Thursday 30 March 2017

Demi Ekspresi Eksistensi Diri

Kamis, 30 Maret 2017 11:15 WIB
Reportase : Didik Purwanto

Editor : Admin

Perkembangan inovasi teknologi hadir seturut permintaan dan kebutuhan masyarakat. Ponsel kini bukan hanya dimiliki kalangan konglomerat, tapi sudah menjadi barang merakyat.
Fitur ponsel pun tidak melulu untuk telepon, berselancar di dunia maya, atau mengirim pesan. Keberadaan ponsel kini mulai mengancam eksistensi kamera DLSR untuk foto dan video.

Kamera menjadi salah satu fitur ponsel yang gencar dipromosikan. Sesumbar perusahaan ponsel merek ternama dunia dengan tawaran swafoto (selfie) lebih cantik mendorong masyarakat berani melirik, khususnya vendor yang menyediakan fitur kamera canggih, beresolusi tinggi.

Pakar psikologi Rangga Wirianto Putra mengatakan, selfie mendukung eksistensi diri. Tapi, tentu dengan pemakaian wajar. Hasil foto atau video yang keren mendorong seseorang merasa semakin beken, eksis, dan diakui keberadaannya oleh kelompok massa di media sosial, terutama.

"Sudah menjadi sifat dasar manusia selalu ingin diakui, salah satu wadahnya melalui hasil foto atau video yang diunggah di media sosial," kata Rangga kepada HARIAN NASIONAL, Minggu (26/3).

Menurut dia, pengguna banyak mengunggah selfie saat bersama pacar, berada di lokasi wisata, memakai perhiasan mahal, atau saat bersama selebritis terkenal. Pengguna tersebut seakan ingin menunjukkan kepada dunia bahwa ia eksis dan eksistensinya diakui.

Namun, selfie berlebihan, menurut Rangga, cenderung memicu gangguan kepribadian narsistik. Gangguan ini memicu seseorang lebih bahagia dengan orientasinya sendiri, menjadikan dirinya pusat perhatian (centre of point) dalam sebuah foto.

"Membahayakan sih tidak, cuma kan setiap perilaku memiliki arah dan tujuan. Jika tujuannya memenuhi hasrat ingin diakui secara berlebihan justru membuat semakin tidak nyaman. Sebenarnya perilaku demikian ibarat candu yang menuntut untuk dilampiaskan terus-menerus," kata dia menjelaskan.

Bukan hanya gangguan kepribadian narsistik, penggunaan selfie berlebihan biasanya juga dapat memicu seseorang mengalami gangguan kepribadian histerionik (histrionic personality disorder, HPD). Pengguna menjadi lebih banyak memamerkan segala sesuatu yang dimiliki dan mengunggah mereka di media sosial untuk menjadi pusat perhatian.

"Jika jumlah like di Instagram, misalnya, tidak melampaui keinginan, pengguna bisa stres atau depresi bahkan terkadang mereka menjadi individu yang rentan (mengalami pem-bully-an, misalnya) seperti Syahrini," kata dia.

Jika segala sesuatu yang diunggah ke media sosial tidak selalu mendapat respons positif, bahkan cenderung berbeda, perhatian pengguna akan beralih pada komentar.

"Besoknya akan diperbaiki melalui foto selanjutnya. Tentu dengan perubahan filter hingga fitur beauty yang ada di kamera. Itu yang membuatnya semakin cantik atau ganteng sehingga lebih diakui lagi eksistensinya. Pola perilaku ini akan terus berulang," ujarnya.

Fitur kamera mumpuni, kata Rangga, juga mendorong selebgram atau vlogger dadakan. Bahkan Presiden Joko Widodo hingga Kaesang Pangarep (anak presiden) pun merambah vlog demi eksistensi mereka di dunia maya.

Keberadaan selebgram dan vlogger ini turut menumbuhkan lokasi wisata atau kafe-kafe yang cocok sebagai latar di Instagram (Instagramable). "Ini bisa menumbuhkan kesempatan untuk perkembangan perekonomian baru," kata dia menekankan.

Terkait penjualan, vendor ponsel biasanya cenderung menyasar negara berkembang untuk promosi fitur kamera selfie. Ini yang memicu pengguna seolah menjadi orang kaya baru.

"Pengguna ponsel di negara maju justru lebih memanfaatkan fitur selain kamera. Kita tidak melihat Mark Zuckerberg (pendiri Facebook) atau Bill Gates (pendiri Microsoft) berfoto di depan mobil Ferrari atau berpose sambil menunjukkan hartanya," ujarnya.




sumber: http://www.harnas.co/2017/03/30/demi-ekspresi-eksistensi-diri/

No comments:

Post a Comment

ALIH KODE DAN CAMPUR KODE DALAM NOVEL “ THE SWEET SINS”   KARYA RANGGA WIRIANTO PUTRA Amalia Meldani Mahasiswa Prodi Sastra Ind...