bahwa semuanya sudah
terlambat, kita sudah tinggal terlalu lama. Kita sudah tidak memiliki kesempatan
lagi untuk melihat ke belakang meski hanya sekedar untuk menyesalinya.”
Aku
mengangguk perlahan.“Madame, jika
anda tidak keberatan, bisakah anda menyenandungkan satu bait dari Beim Schlafengehen untuk saya di hari
yang penuh kasih ini?” aku memasang ekspresi memelas di akhir kalimat
permintaanku sambil menambahkan kata ‘…please.”
“Nak,
kau adalah orang pertama sejak lima tahun ini yang memintaku untuk bernyanyi
kembali. Dengan senang hati aku akan mengabulkan permintaanmu, tidak hanya
menyenandungkannya tetapi menyanyikannya. Tetapi, maaf jika suaraku tidak
secemerlang dulu.”
Aku
mengangguk sambil tersenyum.
“Terakhir
aku latihan bernyanyi di kamar mandi, beberapa bulan yang lalu.” Madame kembali mengambil tongkatnya,
berdiri dan berjalan ke arah kain gorden yang sengaja masih ia tutup pagi itu.
Walaupun ia tidak menjelaskan, tetapi kutahu apa yang Madame maksud ketika ia berdiri persis di hadapan kain gorden
tersebut.
“Nun der Tag mich müd gemacht…”
Satu
baik kalimat yang sangat indah tersebut harus berhenti karena tiba-tiba Madame terbatuk yang kemudian disusul batuknya
yang panjang. Aku langsung memegang tubuh Madame
dan kembali membawanya ke atas tempat tidur. “It’s ok, Madame, anda tidak perlu melanjutkannya,”
tetapi Madame menolaknya dengan tetap
berdiri dan berkata,
“Tidak,
anakku, aku harus menyelesaikan lagu ini. Itu hanya satu bait pertama. Jika
suatu saat engkau berada diatas panggung, engkau akan mengerti bahwa the show must go on! Meskipun, kau harus
mati diatasnya. Nak, keinginanku lebih besar daripada rasa sakitku ini,
percayalah.” Madame melepaskan
peganganku, mengambil nafas panjang dan kembali bernyanyi.
Jangan
tanya apa yang kurasakan saat itu, yang ada hanya sebuah penyesalan luar biasa
yang membayang di pikiranku. Entah sebuah kebodohan apa yang telah kuperbuat? Aku
meminta seorang wanita tua yang sedang sakit-sakitan bernyanyi untukku? Tetapi,
aku sudah terlanjur tidak bisa berkata apa-apa lagi, hanya bulir air mataku
yang perlahan mulai turun dan membanjir di wajahku.
Nun der Tag mich müd gemacht,
soll mein sehnliches Verlangen
freundlich die gestirnte Nacht
wie ein müdes Kind empfangen
Sekarang aku
merasakan hari-hari yang melelahkan
Tetapi
semangatku tidak akan pernah pudar.
Dan akan tetap
bercahaya seperti bintang di kala malam.
Seperti lelah
yang dialami oleh anak-anak.
Hände, laßt von allem Tun,
Stirn, vergiß du alles Denken,
alle meine Sinne nun
wollen sich in Schlummer senken.
Tangan, hentikan
semua pekerjaanmu.
Kepala, lupakan
semua beban pikiranmu itu.
Semua inderaku
kini merindukan untuk
sekedar
tenggelam dalam lelap tidurku.
Und die Seele unbewacht
will in freien Flügen schweben,
um im Zauberkreis der Nacht
tief und tausendfach zu leben.
Wahai jiwa-jiwa
yang terbelenggu
Dan harapan yang
ingin membubung tinggi, setinggi-tinginya
Masuklah ke
dalam pesona lingkaran malam
Hingga dapat
bercahaya dalam seribu kehidupan
“Madame, anda luar biasa,” aku memujinya
sambil menepuk kedua telapak tanganku untuknya.
“Jangan
ucapkan lagi kata-kata itu, anakku. Aku sudah puas mendengar semua itu, tetapi
pada akhirnya, wanita yang mendapat pujian itu harus berakhir di sebuah panti
jompo seperti ini.”
“Setidaknya,
ada seorang lelaki, yang setiap minggu mengunjungimu, menemanimu, dan berbagi
cerita denganmu, Madame,” aku
berkelakar di sela air mataku.
Madame Eva
sempat terkekeh, dan aku pun mengikutinya. Bersama Madame, aku merasa bisa menjadi diriku sendiri, memuji diriku
sendiri bahkan sekaligus menertawakannya. Berada di dekatnya, walaupun ia sudah
sangat tua dan renta, tetapi aku merasa nyaman dan damai seperti berada di dekat
orang tuaku sendiri; seseorang yang selalu rindu akan kehadirannya dan berharap
tawa yang keluar dari bibirnya.
Perlahan,
aku mencoba memegang badan Madame dan
menuntunnya kembali ke atas tempat tidur, merebahkan tubuhnya dalam posisi
duduk kemudian menyandarkan kepalanya dengan bantal. Lagi, ia mengucapkan
terimakasih padaku.
“Hal
kedua yang ingin kutanyakan pada anda adalah, menurut anda, nilai apa yang
ingin anda berikan pada kami yang masih muda ini, jika nanti umur kami dipanjangkan seperti
anda?”
“Menjadi
tua itu pasti, Nak. Tetapi, menjadi tidak berguna karena umurmu itu adalah
pilihan.” Aku
kembali tersenyum mendengar jawaban Madame
yang sangat spontan itu. "Letakkan penghargaanmu yang tertinggi pada mereka yang menua dengan dedikasi dan bijaksana. Karena percayalah, Nak, itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Lalu,
apa hal yang ketiga?"
“Kenapa
anda ingin menghabiskan masa tua anda di Berlin? Bukankah anda lahir di
Italia?”
“Lebih
tepatnya di Pesaro, Nak, sebuah kota yang berada di wilayah Marche yang
terletak di pantai Adriatik. Walaupun Pesaro hanyalah sebuah kota kecil, tetapi
ia begitu damai. Kedamaiannya terletak pada keindahan pegunungan yang berpadu
dengan eksotika laut Adriatik dan kesegaran air dari sungai Foglia, yang mampu
menginspirasi Simone da Pesaro lalu menghasilkan sebuah karya luar biasa, Allegory of the Foglia River with the Coat
of Arms of Pesaro. Sebagai seorang Italia dengan setengah darah Jerman, aku
merasa mempunyai dua buah rumah di dunia ini. Italia, tempatku hidup, mencari
uang dan menemukan cintaku. Tetapi pada akhirnya, Berlin adalah tempatku
kembali. Bahkan, bau tanah kering ketika diguyur hujan pun dapat kucium berbeda
di kedua tempat itu. Bau tanah kering ketika diguyur hujan di Italia mengantarkan
lamunanku akan cinta dan keriuhan tepuk tangan penonton setelah aku tampil di Teatro alla Scala dan Arena di Verona. Tetapi, di Berlin,
baunya mengingatkanku dan mengantarkanku pada Sang Pencipta tubuhku ini,
melalui perjalanan yang dinamakan kematian. Walaupun demikian, keduanya selalu
membuatku ingin kembali.”
“Kalau
begitu, apakah arti kematian menurut anda, Madame?
Dan, apakah anda menakutinya?”
“Strauss
pernah berkata, ‘saat kematian mulai
mendekat, roh mulai meninggalkan
jasadnya untuk menuju suatu kehidupan yang indah dan abadi’. Yang harus
ditakuti itu bukanlah kematian, melainkan kehidupan yang menjadikanmu seperti
mati. Karena mungkin, kematian hanyalah seperti tidur panjang, dan memang tidak
ada yang perlu ditakuti darinya. Jika kamu telah menerima dan memaafkan semua
yang terjadi dalam hidupmu, maka mimpi di dalam tidurmu akan indah. Tetapi jika
tidak? Maka kau tahu jawabannya.”
Aku
tersenyum cukup lama karena aku tiba-tiba merasa telah menemukan suatu kepingan
yang hilang dari dalam diriku yang kucari selama ini. Dimana justru, kepingan
itu kutemukan di tempat yang sangat jauh, ribuan kilometer dari seorang wanita
tua, yang siapa sangka memiliki hati yang sangat mulia, seperti air mata.
Kebanyakan orang tua seusia dirinya mungkin akan menghabiskan hidupnya dengan
umpatan, makian dan cacian terhadap masa lalunya, tetapi Madame Eva melakukan hal yang sebaliknya.
Ada
sebercak kebanggaan yang kurasa terhadap diriku sendiri. Aku merasa keputusanku
tidak salah dan skenario hidupku tidak cacat sedikitpun. ‘Tuhanku yang maha pengasih, terimakasih
atas bimbingan-Mu dan tetaplah memelihara tubuh serta langkahku agar selalu berjalan
bersama-Mu’. Aku menyilangkan tanganku ke kening dan dadaku, pertanda bahwa
apa yang kupikirkan direstui oleh hatiku. Kemudian, aku mengucap ‘Amin’.
“Apakah
anda telah menerima dan memaafkan segala yang terjadi dalam hidup anda, Madame?”
“Tentu,
Nak. Aku menerima dan memaafkan segala hal yang belum terjadi, yang hampir
terjadi, yang telah terjadi dan yang akan terjadi nantinya dalam hidupku. Bukankah
aku sering berkata padamu bahwa, mimpi-mimpiku selalu indah dan hatiku selalu
damai?”
“Ya,”
aku mengangguk perlahan sambil tersenyum. Kemudian aku melihat ke arah jam di
pergelangan tanganku yang memberikan tanda bahwa waktunya istirahat untuk Madame Eva telah tiba. Sebelum aku pulang,
aku memperbaiki posisi tubuhnya di atas tempat tidur, agar ia bisa nyenyak
dalam tidurnya, kemudian menyelimutinya, mematikan lampu utama dan bertanya, “Madame, apakah anda ingin saya membuka
kain gorden itu?” sebuah pertanyaan yang selalu kutanyakan walaupun biasanya Madame akan menjawabnya dengan kata ‘tidak’.
“Danke schon, du bist sehr nett[5].
Bukalah, Nak. Cuaca diluar tampaknya cukup bagus. Akupun ingin menikmatinya,”
kemudian Madame tersenyum. Aku
membuka kain gorden yang masih tertutup.
Di
luar dan di kejauhan, aku mendengar suara lonceng katedral berdentang beberapa
kali dengan pemandangan dari salju yang turun sejak dua hari yang lalu seakan
ingin melengkapi keeksotikan Kota Berlin pada pagi hari itu.
“Gema
dari lonceng seperti ini selalu mengantarkan ingatanku pada kunjungan terakhirku
ke Bayreuth
Festspielhaus,” Madame kembali
bercerita dari atas tempat tidurnya. “Ketika musim panas saat itu, mereka
membawakan Tannhäuser[6]
dari Richard Wagner,”
Pikiranku
pun melayang pada Bayreuth Festival,
yaitu sebuah festival musik paling prestige
yang diadakan sekali setahun dan hanya pada musim panas di Kota Bayreuth,
Jerman. Pertunjukan tersebut diadakan khusus untuk menyaksikan karya-karya dari
komposer Opera asal Jerman yang paling terkenal pada zaman Romantik, Richard
Wagner. Dimana, para penonton harus mengantri bahkan hingga bertahun-tahun
untuk menyaksikan karya-karya Richard Wagner di hadapan mereka secara langsung.
Walaupun aku belum pernah menyaksikan Bayreuth
Festival, tetapi aku percaya bahwa Richard Wagner adalah legenda diantara
pecinta musik Opera Jerman, karya-karyanya sangat kental dengan nuansa sakral
dan magis, seperti yang terdapat di dalam Der
Ring des Nibelungen[7]
dan Der fliegende Holländer[8].
Tanpa
menoleh, aku pun bertanya pada Madame,
“bagian manakah dari Tannhäuser yang
paling berkesan bagi anda, Madame?”
“Pada
saat choir menyanyikan ‘Beglückt darf nun dich’, The Pilgrim’s Chorus.”
“Ada
apa dengan bagian itu?”
“Ketika
aku mendengar mereka bersenandung, aku merasa seperti sedang berada di rumah, I’m home, really in my home,” tepat ketika Madame menyebut kata-kata home,
tiba-tiba, tumpukan salju yang berada di rerantingan pohon yang terletak di
seberang jalan terjatuh, dan aku pun terjaga dari lamunan singkatku. “…my
home is my journey.”
Lalu,
aku membalikkan tubuhku dan melihat ke arah Madame
Eva, ia pun melihat ke arahku. Kami saling melempar senyum. Sebuah senyum
yang menandakan bahwa semua ini berjalan seperti apa adanya: setiap akhir tahun,
salju akan tetap turun dan meng-onggok di atas pepohonan yang telah menggundul.
Tetapi, tidak berapa lama kemudian akan kembali digantikan oleh mekarnya pucuk-pucuk
daun baru di rerantingan yang perlahan menghijaukan mata siapapun yang
melihatnya. Lalu, panas dari sinar matahari yang teriknya dapat menghadirkan
fatamorgana di jalan-jalan sepanjang kota Berlin, dilanjutkan oleh musim dimana
seluruh daun akan menggugurkan diri dan mempersembahkan dirinya sebagai energi terhadap
kekekalan kehidupan di jagat raya ini. Justru, karena mereka tahu bahwa siklus
tersebut akan kembali terulang: yang tua akan menggugurkan dirinya dan
merelakan jasadnya melebur di atas tanah, demi si kecil yang akan tumbuh.
Beberapa
saat kemudian, kami pun saling mengucap selamat beristirahat. Aku mencium
keningnya dan Madame membisikkan, “ti voglio bene e mi manchi[9]’ di
telingaku.
Aku
menjawabnya dengan mengatakan ‘grande
abbraccio[10]’
sambil memeluk tubuhnya seperti biasanya sebelum kami berpisah. Kemudian, aku
pun keluar dari kamar Madame, masih
dengan senyuman yang sama, senyuman tanda kepuasan sekaligus kebahagiaan.
Beglückt
darf nun dich, o Heimat, ich schauen,
und
grüßen froh deine lieblichen Auen;
nun
lass' ich ruhn den Wanderstab,
weil
Gott getreu ich gepilgert hab'.
Blest, I may now look on thee, oh, my
native land,
and gladly greet thy pleasant pastures;
now I lay my pilgrim's staff aside to
rest,
because, faithful to God, I have
completed my pilgrimage!
Durch
Sühn' und Buß' hab' ich versöhnt
den
Herren, dem mein Herze frönt,
der
meine Reu' mit Segen krönt,
den
Herren, dem mein Lied ertönt.
Through
penance and repentance I have propitiated
the
Lord, Whom my heart serves,
Who
crowns my repentance with blessing,
the
Lord to Whom my song goes up!
Der
Gnade Heil ist dem Büßer beschieden,
er
geht einst ein in der Seligen Frieden!
Vor
Höll' und Tod ist ihm nicht bang,
drum
preis' ich Gott mein Lebelang.
Halleluja.
Halleluja in Ewigkeit, in Ewigkeit!
The salvation of pardon is granted the
penitent,
in days to come he will walk in the
peace of the blessed!
Hell and death do not appal him,
therefore will I praise God my life
long.
Alleluia! Alleluia in eternity!
(“Pilgrim's Chorus” from ‘Tannhäuser’ by Richard Wagner)
[1] (Italia) “Ini aneh. Rasa sakitku
telah sirna. Aku merasa terlahir kembali dengan kekuatan yang baru, dalam jiwa
yang baru. Ah! Tapi aku akan kembali hidup, wahai kebahagiaan.” Kata-kata
terakhir yang diucapkan oleh Violetta Valéry sebelum akhirnya ia mati.
[2] Orang yang mempunyai jabatan
tertinggi dan memiliki kuasa penuh atas siapa saja yang telah pantas menaiki
panggung Teatro alla Scala.
[3] (Italia) Endless applause. Tepukan tangan paling panjang dan meriah yang
diberikan oleh para penonton setelah pertunjukan Opera.
[4] Lagu terakhir, karangan Richard
Strauss (1948), yang terdiri dari empat siklus lagu, Frühling (Musim Semi), September, Beim Schlafengehen (Di Saat Tidur) dan Im Abendrot (Cahaya Masa Senja).
[5] (German) Terimakasih banyak,
kamu baik sekali.
[6] (German) Tannhäuser und der Sängerkrieg auf Wartburg atau Tannhäuser dan
Kontes Bernyanyi di Kastil Wartburg. Opera ini menceritakan tentang perjuangan demi
sebuah penebusan cinta suci yang dibumbui dengan hal-hal yang bersifat keduniawian.
Tannhäuser dianggap salah satu karya Richard Wagner yang paling matang.
[7]
(German) The Ring of the Nibelung/The Ring Cycle atau Siklus Cincin.
Merupakan karya masterpiece Richard
Wagner yang diangkat berdasarkan Mitologi dari Bangsa Nordik. Mitologi tersebut
berisi kisah-kisah tentang makhluk supernatural, kosmologi, dan mitos-mitos
yang ditulis berbentuk puisi atau prosa.
[8] (German)The Flying Dutchman atau Orang Belanda Terbang. Opera ini
menceritakan tentang sebuah mitos yang berlaku di Negara Belanda tentang
seorang pelaut yang menjual jiwanya pada setan dan hanya bisa ditebus oleh
cinta seorang wanita yang setia. Karena, Wagner berpendapat bahwa, ‘wanita itu mempunyai tingkat kesetiaan yang
paling tinggi, bahkan sampai ia mati’.
[9] (Italia) Aku benar-benar
membutuhkanmu dan karena kamu membuatku merindukanmu.
[10] (Italia) Pelukan terhangatku
untukmu.
No comments:
Post a Comment